peachylioon

Setelah membalas pesan dari seseorang yang selama ini ia benci, Reina langsung mematikan ponsel nya. Tak lama kemudian gadis itu sadar kalau sedari tadi Eyzar sudah menunggu nya di gerbang yang terletak beberapa meter dari tempatnya berdiri saat ini. Lantas setelah menghela napas kesal, Reina terpaksa berjalan ke arah mobil Eyzar. Ia pikir Eyzar akan menghampirinya, namun nyatanya malah Reina yang harus mendatanginya terlebih dahulu.

Tok tok tok

Reina mengetuk jendela kaca mobil itu pelan. Eyzar yang di dalam hanya menoleh sekilas dan memberikannya kode untuk duduk di belakang saja. Pasalnya, Eyzar sejujurnya agak malas kalau harus bersebelahan dengan gadis itu. Malas saja, sedikit.

Lagi-lagi, Reina menghela napas. “It's okay, Rein. Cuman masalah waktu, ntar juga lo pasti bisa berhasil deketin Eyzar.” Batin Reina.

Reina masuk ke dalam mobil dengan sedikit terpaksa. Sial, kalau saja Melan tidak nongkrong dulu bersama teman-temannya, pasti Reina sudah ada di rumah saat ini. Ah, tapi ada untungnya juga sih, pikirnya. Mungkin ini adalah kesempatan Reina mendekati Eyzar untuk kesekian kalinya.

“Arahnya ke mana? Rumah lo,” tanya Eyzar tiba-tiba.

“Ohh, itu ke sana, Zar,” sahut Reina, yang otomatis dibalas anggukan sederhana oleh Eyzar.

“Eh ini serius gapapa, Zar? Nggak ngerepotin kan kalau gue pulang bareng lo?”

“Gapapa, kan emang gue yang nawarin.” Balas Eyzar, dingin.

“Oh yaudah oke, hehehe.”

Setelah itu, mobil pun diselimuti oleh suasana sepi yang begitu mencekam. Keduanya sama sama tak bersuara. Namun, saat itu Eyzar langsung menyalakan musik agar suasana tak terlalu sepi.

“Loh, Eyzar?! Lo suka EXO?!” Reina terkejut saat Eyzar menyalakan salah satu musik dari boygroup favoritnya.

Eyzar pun sedikit terkejut. Bukan, bukan karena ia mendengar lagu ini, melainkan karena suara pertanyaan Reina tadi begitu kencang dan melengking. “G-gue cuman suka lagu-lagunya aja. Kenapa emang?”

“Waaaah! Gue kira lo tipikal cowok yang gak suka sama hal-hal berbau K-pop lho, Zar!” seru Reina.

Eyzar tertawa pelan, merasa malu. “Emang lo kira gue orang yang kayak gimana?”

Reina tampak berpikir sebentar, “Mmmmm, yaa gitudeh. Gue kira lo orangnya kaku, perfeksionis, cuek, terus ya gak peduli sama sekitar deh pokoknya.”

Eyzar terkekeh, “Gue cuek cuman ke orang yang nggak kenal atau baru dikenal aja. Kalau udah kenal lama gue gak cuek kok,” katanya.

“Ohh gituu,” Reina mengangguk. “Pantesan aja lo cuek sama gue soalnya kita baru kenal.”

Eyzar tertawa canggung.

“Mau gak kita kenalan lebih jauh lagi, biar gue tahu sifat asli lo dan lo juga jadi nggak cuek sama gue? Hehehe.”

Eyzar sedikit menoleh, “Kenalan lebih jauh? Maksud?”

“Yaa gitu. Maksudnya kita bisa saling mengenal satu sama lain aja gitu, biar lebih deket. Ya, intinya pendekatan gitulah, hahaha!”

Tampak wajah Eyzar begitu canggung saat ini. Laki-laki itu hanya memaksakan diri untuk tersenyum sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Eh, maksud pendekatan di sini bukan dalam artian PDKT buat sebuah hubungan gitu sih, ya maksudnya sekedar pertemanan doang kok, hehehe.” Reina memberikan cengiran nya.

“Oh, aahh iya iya hahaha kirain...” Kali ini Eyzar terkekeh pelan.

“Eh iya, ini arah nya masih lurus aja terus? Rumah lo di mana deh?” tanya Eyzar.

Ah, iya benar juga. Reina baru ingat bahwa tidak seharusnya ia membawa Eyzar ke rumahnya. Kalau saja Eyzar sampai tahu letak rumahnya, bisa bisa semua rahasianya terbongkar saat itu juga.

“Eh, Zar, gue berhenti di depan situ aja deh.”

“Kenapa?”

Reina bingung, “Ah, enggak apa apa sih. Gue cuman takut aja kalau lo berhenti di depan rumah gue banget, nanti yang ada gue malah dimarahin sama Papa gue. Soalnya Papa gue gak suka kalau gue deket deket sama cowok, Zar.” Alibinya.

Eyzar mengangguk paham. “Oke.”

“Berhenti di sini aja, Zar,” ucap Reina yang otomatis membuat Eyzar menghentikan mobilnya.

“Serius?”

Reina mengangguk yakin. “Iya, udah gapapa. Rumah gue ga jauh dari sini kok, udah lumayan deket.”

“Eh tapi itu lagi hujan. Pinjem payung gue aja, ada di bag—”

“Nggak! Gausah, Zar, gue duluan ya, makasih!!!”

Reina turun dengan cepat dan Eyzar dapat melihat Reina lari begitu kencang menerobos hujan yang cukup deras.

“Ck. Dibilangin pake payung gue juga, ngeyel.”

Akhirnya, dengan terpaksa, Eyzar turun dari mobilnya dan mengambil payung yang selalu ia simpan di bagasi. Lantas dengan hujan-hujanan pula, Eyzar mengejar Reina yang sudah cukup jauh di sana.

“Heh!”

Eyzar berhasil menarik pergelangan tangan Reina dengan cepat. Lantas sebelah tangannya lagi ia gunakan untuk membuka payung miliknya.

“Jangan hujan-hujanan, ntar sakit. Nih ambil payung gue.”

Setelah memastikan payung itu sudah berada di genggaman tangan Reina, Eyzar kembali ke arah mobil dengan membiarkan dirinya basah kuyup oleh hujan.

Reina diam menatap kepergian Eyzar dengan lamat. Lantas perlahan, senyuman terukir di wajah cantiknya. Entahlah, apakah itu senyuman tulus atau senyuman sinis, tidak dapat ditebak.

Yang pasti, gadis itu bergumam pelan, “Dasar.”

Setelah memastikan El masuk ke kampusnya dengan selamat, Eyzar hendak kembali memasuki mobilnya dan berseberangan untuk berangkat ke kantor. Namun baru saja tangannya menggenggam pintu mobil, ada suara berat yang berhasil membuatnya menoleh dan mengurungkan niatnya.

“Lo Eyzar, kan?” ucap laki-laki itu, yang tentu saja diikuti oleh beberapa teman-temannya. Tidak lain dan tidak bukan, laki-laki itu adalah Melan bersama anak-anak tongkrongannya.

Eyzar sedikit menautkan kedua alisnya. Ia hanya bingung, ia tidak kenal dengan laki-laki yang baru saja memanggilnya. Tapi apa boleh buat? Eyzar hanya bisa membalas pertanyaan itu.

“Iya, gue Eyzar. Ada apa ya?” balas Eyzar dengan wajah bingung.

Melan tersenyum sinis, “Oke, kenalin, gue Melan.” Melan menjulurkan tangannya, mencoba untuk bisa berjabat tangan dengan Eyzar. Namun yang Eyzar lakukan hanyalah membalas senyumannya dengan singkat dan tidak menerima jabatan tangan Melan. “Kalau enggak ada urusan penting, gue pergi aja ya, gue buru-buru ada urusan,” ucap Eyzar to the point. Jujur saja, Eyzar sudah merasakan hawa tidak enak saat menerima tatapan sinis dari Melan dan teman-temannya. Makannya, ia lebih memilih menghindar dari mereka semua.

Melan lagi-lagi hanya terkekeh, “Santai dong, kita ngobrol-ngobrol dulu sini. Gue temen El, lho. Eh lebih tepatnya, kakak tingkatnya El deh.”

Eyzar membalas dengan tawa nya yang terasa canggung, “Maaf, Kak. Tapi gue sibuk.”

“Ck.” Melan berdecak. Melan yang emosian itu, ingin sekali rasanya langsung menghantam rahang Eyzar dengan keras. Namun ia terpaksa basa-basi seperti ini hanya karena mengingat rencananya kali ini bukanlah untuk langsung baku hantam dengan Eyzar, melainkan untuk menyulut emosi anak laki-laki itu dengan perlahan.

“Bisa balapan, gak?! Kalau bisa, nanti malem balapan sama gue. Jadiin El buat taruhannya.”

Mendengar perkataan yang keluar dari mulut Melan, Eyzar langsung menoleh dan membulatkan pupilnya saking terkejutnya. Bahkan, Eyzar langsung emosi saat mendengar nama El dijadikan sebagai taruhan dengan begitu mudahnya oleh Melan.

“Maksud?” Eyzar masih menahan emosinya.

“Ya itu. Gue suka sama El, gue pengen dapetin El, tapi katanya El deket banget sama lo. Makannya, gue pengen balapan sama lo dan El sebagai taruhannya. Nanti, kalau gue menang, gue bakal minta lo buat jauhin El. Dan kalau lo men—”

“Maksud lo apaan, anj*r?!?!”

Entah. Saat mendengar El diperlakukan seperti itu oleh Melan, maksudnya, dianggap sebagai perempuan yang seenak jidat bisa dijadikan sebagai bahan taruhan, Eyzar sangat emosi pada laki-laki di hadapannya yang ia pikir tak beradab itu. Alhasil, tanpa pikir panjang, Eyzar langsung mencengkram kerah baju Melan dengan keras.

“Whoaa whoaaa, santai, bro!”

Melan bersikap santai. Ia tidak berusaha melepaskan diri dari cengkraman Eyzar. Ia hanya membiarkan teman-teman tongkrongannya yang menahan Eyzar agar dia tak bisa menyerang Melan secara tiba-tiba seperti barusan.

Napas Eyzar sedikit tersengal, wajahnya menampakkan kalau dirinya sudah mulai kesal. “Gue nggak kenal sama lo. Dan sorry? Apa tadi? Lo mau balapan sama gue dan jadiin Kak El sebagai taruhan?!” Eyzar tertawa sinis di sela ucapannya, “Kak El bukan cewek yang seenak jidat bisa dijadiin bahan taruhan. Dia itu perempuan. Setiap perempuan itu harusnya dihargai, bukannya dijadiin mainan kayak gitu!” serunya.

Melan kalah telak. Ia tidak tahu harus membalas apa terhadap perkataan Eyzar barusan. Namun, otaknya tiba-tiba kembali terpikirkan oleh sebuah ide yang cukup nakal? Mungkin.

Melan berlagak kecewa. “Oke. Berarti gue anggap lo nolak tantangan balapan sama gue. Ah, padahal tadinya kalau lo menang, imbalannya gue bakal kasih tau rahasia tentang kejadian kecelakaan kakak kakak lo satu tahun yang lalu, kalau aslinya itu bukan kecelakaan tunggal, tapi ada orang yang emang jadi dalang terjadinya kecelakaan itu.” Di akhir kalimat, Melan lagi-lagi tersenyum sinis.

Eyzar melotot, “A-apa apaan...?”

Melan terkekeh, lantas menepuk pundak Eyzar perlahan. “Bro, dunia ini kejam. Lo apa nggak heran kenapa Kak Elvan sama Ellyna bisa kecelakaan sampe meninggal kayak gitu? Lo harusnya curiga gak sih? Pasti ada orang yang iri sama mereka dan ujung-ujungnya pengen nyingkirin mereka.”

“L-lo tau Kak Elvan sama Kak Ellyna? Lo sebenernya siapa anj*r?!” pekik Eyzar.

Melan terkekeh, “Gue Melan, bro. Gue bukan siapa-siapa. Tapi bisa dibilang, gue adalah salah satu saksi bisu atas perbuatan jahat orang yang bikin kakak kakak lo pergi.”

Lagi-lagi Eyzar menarik kerah baju Melan dengan emosi. Tak peduli dengan teman-teman Melan yang berusaha menahan gerakan Eyzar, Eyzar tetap berusaha melakukan perlawanan terhadap mereka semua. Yang ia inginkan hanyalah kejelasan atas perkataan Melan barusan.

“M-maksud lo...? Kak Elvan sama Kak Ellyna bukan ngalamin kecelakaan tunggal, tapi—”

“Ya gue ga bakalan jawab sih. Toh lo aja ga nerima tantangan balapan dari gue,” kata Melan sinis.

“Kurang ajar! Lo sebenernya siapa sih anj?!?!”

Eyzar hendak melayangkan pukulannya. Namun,

“Eyzar!!!”

Suara yang tak asing itu, tidak lain dan tidak bukan adalah suara El yang baru saja sampai ke parkiran dengan napas yang tersengal-sengal.

“Lo ngapain, Zar? Kenapa lo mau mukul dia...?”

“K-kak El, maaf. I-ini enggak kayak yang Kak El pikirin. Eyzar cuman—” perkataan Eyzar terpotong.

“Udah gue bilang, jangan macem-macem sama Eyzar. Lo ngapain di sini? Mau ngajak ribut sama Eyzar dan pura-pura diem nggak ngelawan biar seolah-olah Eyzar yang ngajak ribut duluan, iya?” El menatap Melan dengan tajam.

Melan pura-pura terkejut, “Lho? Nggak gitu kok. Gue daritadi bener-bener diem dan nggak ngapa-ngapain. Nggak ngajak ribut juga. Daritadi gue cuman ngobrol biasa aja sama Eyzar, eh dianya aja yang gampang emosian.”

“Tapi lo—” lagi-lagi, perkataan Eyzar terpotong.

“Udah, Zar.” El menggenggam tangan Eyzar, menenangkan laki-laki itu agar tidak terbawa emosi dengan mudah.

El kembali menatap Melan dengan sinis, “Pergi lo, Lan.”

“Dih, kok ngusir?”

“Pergi! Dan jangan pernah ganggu gue ataupun Eyzar lagi. Gue muak liat lo tau gak sih.”

Melan menghela napas kesal. “Ck. Oke, sekarang gue pergi.” Namun sebelum dia dan teman-temannya pergi, Melan melayangkan tatapan sinis dan mengancam pada Eyzar yang kini berada di belakang El. Dari matanya, ia seakan-akan berbicara, “Liat aja nanti, Zar.”

Eyzar yang melihat tatapan seperti itu saja sudah ingin emosi. Namun lagi-lagi El berusaha menahannya, “Udah, Zar. Gausah diladenin. Dia sengaja bikin lo emosi biar lo bikin dia babak belur dan ntar harga diri lo yang turun.”

Eyzar menghela napas, “Maaf, Kak El.”

“Nih.”

Tiba-tiba, ada sebuah botol dingin yang sampai di genggaman tangan El. Gadis itu mengernyit, rasanya aneh jika Eyzar sudah kembali, padahal Eyzar baru saja pergi untuk membeli minum.

“Ini, buat lo. Abis main basket pasti capek kan?” Laki-laki itu, mendudukkan dirinya di sebelah El.

“Melan...?”

Laki-laki itu terkekeh sembari mengambil posisi duduk di sebelah El. Tepat di sebelah El, dengan jarak yang sangat dekat. “Gue kating lo elah. Panggilnya pake embel embel 'Kak' dong, yang sopan,” katanya.

“Ngapain lo di sini?”

“Gue? Ngapain?” Dia tertawa di sela-sela kalimatnya, “Ya nggak ngapa ngapain sih gabut doang. Daritadi gue lagi jogging di daerah sini eh taunya ketemu lo, yaudah gue pantengin aja dari awal sampe sekarang.” Laki-laki itu tertawa sembari menatap El dengan lekat.

Sedangkan, El menatap Melan dengan tatapan tidak suka. Tatapan yang begitu tajam seolah-olah mampu menusuk laki-laki itu kapanpun ia mau.

“Eh masih belum dibuka juga minumnya? Apa mau gue bantu bukain?” godanya.

El mendorong botol minum itu kepada sang empunya. “Ga usah sok akrab.”

“Hahahaha!” Melandri Gregorio, laki-laki itu tertawa. “Kita kan emang belum akrab, makannya gue di sini biar gue bisa lebih deket sama lo. Alias ya—PDKT mungkin?” Cengiran pun muncul di bibir Melan tanpa rasa malu sedikitpun.

El memutar bola matanya, jengah, dan kembali menatap Melan dengan tajam. “Lo daritadi di sini, kan?”

Melan mengangguk sembari menaikturunkan alisnya. Nampaknya, laki-laki itu begitu percaya diri.

“Berarti lo liat kan daritadi gue sama siapa?” tanya El ketus.

“Aaahhh!!!!” Melan menjentikkan jarinya, “Gue liat! Iya gue liat. Daritadi lo sama adek laki-laki lo, kan? Kenapa emangnya? Maksudnya kode nih kalau gue mau deketin lo berarti gue harus deketin adek lo dulu? Apa gimana?”

El menaikkan salah satu alisnya, “Adek...?”

“Iya...? Itu yang tadi, cowok yang main basket bareng lo itu adek lo, kan?”

El menatap tidak percaya pada Melan. Bahkan mulutnya sedikit menghembuskan napas kesal pada laki-laki itu. “Dia bukan adek gue, sorry.”

“Terus siapa dong?” Melan masih mengajukan pertanyaan yang betul-betul El tidak ingin ladeni.

“Cowok gue.” Dengan nada ketus, El asal ucap. Gadis itu hanya tidak ingin diganggu lagi oleh Melan, si kakak tingkat yang banyak menjadi omongan para mahasiswi di kampusnya.

El berdiri dengan kasar. Wajahnya sudah menandakan bahwa ia tak ingin lagi melanjutkan perbincangan dengan Melan. El benar-benar tidak suka apabila diganggu oleh orang yang bahkan tidak akrab dengan dirinya.

Sebelum El berhasil melangkahkan kakinya, Melan berhasil mencekal pergelangan tangan El. “Gue ga percaya. Masa bocah kayak dia jadi cowok lo? Aneh,” kata Melan.

El menghempaskan tangan Melan dengan kasar. “Lo yang aneh.”

Lantas gadis itu melangkah pergi dengan kesal.

“El—ah, sial.” Melan berdecak. Karena percuma saja dirinya memanggil El yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya.

Sedangkan El, gadis itu bahkan sudah berjalan cukup jauh, namun teringat dengan jaket milik Eyzar yang tadi masih tersampir di bangku taman. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk kembali sebentar.

Namun sialnya, Melan masih ada di sana.

Laki-laki itu terkekeh, “Kenapa balik lagi? Lo nyesel ya ninggalin gue? Hehehe,” Melan memberikan cengiran nya.

El berdecak kesal. Gadis itu tidak menggubris perkataan Melan sama sekali. El langsung meraih jaket milik Eyzar dengan keras, lantas kembali melangkahkan kakinya, menjauh dari tempat Melan berada.

Di tempatnya, Melan hanya tersenyum miris, dan tertawa lemah, “Ternyata gue punya saingan ya,” batinnya.

“Kak El mau nyari buku apa lagi?” tanya Eyzar yang sedari tadi hanya mengikuti El dari belakang. Laki-laki itu menggembungkan pipinya karena sangat merasa bosan.

“Kak El masih lama ga? Kan tadi katanya udah nemu buku buat referensi tugas nya, sekarang mau ngapain lagi ish? Eyzar bosen.”

El terkekeh, lantas membalikkan badannya guna berhadapan dengan Eyzar, “Gue mau nyari novel dulu ya bentar.”

Eyzar mengulum bibirnya, “Yaudah oke...” lirihnya pasrah.

Kalau ditanya apakah Eyzar merasa bosan apa tidak, jawabannya adalah tentu saja iya! Eyzar dan El sudah berada di toko buku ini hampir 2 jam, dan sedari tadi El hanya mendapatkan dua buku yang menurutnya cocok untuk dijadikan bahan referensi. Selain itu, sekarang El malah mencari novel fiksi remaja untuk bahan bacaannya sebagai hiburan. Ah, apa boleh buat, Eyzar hanya bisa mengikutinya dari belakang. Lagipula Eyzar tidak terlalu menyukai buku, baik itu fiksi ataupun non-fiksi.

“Zar,” El melambaikan tangannya, memberi kode agar Eyzar mendekat ke arahnya. “Kata lo mending buku ini apa ini ya?” tanya nya kepada Eyzar sembari menunjukkan dua novel yang cukup tebal.

Eyzar mengernyitkan keningnya, “Kok tanya Eyzar? Eyzar kan gatau itu cerita nya gimana, Eyzar juga belum pernah baca tuh novel itu, jadi ya gausah tanya Eyzar.” Eyzar cemberut. Anak laki-laki itu niatnya hanya ingin menghabiskan waktu bersama El saja. Tapi sedari tadi, El hanya fokus pada buku, buku, dan buku.

El menghela napas, “Hmm, gue udah baca sih sinopsis sama pernah liat juga review nya dari orang-orang.”

Eyzar mulai menyimak El dengan cukup serius.

“Kalau novel yang ini katanya nyeritain tentang cowok sahabatan sama cewek, dan mereka tuh sama sama saling nyimpen perasaan diem diem. Terus ceweknya itu kan cuek banget, nah pokoknya buku ini nyeritain tentang perjuangan si cowok buat dapetin ceweknya, dan perjuangan si cewek buat ngalahin rasa gengsinya yang tinggi gitu.”

El lantas menunjukkan novel satunya lagi, “Kalau yang ini sih ceritanya tentang cewek suka sama cowok, tapi cowoknya ga peka peka, terus cowoknya juga hobi banget mainin cewek. Ya gitudeh intinya.”

Eyzar masih diam menatap El dengan lekat. Jarang-jarang El berbicara panjang lebar seperti ini.

“Jadi menurut lo, mending yang mana?”

“Hhmm, yang pertama aja deh.”

“Kenapa?” tanya El penasaran.

“Soalnya kayaknya ceritanya cocok kayak cerita Eyzar sama Kak El,” gumam Eyzar pelan, yang padahal masih terdengar jelas oleh El yang ada di sampingnya.

“Hah?”

“Ah, e-engga, i-itu, cuman, ya.. gatau sih, Eyzar kan cuman ngasih saran aja, itu kayaknya buku yang pertama juga cover nya bagus gitu menarik.” Eyzar mengalihkan pandangannya agar tak bertatapan dengan El.

El tertawa ragu, “Hahaha, okee... Kalau gitu gue beli yang ini aja deh.”

Lantas, keduanya langsung menuju kasir untuk membayar buku yang telah El pilih. Oh ayolah, mereka berdua sudah menghabiskan waktu sekitar dua setengah jam, namun dengan waktu selama itu, hanya tiga buku yang El pilih dan jadi dibeli.

“Totalnya jadi 368.000, Kak,” ucap kasir wanita yang ada di sana.

“Ah, oke.”

El hendak mengeluarkan uang dari dompetnya, namun tangannya ditahan oleh Eyzar dengan gesit. “Biar Eyzar aja yang bayar.”

“Lah kok gitu? Enggak ah pake uang gue sendiri aja.”

“Ga ga ga, Eyzar aja yang bayar.” Eyzar mengeluarkan kartu ATM nya, lantas menyerahkan pada mbak kasir dengan cepat.

“Ih, Eyzar...”

Yang dipanggil hanya memberikan cengiran lucunya, “Gapapa Kak El, kali-kali Eyzar yang bayarin.”

El hanya menghela napas. Apa boleh buat? Akhirnya ia hanya menurut saja pada laki-laki di sebelahnya itu.

“Ini ya, Kak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini, jangan ragu untuk datang kembali ya, Kak.”

El tersenyum, “Terimakasih juga, mbak.”

Namun sebelum El melangkah pergi, mbak mbak kasir itu membisikkan sesuatu, “Selamat menikmati waktu berduaan sama pacarnya ya, Kak, hehehe.”

Mendengar hal itu, El hanya tertawa canggung, “Hahaa, iya, mbak.”

Eyzar yang sudah ada di depan gedung toko itu hanya mengernyit saat El ternyata terlambat mengikutinya, “Abis ngobrol apa sama mbak kasirnya?” tanya Eyzar penasaran.

“Kepo.”


Di sore hari yang masih terang ini, El dan Eyzar belum kembali ke rumahnya masing-masing. Akhirnya mereka memutuskan untuk sekadar berjalan-jalan di taman kota yang cukup ramai pengunjung. Tidak terlalu ramai, namun tidak terlalu sepi juga.

Sesekali keduanya memperhatikan anak kecil yang gembira karena bermain bersama Mama Papanya. Sesekali mereka juga dapat melihat beberapa anak remaja yang asik bergurau dengan pasangannya. Selain itu, di sana mereka juga dapat melihat kebersamaan keluarga yang begitu hangat. Dan tak dapat dipungkiri, hal itu membuat mereka sedikit merasa iri.

“Kak El.”

“Hm?”

“Eyzar kangen Ayah sama Bundanya Eyzar.”

“Sama, gue juga kangen Mama Papa gue.”

Eyzar menghela napas, “Eyzar juga kangen Kak Elvan sama Kak Ellyna.”

“Sama, gue juga kangen adek gue.”

Dan kini keduanya hanya terdiam dalam lamunannya masing-masing. Mengingat masa-masa indah saat mereka masih memiliki kehangatan di rumah masing-masing. Di saat mereka masih belum mengenal apa itu rasa rindu dan kesepian. Di saat mereka masih asik tertawa bersama anggota keluarganya, sebelum pergi meninggalkan dunia ini.

Eyzar yang baru sadar dan merasa tidak ingin terlarut dalam kesedihan yang mendalam, lantas menggenggam erat tangan El yang berada di sebelahnya. Meyakinkan gadis itu, bahwa semuanya akan baik-baik saja meskipun kini mereka tak memiliki anggota keluarga untuk menghangatkan hatinya.

“Udah deh, niat kita ke sini kan buat seneng-seneng. Jadi, ga boleh sedih sedih ya?”

El tersenyum tipis. Sangat tipis. Gadis itu membalas genggaman tangan erat Eyzar dengan hangat. Gadis itu merasa senang karena memiliki Eyzar yang selalu menemaninya. Begitupun Eyzar, ia sangat senang jika El berjanji tidak akan meninggalkan dirinya seperti orang tua dan kedua kakaknya.

“Kak El gaakan ninggalin Eyzar kan?”

“Engga.”

Eyzar terkekeh pelan, “Eyzar gamau ya, kalau tiba-tiba nanti Kak El malah pamit tanpa izin, kayak Kak Elvan sama Kak Ellyna waktu itu.”

“Gaakan kok. Gue janji.”

“Bener ya janji?”

“Iya, Eyzar.”

Eyzar tertawa pelan, “Oke deh kalau gitu, bagus.”

“Hm.”

“Eh Kak El, ikut Eyzar yuk.” Tanpa aba-aba, Eyzar menarik pergelangan tangan El agar gadis itu mengikuti langkahnya.

Rupanya Eyzar membawa El ke sebuah lapangan basket yang berada di taman kota itu. Kebetulan, tidak ada siapa-siapa di sini. Mungkin banyak yang memilih menghabiskan waktu di tempat rerumputan penuh bunga dibandingkan lapangan basket ini.

“Ngapain ngajak ke sini? Ngajakin main basket?” tanya El sembari mengerutkan kedua alisnya.

Eyzar menyengir lucu, lantas melepaskan jaketnya dan meletakkannya di bangku taman yang berada di bawah pohon rindang. “Iya lah! Yuk ah main basket aja, satu lawan satu. Eyzar sebagai kapten basket sekolah pasti bakal menang dong.”

El tertawa renyah, “Wah bocil satu ini berani nantangin juga ya ternyata.”

Tidak mau kalah cepat, akhirnya El malah mengambil bola yang berada di lapangan dengan cepat, sebelum Eyzar meraihnya.

El langsung mendribble bola tersebut dan menggiringnya ke arah ring lawan.

“KAK EL IH KAN BELUM MULAI?!?!” Eyzar tidak terima.

“Gaada wasit yang ngasih aba-aba buat mulai, jadi ya harusnya inisiatif dong kalau mau mulai,” kata El sembari menaikturunkan alisnya.

“Ishhh!!!”

Eyzar berlari menyusul El dan ternyata dengan kecepatan yang tinggi, Eyzar berhasil merebut bola basket dari El. Eyzar berlari mendribble basket itu dengan cepat ke arah yang berlawanan, disusul dengan El yang berusaha merebut bola itu kembali.

Namun,

“YEAY! MASUK! HAHAHAHA EYZAR DAPET POIN!” Eyzar teriak sembari loncat-loncat kegirangan.

El menghela napas, “Dih, baru dapet satu poin aja bangga. Permainan masih panjang kali ah. Lanjut!”

“Bentar bentar.” Eyzar menghela El yang hendak merebut bola dari genggamannya.

“Apa lagi?”

“Gimana kalau kita bikin challenge?”

“Challenge apa?”

“Hmm bukan challenge sih, tapi intinya gini, nanti yang kalah harus nurutin permintaan yang menang. Gimana?”

El memberikan smirk terbaiknya, “Wah, boleh juga tuh.” Lantas gadis itu segera mengikat rambut panjangnya dengan ikat rambut hitam yang berada di pergelangan tangannya. “Oke, mulai!”

Keduanya mulai fokus dengan usaha nya masing-masing. Sesekali El yang berhasil merebut basket dari kuasa Eyzar, begitupun sebaliknya.

Saat salah satu dari mereka berhasil mencetak point, pasti salah satu nya merasa kecewa dan menghela napas berat. Namun, keduanya tetap merasa bahagia dan semangat memainkan permainan ini. Just enjoy the game.

“Yes! Masuk lagi! 23-20 hahaha point gue lebih gede!” El bersorak kegirangan.

“Ishhh!!! EYZAR BELUM KALAH AH LANJUT LAGI!”

“Hahaha oke ya, 5 menit lagi,” kata El, sembari melanjutkan permainannya.

Dengan usaha yang keras, Eyzar terus-terusan berusaha merebut bola dari kuasa El. Namun rupanya El yang gesit dan multitalent itu tidak mudah untuk dilawan. Eyzar yang sudah sangat pro bermain basket saja nampak kewalahan saat bertanding dengan El saat ini. Ah, kesalahan terbesar jika Eyzar berani menantang El seperti ini.

“Kak El ini jangan-jangan dulunya atlete basket ya?!” teriak Eyzar sambil berusaha menghadang langkah El.

El tertawa, “Lo sih pake lupa segala kalau gue jago di bidang olahraga.”

“Ya kan Eyzar pikir Eyzar yang bakal menang soalnya Eyzar kan udah diangkat jadi kapten basket nih!” guraunya.

“Dih songong beut, bocah!!!” kekeh El pelan.

Dan akhirnya,

“HAHAHAHAHA UDAH GUE MENANG!!! SKOR NYA 25-24!!”

“AARRGGGHH DIKIT LAGI PADAHAL!!!” Eyzar yang tidak terima atas kekalahannya hanya tertawa sembari menyibakkan rambutnya kasar. Lantas anak laki-laki itu merebahkan dirinya di lapangan.

El mengikuti Eyzar. Gadis itu hanya duduk dan menyelonjorkan kakinya yang terasa pegal dan lelah. Keduanya kini dibasahi oleh keringat yang begitu banyak.

“Gue menang, Zar, hahaha.” El puas.

“Iya iya.”

“Gue menang.”

“Iya, ish, bawel.”

“Hahaha gue menang, Zar!”

Eyzar bangun dari rebahan ya, “Iya, ih! Udah ah Kak El bikin Eyzar malu aja. Padahal Eyzar yang nantangin, tapi malah Eyzar yang kalah. Ahh! Lagian itu poinnya cuman beda satu, ish, gereget banget!” keluhnya.

El tertawa puas. Gadis itu melepaskan tawanya seperti tidak ada beban lagi yang menghantui pikirannya. Dan saat melihat itu, Eyzar hanya ikut merasa senang. Melihat gadis yang belakangan ini mulai ia sayangi tertawa lepas seperti itu, Eyzar pun seolah-olah merasakan sebuah kebahagiaan.

“Jadi..?”

“Jadi apa?”

“Apa permintaan Kak El buat Eyzar? Kan tadi kesepakatannya, yang kalah harus nurutin permintaan yang menang. Nah, Kak El minta apa sama Eyzar, ntar bakal Eyzar turutin.”

El menghela napas, gadis itu nampak berpikir. “Hm, permintaan gue ya?”

Eyzar mengangguk.

“Permintaan gue cuman satu sih,” El menatap Eyzar dengan lekat, “Gue minta, lo harus selalu bahagia ya? Sekalipun gue gaada di samping lo, atau gabisa nemenin lo lagi suatu hari nanti, lo harus selalu bahagia. Oke?”

Eyzar mengernyitkan keningnya, “Kok gitu sih?! Emang Kak El mau ke mana? Kayak yang mau pergi jauh aja ih aneh.”

“Ya... Siapa tau gitu kan, ntar gue pergi jauh ke luar negeri ninggalin lo.”

“Ish. Kalau gitumah gampang, ntar Eyzar susulin aja Kak El ke luar negeri itu biar Eyzar ga ngerasa kesepian.”

El tertawa, “Kalau misalkan perginya lebih jauh dari itu?”

“Maksudnya?”

El menghela napas, gadis itu hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Eyzar barusan.

Merasa mengerti arah pembicaraan ini akan menuju ke mana, Eyzar tidak ingin melanjutkannya lagi. Lantas laki-laki itu berdiri dan sedikit merenggangkan badannya.

“Kak El, biar Eyzar beliin minum ya? Kak El pasti haus kan?”

El mengangguk.

“Yaudah, tunggu di sini ya, Eyzar beli minum dulu di warung yang ada di sana.”

Lantas saat Eyzar pergi meninggalkan El, gadis itu melangkah menuju bangku yang berada di bawah pohon rindang. El menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. Dan gadis itu kembali menikmati pemandangan indah yang ada di sana.

“Nih.”

Tiba-tiba, ada sebuah botol dingin yang sampai di genggaman tangan El. Gadis itu mengernyit, rasanya aneh jika Eyzar sudah lagi membeli minumnya, padahal Eyzar baru saja pergi untuk membeli.

“Ini, buat lo. Abis main basket pasti capek kan?” Laki-laki itu, mendudukkan dirinya di sebelah El.

El menoleh secara perlahan, “Melan...?”

Suara alarm pagi itu, terasa menusuk masuk ke pendengaran El yang masih terlelap. Otomatis membuat gadis itu membuka kelopak matanya secara perlahan, dan mulai bangun dari tidurnya. Samar-samar El memperhatikan keadaan, rupanya saat ini dirinya sudah ada di kamar yang dulunya adalah kamar Ellyna. Ah, dia baru ingat kalau kemarin ia memang berniat untuk menginap di rumah Eyzar.

“Eh? Tunggu?”

El mengerjapkan matanya berkali-kali. Gadis itu mengingat-ngingat apa yang terjadi malam kemarin. Seingatnya, dirinya dan Eyzar kemarin asik menonton di ruang tengah, dan setelah itu El tidak mengingat apa-apa lagi.

“Kayaknya gue ketiduran di sofa deh kemarin. Kok tiba-tiba ada di sini ya?” gumamnya pelan.

Namun karena tidak ingin berlama-lama dalam pikirannya, El langsung menuju kamar mandi, bersih-bersih diri, lantas segera menuju ke dapur dengan niatan untuk membantu Bi Ira yang mungkin sudah mulai memasak.

Benar saja, saat sampai di dapur, El sudah menemukan Bi Ira dengan celemek yang digunakannya.

“Bi, biar El bantu masak ya?” pinta El saat menghampiri wanita paruh baya itu.

Bi Ira menoleh ke arah El, “Eh nggak usah, Neng. Biar bibi aja.”

El tersenyum, “Ga apa-apa, Bi. Kan El juga mau masakin makanan buat Eyzar,” El menaikturunkan alisnya, lantas tersenyum canggung ke arah Bi Ira.

“Hahaha! Aduh Neng El teh ternyata pengen masakin makanan buat dek Eyzar juga ya. Yaudah deh boleh kalau gitu bantu bibi masak yuk sini.”

Akhirnya keduanya masak bersama-sama. Sesekali, Bi Ira melontarkan pertanyaan yang kemudian dijawab oleh El dengan ramah. Dan disaat-saat seperti itu, El selalu merasa senang. Hal sekecil itu tentu saja dapat menghangatkan perasaan El yang belakangan ini selalu merasa kesepian karena tak memiliki siapapun di dalam kehidupannya. Namun bersama Bi Ira, El merasakan bahwa ternyata diperhatikan oleh seseorang rasanya memang semenyenangkan ini. El merasakan bahagia, bahagia yang sederhana.

“Pagi, Bi Ira! Pagi, Kak El!”

Sapaan serak itu, membuat kedua perempuan yang ada di dapur menoleh secara bersamaan ke sumber suara. Mereka mendapati Eyzar yang kini duduk di meja makan dengan mata yang masih terlihat mengantuk.

Kak El menghela napas, menggelengkan kepalanya, “Kalau masih ngantuk kenapa ke sini coba? Tidur lagi aja gih bentar. Lagian masih lama kan sekolahnya juga.”

Eyzar berdiri, lantas mendekat ke arah El dan memperhatikan apa yang dilakukan gadis itu dengan lekat. “Gapapa. Eyzar pengen liat Kak El masak,” godanya.

El tersenyum. Gadis itu tersenyum sangat tipis. Bahkan, Bi Ira dan Eyzar pun mungkin tidak menyadari bahwa El sedang tersenyum karena ucapan Eyzar barusan.

Bi Ira yang melihat interaksi Eyzar dan El hanya menggelengkan kepala. Lantas tiba-tiba muncul sebuah ide untuk membiarkan keduanya bersamaan di dapur ini tanpa ada yang mengganggu. Akhirnya, Bi Ira mencari alasan untuk bisa meninggalkan El dan Eyzar di dapur berduaan.

“Neng Elvaara bisa masak sendiri kan ya? Bibi lupa nih masih banyak banget setrikaan di sana. Kalau Bibi tinggal dulu boleh kan?”

El mengangguk, “Iya, Bi. Gapapaa, biar El aja yang beresin masaknya,” sahut El sebelum akhirnya Bi Ira melangkah pergi dari dapur.

Dan kini, hanya tersisa El dan Eyzar di dapur itu. Berdua. El yang asik memasak, serta Eyzar yang asik menatap El dari belakang dengan senyuman yang terpancar di wajahnya.

“Eh iya, Zar.”

“Hmm???” Eyzar baru saja sadar dari lamunannya yang sedari memperhatikan El secara lekat. Wajahnya polos, sembari matanya berkedip beberapa kali.

Gemes banget yaampun. Batin El.

El menghela napas, “Seinget gue kemarin gue ketiduran di sofa deh? Kok tadi pagi tiba-tiba gue udah ada di kamar?” tanyanya.

“Aahhh itu,” Eyzar mengulum bibirnya, lantas melanjutkan kalimatnya, “Kemarin Eyzar enggak tega ngeliat Kak El ketiduran di sofa. Jadi Eyzar gendong Kak El, terus Eyzar bawa ke kamar deh... Hehehe...?” Di akhir kata, Eyzar tampak ragu, karena tiba-tiba El menatap dirinya dengan tajam dan dingin.

“Lo tau kan kalau cowok ke kamar cewek dan isinya berduaan tuh ga aman?”

Eyzar terkejut, “T-tapi kan Eyzar enggak ngapa-ngapain, Eyzar cuman naro Kak El di kasur, udah gitu udah Eyzar langsung keluar. Serius!!!” Eyzar melayangkan dua jarinya membentuk huruf V.

El mengangkat salah satu alisnya. “Tetep aja.” Lantas, gadis itu membuang muka dari pandangan Eyzar. “Lain kali gausah.”

“Kak El marah?!?! Kak El sumpah ih Eyzar ngga ngapa ngapain yaampun! Kak El masa ga percaya sama Eyzar?? Eyzar kan anak baik-baik ga mungkin ngelakuin yang aneh-aneh.”

El tidak menghiraukan laki-laki di sampingnya. Dan tiba-tiba sebuah ide muncul di pemikiran isengnya. “Gue gaakan pernah nginep di sini lagi,” ucapnya dingin.

“KOK GITU?!!! KAK EL KOK GITU SIH?!?!”

“Ya abisan gue gamau suatu hari lo ngelakuin yang aneh aneh ke gue. Gue gamau ya, sorry.”

“Kak El yaampun serius Eyzar enggak akan berani ngapa-ngapain Kak El! Kak El jangan gitu dong nanti kalau misalkan Eyzar kesepian di rumah ini gaada yang nemenin gimana? Kak El mau Eyzar sedih iya? Kak El kok jahat sih?! Ga suka sumpah ah gatau Eyzar ngambek!”

Eyzar memojokkan dirinya yang jatuhnya malah membuat El semakin gemas.

“Gila! Gabisa gue gabisa liat Eyzar gemes gini yaampun!” batin El menjerit kala itu. Namun, ekspresi wajah yang tampak pada muka El hanyalah ekspresi dingin dan cuek khasnya. Padahal gadis itu mati-matian menahan rasa gemasnya.

El diam, dia masih pura-pura bersikap tidak peduli.

“Kak El ini Eyzar nya ngambek, lho! Kok malah didiemin, ini Eyzar ngambek nih sama Kak El!!!”

“Gausah ngambek elah. Cepet sekolah tuh bentar lagi telat.”

Eyzar menggembungkan pipinya lucu, “Eyzar enggak akan siap-siap ke sekolah sebelum Kak El tarik kata-kata Kak El yang bilang gaakan pernah nginep di sini lagi! Pokoknya Kak El nggak boleh gitu ah nyebelin banget gasuka.”

Lagi-lagi El menoleh ke arah kanan sehingga Eyzar tidak bisa melihat ekspresi wajahnya yang lagi-lagi sedang menahan tawa melihat tingkah Eyzar itu. Bisa gilaaaa!!! El memejamkan matanya erat sembari menggigit bibir bawahnya dan tertawa pelan.

“Kak El ih...? Eyzar kan cowok baik-baik, serius deh! Eyzar gaakan ngelakuin hal-hal aneh, apalagi sama Kak El...” Eyzar masih cemberut.

El terkekeh, “Yaudah.”

“Yaudah apa?”

“Yaudah oke.”

“Oke apanya ih Kak El kalau ngomong tuh yang jelas. Ih ini kenapa sih hari ini Eyzar sensi banget ya ga sih? Aneh gatau ah.” Eyzar pun nampaknya bingung dengan sikap dirinya sendiri di pagi ini.

Lagi-lagi El hanya terkekeh pelan, “Yaudah iya gue tarik kata-kata gue yang tadi. Nanti kalau lo ngerasa sepi di rumah ini, gue bakal nginep lah sesekali di sini.”

“Nah gitu dong daritadi!” Eyzar memberikan cengiran lucunya.

“Yaudah sana siap siap sekolah.”

“Siaaaap, Bu Bos!!!”

Karena terkadang, perasaan memang sulit diungkapkan. —Elvaara Laura

Kini, gadis berambut panjang hitam legam itu sudah siap dengan pakaian kasualnnya. Kaus putih oversize dengan celana jeans panjang menjadi khas dari setelannya. Gadis simpel yang tidak pandai merangkai kata, namun pandai dalam mengerti sebuah rasa. Tapi apakah dia mampu mengungkapkan semua perasaan yang dimiliknya? Jawabannya adalah tidak. Gadis yang akrab dipanggil El itu, sejak dulu memang tak pandai dalam mengungkapkan sebuah perasaan.

“Oke. Makanannya udah semua gue masukin. Sekarang tinggal pesen grab buat berangkat ke rumah Eyzar,” ucap El sedikit bersemangat.

Namun baru saja melangkahkan kaki untuk keluar dari rumahnya, El hampir saja melupakan jaket jeans yang biasa ia gunakan. Lantas ia kembali ke dalam untuk mengambil jaket miliknya dan mengikatkan di pinggangnya.

“Hari ini gue nginep di rumah Eyzar aja kali ya? Mumpung besok jadwal gue ga padet-padet amat,” batinnya.

El menginap di rumah Eyzar. Atau Eyzar menginap di rumah El. Hal itu adalah hal yang biasa bagi mereka. Toh sekalipun mereka berada dalam satu rumah, tidak ada sedikitpun yang perlu mereka khawatirkan. Kamar mereka terpisah. Apabila El yang menginap di rumah Eyzar, gadis itu akan mengisi kamar kosong yang dulu menjadi kamar milik Ellyna. Dan apabila Eyzar yang menginap di rumah El, maka laki-laki itu akan tidur di kamar adik laki-laki El yang sudah lama tiada.

Kehidupan keduanya memiliki nasib yang serupa. Terpaksa tinggal sendirian dan menahan luka begitu dalam. Sepi dan rindu adalah teman yang setia menemani hari-harinya. Namun, keduanya senantiasa berbagi pundak sekadar untuk melepaskan semua rasa penatnya. Padahal, masing-masing dari mereka merasakan hal yang serupa. Dan hal yang serupa itulah, yang justru membuat mereka bisa saling memahami makna dari sebuah luka.

Ojek online yang El pesan kini datang dan berhenti di depan pagar rumahnya. El dengan senyumnya yang tipis mulai menaiki motor itu. Tak sabar untuk mampir ke rumah Eyzar, El meminta pada pria paruh baya di hadapannya untuk mempercepat laju kendaraannya.

Tak terasa, kini El pun sudah sampai di pekarangan rumah milik Eyzar. Pak Satpam yang sudah begitu El kenali, mempersilakan gadis itu masuk dengan mudah.

El menghirup napas dalam-dalam sebelum ia meraih kenop pintu utama rumah Eyzar. Gadis itu hanya ingin menyiapkan sedikit mentalnya untuk bertemu dengan laki-laki yang akhir-akhir ini sukses membuat degup jantungnya berdetak tak karuan. El hanya tidak mengerti, mengapa perasaan itu datang tanpa aba-aba.

Dan akhirnya,

Ceklek

El sengaja membuka kenop pintu dengan pelan, niatnya adalah agar gadis itu bisa memberikan sebuah kejutan atas kedatangannya untuk Eyzar. Namun,

“Zar, gue emang baru kenal beberapa hari sama lo. Tapi kalau gue kagum dan beneran suka sama lo, atau bahkan sayang sama lo, boleh nggak?” ucap seorang gadis yang kini duduk di samping Eyzar.

Mendengar hal itu, El sedikit kaget. Pertama, El kaget karena rupanya saat ini ada perempuan di rumah Eyzar. Kedua, pertanyaan yang dilontarkan gadis di samping Eyzar itu, sukses membuat El diam tak berkutik di tempatnya.

Jangankan El, bahkan Eyzar saja kini begitu terkejut dengan kalimat yang dilontarkan Reina. Laki-laki itu menatap lekat mata gadis yang berada di sampingnya. Eyzar hanya tak habis pikir, bahkan dirinya baru saja kenal beberapa hari dengan Reina, namun mengapa Reina begitu berani mengungkapkan kalimat seperti itu?

Eyzar menghela napas. Ia bingung apa yang seharusnya ia katakan untuk menjawab pertanyaan Reina barusan.

“Zar.” El memberanikan diri untuk melangkah mendekati laki-laki itu.

Dan kini, giliran Eyzar dan Reina yang terkejut atas kedatangan El di sana.

Eyzar terkejut, “Loh? Kak El?” Dengan sedikit gelagapan, Eyzar langsung membuat jarak dengan Reina. Eyzar tidak ingin El salah paham dengan posisi duduk Eyzar dan Reina yang sedari tadi duduk dengan jarak yang begitu dekat.

Reina menggigit bibir bawahnya, gadis itu memberikan senyum manisnya ke arah El, namun El hanya membalas dengan tatapan dingin tanpa ekspresi yang menjadi ciri khasnya.

“Zar.. Dia siapa? Kakak lo?” tanya Reina pelan kepada Eyzar.

Eyzar langsung menggeleng dengan cepat, “B-bukan hahaha, dia bukan kakak gue.”

“Oalah, siapa dong? Cewek lo?” tanya Reina lagi, penasaran.

“Eh, bu—”

“Siapapun gue, bukan urusan lo,” ucap El memotong pembicaraan Eyzar. Lantas gadis itu memperhatikan Reina dari bawah sampai ke atas dengan tatapan dinginnya. Dan sampai pandangannya bertemu dengan pandangan Reina, El kembali bersuara, “Kalau udah selesai urusannya sama Eyzar, langsung pulang aja.”

Dan El pun meninggalkan keduanya, melangkah pergi ke arah ruang tengah dengan membawa totebag yang sedari tadi dijinjingnya.

Eyzar bingung melihat sikap El yang tidak biasa ini. Laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari berpikir, “Kak El aneh banget.”

Begitupun dengan Reina. Gadis itu baru pertama kali bertemu dengan El. Dan di pertemuannya kali ini, Reina sudah sangat tidak suka dengan sikap El yang tidak ramah itu. “Songong banget tuh cewek, anjir!” batinnya.

Karena merasa keadaan berubah menjadi awkward, akhirnya Eyzar mengalihkan perhatian Reina untuk kembali mengerjakan tugas kelompoknya.

“Sorry ya, Kak El emang cuek, dingin, kadang ceplas-ceplos. Tapi aslinya baik kok.” Eyzar mengutarakan kalimat seperti itu, karena ia merasa sekarang Reina sangat terkejut dengan sikap El yang tidak ramah, seakan-akan mengusirnya untuk cepat pergi dari rumah ini. Padahal katanya gadis itu bukan siapa-siapa nya Eyzar, kan? Aneh.

Alih-alih mengungkapkan rasa kesalnya, Reina malah memberikan senyum manis kepada laki-laki di sampingnya. “Ahaha, gapapa kok, santai aja. Yaudah yuk lanjutin, dikit lagi beres nih, gue juga pengen cepet-cepet pulang.”

Akhirnya, Eyzar dan Reina kembali fokus pada tugasnya masing-masing. Hingga beberapa saat kemudian, semua pertanyaan pun berhasil mereka jawab dengan sedikit kegiatan saling membantu satu sama lain apabila ada kesulitan.

Setelah dirasa cukup, Reina pun segera mengemas barang-barangnya dan hendak untuk segera pulang ke rumahnya. Lagipula sekarang ia merasa tidak nyaman saat kedatangan El beberapa menit yang lalu.

“Kalau gitu, gue pulang dulu ya. Gojek gue udah ada di depan kayaknya.”

Reina lantas melangkah keluar dari rumah Eyzar, diikuti oleh Eyzar di belakangnya. Hendak mengantarnya hingga ke depan pagar.

“Oh iya,” kalimat Eyzar barusan, berhasil membuat Reina membalikkan badan.

“Apa?”

“Tentang pertanyaan lo yang tadi.”

Reina meneguk ludahnya, malu, “Aaahh! Udah udah nggak usah dipikirin apa yang tadi gue bilang, random banget itumah tadi gue aja ga sadar apa yang gue omongin,” ucapnya.

Eyzar terkekeh, “Gue cuman mau bilang, terserah lo kalau mau suka sama gue, atau bahkan sayang sama gue. Karena gue nggak bisa ngelarang, orang itu hak dan perasaan lo sendiri.”

Reina terdiam di tempat.

“Tapi, jangan salahin gue kalau misalkan lo gabisa dapetin balasan perasaan itu dari gue.”

Reina mengerutkan keningnya.

“Karena gue udah punya seseorang yang gue sayang.”

Reina tersenyum, “Cewek tadi ya?”

“Kalau untuk orangnya, lo ga perlu tau. Karena ini bukan urusan lo.”


Eyzar buru-buru melangkah ke dalam ruangan dan mendapati El yang sedang asik bermain game di ruang tengah.

“Kak El.”

Tidak ada jawaban. Nampaknya gadis itu terlalu pokus pada permainannya hingga suara berat milik Eyzar pun tak sampai ke pendengarannya.

“Kak El.”

Masih tidak ada jawaban juga, akhirnya Eyzar memutuskan untuk langsung mengambil posisi duduk di samping El.

“Nih, keripik kentang kesukaan Kak El. Sengaja Eyzar simpen di kulkas banyak biar kalau Kak El main ke sini, Kak El bisa makan keripik sepuasnya.”

El melirik sebentar ke arah Eyzar, namun kembali fokus pada permainan di dalam ponselnya.

“Kak El kenapa deh? Aneh banget. Eyzar tau kalau Kak El cuek, tapi perasaan biasanya nggak secuek ini deh,” Eyzar memajukan bibirnya beberapa senti, tanda dirinya sedang kesal atas tindakan El yang menurutnya aneh saat ini.

Lagi-lagi, El hanya sedikit melirik Eyzar, tanpa membalas kalimat yang baru saja ia lontarkan.

Eyzar menghela napas, “Kak El marah sama Eyzar?”

Pertanyaan barusan, sukses membuat El menghentikan game-nya. “Engga.” Lantas gadis itu kembali menatap Eyzar yang ada di sebelahnya, “Cewek tadi siapa?”

“Yang tadi? Itu Reina, kak. Temen baru yang pernah Eyzar ceri—”

“Ngapain dia ke sini?”

“Yaa, kerja kelompok. Soalnya tadi Miss Key ngasih tugas kelompok dan kelompoknya itu sesuai temen sebangkunya masing-masing. Ya jadi Eyzar sekelompok sama dia deh.”

“Oh...”

Eyzar mengerjapkan matanya berkali-kali, “Kenapa emangnya?”

“Nanya doang.”

“Hhmmmm???? Kak El aneh.”

“Gue ga aneh. Lo yang aneh.”

Eyzar tersenyum jahil, “Jangan bilang Kak El cemburu sama Reina karena daritadi berduaan sama Eyzar???”

El merotasikan bola matanya, “Mana ada gue cemburu???”

Semakin tinggi niat Eyzar untuk membuat El salah tingkah, laki-laki itu semakin mengikis jarak di antara dirinya dan El. “Kak El cemburu ya???” Eyzar tersenyum jahil sembari menaikturunkan alisnya.

“Ngapain banget gue cemburu. Gaada kerjaan.”

Eyzar tertawa, “Udah sih fiks inimah Kak El cemburu gara-gara Eyzar deket sama cewek lain.” Dan di kalimat terakhirnya, tawa Eyzar semakin kencang.

“Kalau gue cewek lo, wajar aja gue cemburu. Lah faktanya? Bahkan gue bukan siapa-siapa lo. Pacar lo aja bukan, ngapain banget gue cemburu.”

Eyzar terkekeh, “Yaudah bagus gausah cemburu, soalnya Eyzar enggak akan deket-deket sama cewek lain selain Kak El, hehehe.” Cengiran lucu kini muncul di bibir milik Eyzar, sukses membuat El mati-matian menahan rasa gemasnya. Untung saja, El sudah terlatih untuk bersikap sok cool di hadapan laki-laki itu.

“Gue bukan cemburu sih, cuman kaget aja karena cewek tadi tiba-tiba banget confess, bilang, kalau dia suka sama lo.” batin El kala itu.

Sesampainya di rumah besar dan elegan milik Eyzar, kini Reina mengikuti langkah laki-laki bertubuh jangkung itu dari belakang. Bahkan sejak turun dari mobil milik Bang Dhaka, Eyzar sama sekali tidak berbicara apapun pada Reina. Eyzar hanya memberikan kode lewat kontak mata kepada gadis itu untuk segera mengikutinya. Tidak ada kata-kata, Eyzar hanya malas berbicara.

“Woah!”

Reina tak henti-henti nya berdecak kagum saat melihat isi rumah Eyzar. Belum, belum sampai semua ruangannya. Saat ini Reina baru berada di ruang tamu yang cukup besar, dan gadis itu berhasil dibuat kagum dengan design ruangan serta pemetaan barang-barang di rumah Eyzar.

“Eh, Dek Eyzar udah pulang? Wah siapa nih udah bawa perempuan ke rumah aja?” goda Bi Ira yang datang dari arah dapur langsung menyambut kedatangan Eyzar, seperti biasa.

Eyzar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Bi, jangan panggil dek depan temen-temen Eyzar ih malu,” bisik Eyzar pelan, sembari mengigit bibir bagian bawahnya.

Reina terkekeh, jelas-jelas gadis itu masih bisa mendengar ucapan Eyzar barusan, “Enggak apa-apa kali, hahaha santai aja. Eh oh iya, Tante, kenalin saya Reina temennya Eyzar.” Reina menyalimi wanita paruh baya yang ada di hadapannya itu.

Bi Ira terkejut, “Eh? Gausah panggil Tante. Saya cuman orang yang bantu-bantu di rumah ini, hehehe. Panggil Bi Ira aja.”

“Oalaah,” Reina menyengir dan tertawa canggung, “Oke, Bi Ira.”

Bi Ira terkekeh, sedangkan Eyzar hanya tersenyum melihat interaksi keduanya. Lantas Eyzar meminta Bi Ira untuk membawakan minuman untuk Reina, sebagai bentuk menghormati tamu seperti biasa.

“Lo tunggu di sini aja, gue mau mandi dulu. Asli gerah banget.”

Setelah diangguki oleh Reina, Eyzar pun segera bergegas ke kamarnya sekedar untuk membersihkan badannya yang terasa lengket karena hari ini ia beraktifitas banyak dan cukup melelahkan.


Reina sudah membuka laptopnya dan memulai pengerjaan tugas Bahasa Inggris yang diberikan Miss Key. Hampir sepuluh menit dirinya diam di ruang tamu itu sendirian, rupanya Eyzar masih belum keluar juga dari kamarnya. Sedikit merasa bosan, akhirnya Reina memutuskan untuk sedikit berjalan-jalan mengelilingi ruangan tersebut, sekedar memperhatikan furniture-furniture yang sukses membuat Reina penasaran sejak tadi.

Hingga akhirnya gadis itu menemukan sebuah foto yang diletakkan di sebuah meja, menunjukkan potret keluarga kecil yang menurutnya begitu harmonis.

“Wah, ini pasti foto keluarga nya nih,” ucap Reina dengan senyuman yang muncul di bibir ranumnya.

“Di sini foto yang sekeluarga Eyzar nya masih kecil gasih? Kok gaada ya foto dia yang udah gede tapi bareng keluarganya?” Reina bergumam sendirian. Dan perhatiannya perlahan teralihkan saat melihat foto laki-laki dan perempuan berparas rupawan dengan senyuman lebar yang begitu indah di matanya.

“Dua-duanya cakep banget buset! Pantesan Eyzar ganteng, ternyata keluarganya emang bibit unggul semua.” Kali ini, Reina hanya membatin di dalam hati.

Entah kenapa, saat melihat foto-foto keluarga Eyzar, rasanya hati Reina begitu tentram. Entah mengapa, tetapi melihat ekspresi yang tampak pada foto itu, semuanya terlihat bahagia. Dan saat melihat kebahagiaan sekecil apapun yang berhubungan dengan keluarga, Reina akan ikut merasakan kebahagiaan itu.

“Sorry, gue kelamaan kayaknya.”

Suara berat khas Eyzar, sukses membuat Reina terkejut. Dan beberapa detik kemudian, Reina langsung menghampiri Eyzar yang sudah duduk di sofa dengan kaus hitam dan kacamata yang digunakannya.

“Lo emang pake kacamata, Zar?”

Eyzar menoleh, dan tampak sedikit berpikir sebelum menjawab, “Ehm, sebenernya mata gue emang rabun, tapi kecil sih, makannya gue jarang banget pake kacamata. Paling kalau lagi mood doang.”

“Eh, hati-hati loh katanya meskipun minus kita kecil tapi kalau jarang pake kacamata ntar bisa bisa naiknya cepet,” kata Reina.

“Kata siapa? Hoaks kali.”

Reina terkekeh, “Yaudah sih kalau ga percaya. Gue juga enggak tahu kebenarannya, orang mata gue enggak minus jadi ya gatau.”

Mendengar jawaban Reina barusan, Eyzar hanya terkekeh pelan. “Yaudah ayo kerjain tugasnya.”

“Eh bentar deh gue mau nanya-nanya,” Reina memberikan cengiran nya. “Itu foto keluarga lo, Zar?”

Eyzar sontak ikut menoleh dan kembali memperhatikan jajaran foto yang berada di meja sana. Saat memperhatikan foto keluarganya, mata Eyzar kembali redup. Ada rasa rindu yang begitu menyeruak di dalam dadanya. Mendadak rasa sakit itu kembali menghantui pikiran dan perasaannya. Dan kini, hanya kata rindu yang terpikir di dalam benaknya.

“Iya.”

Mencoba terlihat baik-baik saja, Eyzar hanya meng-iyakan pertanyaan Reina barusan. Eyzar malah hendak meraih laptop milik Reina untuk melihat sejauh mana tugas yang telah ia kerjakan. Tapi lagi-lagi, Reina malah membuat Eyzar merasakan rasa sakit yang sulit untuk dijelaskan.

“Berarti foto yang berdua itu, kakak-kakak lo, Zar?”

Eyzar menghela napas pasrah, “Iya.”

“Terus itu pas mereka udah besar foto berdua, kok gaada foto bertiga yang barengan sama lo, Zar? Padahal gue pengen liat foto lo kalau lagi bareng sama mereka.”

Lagi-lagi, Eyzar kembali teringat masa lalunya. Masa-masa sulit saat ia harus merasakan kesepian setelah kedua orang tuanya tiada. Saat-saat dimana Elvan dan Ellyna masih belum bisa berdamai dengan keadaan. Dan saat-saat Eyzar masih tidak bisa mendapatkan perhatian barang sekecilpun dari kedua kakaknya itu. Kembali mengingat semuanya, rasa sakit di dalam dada Eyzar hanya bertambah. Reina yang kembali membuka luka lama itu. Sial, pikirnya.

“Hmmm... Kakak-kakak lo pada ke mana?? Gue pengen ketemu dong, ngeliat dari foto doang juga udah ganteng sama cantik banget, gimana kalau ketemu aslinya ya. Gue boleh ketemu kakak lo ga, Zar?”

Mendengar pertanyaan Reina barusan, emosi Eyzar kini sudah tak tertahankan lagi. Ia mengepalkan tangannya sekuat tenaga. Bahkan napasnya pun kini sudah tidak teratur seperti biasanya.

Brak!

“Bisa ga sih gausah nanya nanya tentang keluarga gue?!”

Reina terkejut. Gadis itu benar-benar terkejut. Bahkan saat ia melihat Eyzar yang ada di sampingnya, ia dapat melihat mata laki-laki itu kini kian memerah, dan napasnya tersengal-sengal karena menahan emosi.

Reina mengulum bibirnya, “Sorry, pertanyaan gue bikin lo tersinggung ya...”

Eyzar menghela napas berat, lantas memutar bola matanya jengah. “Udah cepet kerjain aja tugasnya biar cepet beres.”

Reina menyerahkan laptop yang ada di hadapannya, sembari menunjukkan Microsoft Word yang sudah berisikan teks panjang yang telah Reina buat.

“Ini gue tadi udah bikin teks nya sampe beres. Sekarang tinggal nentuin generic structure sama language features yang ada di teks ini. Oh iya sama ini juga,” Reina menyela kalimatnya untuk meraih sebuah buku di dalam tas nya. “Terakhir, kita tinggal jawab 15 question yang ada di LKS ini. Udah gitu udah deh beres.”

Eyzar mengangguk paham. “Oke kalau gitu biar gue yang kerjain ini, dan itu yang di LKS juga bagi dua aja. 7 soal buat lo, 8 soal buat gue.”

“Oke.”

Setelah kesepakatan keduanya, kini ruangan kembali diselimuti suasana sepi. Reina dan Eyzar begitu fokus dengan tugas nya masing-masing, hingga tak terasa sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah setengah enam sore.

Reina yang merasa bosan pun memilih melihat Eyzar yang berada di sampingnya. Memperhatikan laki-laki itu dari samping, hati nya tak henti-henti berdecak kagum. Rahangnya yang tegas, bola mata yang indah, serta bentuk wajah yang manis, sukses membuat Reina terkagum-kagum melihat penampilan Eyzar.

Tapi ada hal lain yang dirasakan oleh Reina selain rasa kagum itu sendiri.

“Hangat.”

Entah mengapa, selama Reina memperhatikan Eyzar, ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya saat ini. Bahkan gadis itu merasa nyaman berada di samping Eyzar. Aneh, padahal Reina bertemu dengan Eyzar baru beberapa hari yang lalu. Tapi kenapa bisa sehangat ini? Kenapa bisa senyaman ini?

Lantas tanpa disadari, mulut Reina kembali berucap.

“Zar, gue emang baru kenal beberapa hari sama lo. Tapi kalau gue kagum dan beneran suka sama lo, atau bahkan sayang sama lo, boleh nggak?”

Suasana koridor sekolah kini cukup ramai. Rupanya sekarang saatnya waktu istirahat, menyebabkan banyak murid yang keluar dari kelasnya masing-masing dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang hendak pergi ke kantin, ada yang sekadar nangkring di lapangan bersama teman-teman, atau bahkan ada yang sengaja main kejar-kejaran tidak jelas di sepanjang koridor.

Sesekali Eyzar tersenyum sembari sedikit membungkuk saat ada murid yang menyapanya. Walaupun Eyzar jelas tidak terlalu mengenali mereka, bahkan untuk sekadar namanya pun Eyzar tidak tahu, tapi anak laki-laki itu tetap merespon dengan baik apabila ada yang menyapanya dengan ramah. Berbeda jika ada orang yang jelas-jelas membicarakannya atau bisik-bisik saat dirinya lewat, maka Eyzar akan langsung menunduk hanya karena merasa ingin menghilang dari sana. Eyzar tidak suka menjadi bahan gunjingan orang, begitulah.

Tak lama kemudian, Eyzar pun sampai di kelasnya, XII IPA 1. Kelas yang berada di lantai 2 itu, sepertinya tidak terlalu ramai karena banyak murid yang memilih untuk pergi ke kantin bersama yang lainnya.

“Euyy! Dateng juga nih bocah satu!” pekik Reza yang ternyata sudah menunggu kedatangan Eyzar sejak tadi.

“Lama banget, Zar? Ngapain aja lo?” Sadam menimpali sembari pandangannya tidak lepas dari ponsel yang sedang dimainkannya.

Eyzar meletakkan dua kantung keresek di bangku kedua temannya itu, “Tuh, kalian yang pesennya kebanyakan, ya wajar lah kalau lama.”

Reza dan Sadam menyengir. Lantas semangat meraih jajanan yang mereka pesan di dalam kantung keresek yang diserahkan oleh Eyzar barusan.

“Eh eh awas itu ada yang buat gue sama buat Artha juga ya. Nggak semua buat kalian,” kata Eyzar.

“Iya-iya kita juga tau kali ah, santai.”

Eyzar lantas mendudukkan diri di bangku miliknya. Bangku yang terletak paling belakang dan keberadaannya ada di belakang bangku milik Reza dan Sadam. Jangan tanyakan Artha duduk di mana, karena laki-laki yang dijuluki 'anak ambis' itu bertempat duduk di paling depan bersama ketua kelas yang sama-sama memiliki semangat belajar tinggi.

Melihat ke arah samping, rupanya ada Reina yang sedari tadi meletakkan kepalanya di atas lengan sebagai bantalan.

Eyzar bertanya kepada teman-temannya, “Tidur dia?”

Sadam mengangkat bahunya, tanda tak tahu, “Gatau, gue juga daritadi ga merhatiin, coba tanya Reza siapa tau dia merhatiin kan kata Reza cakep ceunah.”

“Ck. Gue bilang cakep bukan berarti bakalan gue perhatiin terus-terusan kali, malesin banget.”

Eyzar terkekeh, “Yaudah sih santai, orang gue cuman nanya. Ini kalau dia tidur bangunin jangan ya? Apa gausah aja?”

“Udah lah biarin aja, ntar juga bangun sendiri.”


Bel kembali berbunyi, tanda pembelajaran selanjutnya sudah harus dimulai. Murid-murid berbondong-bondong menuju kelasnya masing-masing. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang berlarian saat menuju kelas.

Eyzar, Sadam, dan Reza pun sudah selesai menghabiskan jajanan milik mereka. Kini hanya tersisa makanan yang sengaja Eyzar belikan untuk Artha. Namun rupanya Artha masih belum datang ke kelas juga sampai saat ini.

“Halo, selamat siang semuanya!”

Guru muda berparas cantik yang notabene-nya adalah guru mata pelajaran bahasa Indonesia kini sudah memasuki ruangan kelas. Sontak semua murid pun menyambutnya dengan semangat.

Eyzar menoleh ke samping dan masih menemukan Reina tetap dalam posisi tidurnya. Eyzar bingung, haruskah ia membangunkan gadis itu, atau lebih baik ia diamkan saja? Kalau mengikuti apa isi hati Eyzar, seharusnya ia membangunkan Reina karena pelajaran akan segera dimulai. Tapi entah apa yang membuat laki-laki itu malas untuk melakukannya.

“Eh ada yang tidur tuh? Tolong teman yang di sampingnya bangunkan dulu ya.”

Baru saja Eyzar bergulat dengan pikiran dan isi hatinya, tau-tau ia mendapatkan perintah untuk membangunkan Reina. Oke, untuk kali ini ia tidak bisa menolak permintaan dari gurunya itu. Maka dengan terpaksa, Eyzar membangunkan Reina yang ada di sampingnya.

“Bangun,” ucap Eyzar cukup pelan.

Sadam sedikit menolehkan kepalanya dan berbisik, “Kalau banguninnya pelan gitumah gaakan bangun-bangun kali.”

“Iya sih.” Eyzar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Lantas dengan perasaan yang terpaksa, Eyzar lagi-lagi berusaha membangunkan gadis itu.

“Reina, bangun.”

Masih belum ada jawaban. Akhirnya Eyzar memutuskan untuk sedikit menggoyangkan tubuh Reina agar gadis itu cepat bangun.

“Reina, bangun. Gurunya udah masuk tuh.”

Masih belum menyahut pula, Eyzar pun menghela napas pasrah.

“Buset dah nyenyak banget tidurnya, padahal ini di sekolah.”

“Reina...”

“Hei, bangun. Hei? Heii??? Reina?? Bangun atuh cepetan.”

Sret

Reina tampaknya bangun dengan keadaan terkejut. Karena merasa tidak enak, Eyzar mengerjapkan matanya berkali-kali, “Eh maaf, gue banguninnya ngagetin ya?”

Reina sedikit mengucek matanya yang masih berat oleh rasa kantuk, dan perlahan ia baru menyadari kalau laki-laki yang berada di sampingnya itu adalah Eyzar. “Loh? Kok lo di sini? Bukannya tadi ga masuk?”

Eyzar tidak menjawab, anak laki-laki itu hanya tersenyum canggung dan kembali menatap guru bahasa Indonesia yang sudah mulai menerangkan materi pembelajaran.

“Lahhh?? Ini gurunya udah dateng daritadi banget??” bisik Reina pada Eyzar.

Eyzar menggeleng pelan, “Engga kok, ini baru mulai.”

“Oalah, oke deh. Hadeuh, bisa bisa nya gue tidur nyenyak padahal lagi di sekolah,” gumam Reina, sembari tersenyum miris menghadap ke arah papan tulis dan mulai memperhatikan apa yang dijelaskan oleh gurunya.

Eyzar dan El kini sudah tiba di persimpangan jalanan yang cukup ramai dengan tukang dagangan. Lantas Eyzar mulai memelankan laju motornya agar bisa berkomunikasi dengan El tanpa mengeraskan volume suaranya.

“Kak El mau jajan apa?”

“Apa aja, kan lo yang ngajakin, gue ngikut aja.”

Eyzar menghela napas. Seperti biasa, jawaban El selalu saja seperti itu apabila ditawarkan sesuatu.

“Sebenernya Eyzar tuh dari tadi siang pengen mie ayam. Tapi kalau misalkan sekarang kita pesen mie ayam lagi berarti Kak El hariini makan mie ayam dua kali dong? Emangnya ga bosen?”

Bukannya menjawab, El malah balik bertanya, “Lo pengen banget makan mie ayam?”

Eyzar mengangguk semangat, “Asli! Lagi mau banget mie ayam. Soalnya tadi Eyzar kebita ngeliat foto mie ayam yang dikirimin Kak El,” katanya.

El terkekeh pelan, “Yaudah mie ayam aja. Gue juga pengen mie ayam lagi kok.”

Dengan polosnya, Eyzar bersorak semangat karena sekarang dia dan El akan makan mie ayam bersama. Lantas tanpa banyak bicara, Eyzar langsung menghentikan motornya di depan tempat makan mie ayam yang cukup sepi pembelinya. Sengaja, Eyzar memilih tempat ini karena Eyzar tidak suka tempat yang begitu ramai.

Setelah memesan, Eyzar dan El memilih tempat yang berada paling ujung.

“Kak El gapapa kan kalau Eyzar ajak makannya ke yang kayak gini aja? Soalnya Eyzar males kalau ke restoran restoran gitu.”

El hanya bisa terkekeh saat mendengar perkataan Eyzar barusan, “Gapapa kali. Lagian sama-sama aja mau kemanapun intinya sama-sama makan.”

Eyzar tersenyum hangat, memperhatikan El dengan lekat, lantas kembali bersuara. “Cantik.”

El sedikit berdeham, lantas mengalihkan pandangannya ke sembarang arah yang penting kali ini El tidak melihat ke arah Eyzar. Sial, lagi-lagi gadis itu dibuat salah tingkah oleh laki-laki di sebelahnya. El mati-matian menahan dirinya agar tidak salah tingkah di tempat ini. Yang benar saja, El memiliki rasa gengsi yang tinggi dimanapun ia berada. Ia tidak ingin terlihat salting di hadapan siapapun. El hanya ingin terlihat seperti gadis dingin nan cuek di hadapan orang lain.

Eyzar yang baru saja sadar bahwa dirinya baru saja mengatakan perkataan yang aneh, ia pun memukul pelan mulutnya. “Heh mulut, kalau mau bilang Kak El cantik tuh jangan di depan orangnya langsung dong, kan Eyzar malu.”

Untungnya, dua mangkok mie segera datang disaat-saat keduanya saling menghindari pandangan. El memberikan semangkuk mie kepada Eyzar yang ada di sampingnya. Lantas setelah memberikan bumbu sesuai selera masing-masing, kini keduanya mulai menyantap hidangan yang ada di hadapan mereka.

Eyzar yang tidak bisa bertahan dalam situasi canggung ini, mulai mengeluarkan suaranya. Basa-basi sederhana, hanya ingin menyampaikan sebuah cerita yang terjadi di hari ini.

“Kak El tau ga sih? Hari ini ada murid baru di sekolah Eyzar. Eh bukan hari ini deh, dia udah masuk dari kemarin, tapi Eyzar baru ketemu sama dia soalnya kan Eyzar baru masuk hari ini.”

El mengangguk-angguk saja. Namun karena Eyzar tahu kalau El tetap menyimak walaupun tidak menjawabnya, maka Eyzar tetap melanjutkan ceritanya.

“Terus kan dari awal kelas 12 Eyzar duduk nya sendirian. Nah jadi anak murid baru itu sekarang duduknya di samping Eyzar. Tapi tau ga apa yang bikin Eyzar males duduk sama dia?”

“Kenapa?”

“Soalnya dia cewek ih. Gatau Eyzar asa males aja gitu duduk sama cewek yang belum terlalu kenal. Mana dia nanya-nanya terus, Eyzar enggak terlalu suka pokoknya Eyzar males sama dia.”

“Gapapa, ntar juga lama-lama makin kenal,” ujar El.

“Iya sih. Eh terus ya, yang di base tadi itu yang ga sengaja kena lemparan bola basketnya Eyzar tuh dia si anak baru itu. Yaampun besok gimana Eyzar ga kebayang malu banget kalau ketemu dia ih.”

“Bentar,” El mengalihkan pandangannya ke arah ponsel yang baru saja memunculkan notifikasi. Lantas dengan pelan, El meraih ponsel miliknya itu dan mengetikkan pesan balasan.

“Lanjut,” ujar El, sembari kembali melahap mie ayam di depannya.

Eyzar mengulum bibirnya, “Hmmm... Udah sih gitu aja ceritanya.”

“Oohh. Eh bentar ada notif lagi.”

Setelah El berkata seperti itu, Eyzar hanya diam. Anak laki-laki itu memilih menikmati mie ayamnya sendiri agar tidak mengganggu El yang mungkin sedang mengobrol penting di dalam chat? Atau mungkin sedang mengobrol dengan temannya tentang tugas? Atau mungkin... Ah entahlah Eyzar pun tidak ingin terlalu banyak berpikir kali ini.

Begitu lama. Keadaan sepi ini berjalan begitu lama. El yang sedari tadi berbalas pesan dengan seseorang yang entah siapa, dan Eyzar yang bahkan hampir menghabiskan satu porsi mie ayam.

Karena tak sanggup lagi merasa tidak diperhatikan, akhirnya Eyzar sengaja sedikit berdeham agar El kembali memperhatikannya.

“Ekhem.”

Tidak ada sahutan.

“Ekhem, ekhem.”

Kali ini sukses. El menoleh ke arah Eyzar, lantas berkata, “Kenapa lo?”

Eyzar menggelengkan kepalanya, “Enggak, gapapa.”

Akhirnya, El pun kembali memperhatikan ponsel nya.

“Lagi chattan sama siapa sih, serius amat.” Batin Eyzar kala itu

“Gue lagi chattan sama temen, ngomongin tentang pembagian tugas presentasi besok.” Seakan-akan mengerti apa yang ada di dalam pikiran Eyzar, El menjelaskan tentang yang dilakukan dirinya.

Tiba-tiba Eyzar merasa tenggorokannya begitu gatal, entah kenapa, tapi kali ini tenggorokannya rasanya sakit.

“Uhuk! Uhuk!”

“Lo kenapa? Nih minum.” El memberikan botol minum yang baru saja ia beli tadi sebelum pulang dari kampus.

Tanpa aba-aba, Eyzar langsung membuka tutup botol itu dan buru-buru meminumnya.

“Lo kenapa? Sakit? Panas lagi?”

El langsung meraih dan menyentuh dahi Eyzar untuk memastikan apakah anak laki-laki itu demam atau tidak.

“Uhuk! Uhuk!” Bukannya semakin reda, rasa sakit yang ada di tenggorokan Eyzar semakin menjadi-jadi karena ia tersedak oleh air yang diminumnya. Dia tersedak bukan karena apa-apa. Tapi perlakuan El barusan yang tiba-tiba menyentuh kepalanya membuat Eyzar begitu terkejut dan merasa salah tingkah.

Eyzar kembali minum untuk meredakan tenggorokannya. Lantas dirasa sudah mendingan, ia mengeluh, “Kak El kalau mau pegang dahi Eyzar tuh kasih aba-aba dulu dong, kan kalau tiba-tiba kayak tadi bikin Eyzar kaget tau.”

“Ya kan gue kaget, kirain lo sakit.”

Eyzar menghela napas, “Lagian kalau batuk itu yang sakit tenggorokannya, kok yang dipegang dahi nya sih, aneh.”

“Ya kali gue pegang tenggorokan lo gitu? Leher lo? Ih gamau ntar kepegang jakunnya.” El bergidik ngeri.

“Enggak gitu maksud Eyzar, Kak El astaghfirullah...” Eyzar hanya bisa menghela napas mendengar perkataan El barusan. Apa tadi? Jakun? Haduh.

Di sore hari yang temaram, Eyzar setia menunggu El di parkiran. Di atas motor hitam dengan dirinya yang dibalut oleh hoodie hitam, Eyzar memperhatikan keadaan. Rupanya sekarang banyak sekali mahasiswa yang berlalu lalang.

Eyzar panik. Eyzar mulai merasakan ketidaktenangan di dalam hatinya. Laki-laki itu sangat tidak suka keramaian. Bahkan, sejak ia kehilangan semua keluarganya, dia didiagnosa memiliki panick attack yang cukup parah. Di saat seperti ini saja, rasanya Eyzar ingin menghilang dari pandangan semua orang.

Ini bukan hanya perasaan Eyzar saja. Tapi ia yakin, banyak pasang mata yang memandangi dirinya. Bayangkan saja, laki-laki itu masih menggunakan celana abu-abu khas SMA, tapi sekarang malah menunggu di parkiran mahasiswa.

Selain itu, bukankah di kota ini Eyzar sangat terkenal? Eyzar Jean Ravanka, penerus tahta keluarga Ravanka, menjadi seorang pemimpin perusahaan besar di usia yang sangat muda. Maka dari itu, bukanlah hal lazim apabila banyak orang yang mengenali wajah anak laki-laki itu.

Cekrek

Eyzar melotot, benar-benar terkejut. Ia merasakan baru saja ada suara yang memotret dirinya. Perlahan ia menorehkan kepalanya ke arah kanan. Dan benar saja, tampak dua orang mahasiswi yang ketahuan sedang memotret Eyzar. Keduanya tampak senang sekali saat Eyzar melihat ke arah mereka. Bahkan mereka tertawa senang karena merasa dinotice oleh pria tampan yang akhir-akhir ini cukup populer di kalangan anak muda.

Sedangkan Eyzar? Anak laki-laki itu semakin merasa tidak tenang. Ia kembali menundukkan pandangan. Kupluk hoodie pun kini ia pasang, guna untuk menutupi wajahnya agar tidak terlalu kelihatan. Dan ketika rasa panik itu menyerang dirinya, Eyzar meremas kedua paha nya dengan erat. Kali ini, Eyzar hanya ingin cepat pergi dari keramaian ini.

“Oi!”

Sedikit terperanjat, Eyzar hampir saja terjatuh dari motornya apabila kaki panjangnya tidak menahan dengan kuat. El yang entah datang darimana, tiba-tiba menepuk pundak Eyzar cukup keras dan memanggil dengan suara yang mengagetkan.

“Kalau nyapa itu pake hei atau apa kek, kan Eyzar kaget,” keluh Eyzar sembari sedikit menggembungkan pipinya.

El terkekeh, “Lagian lo ngapain pake nunduk sambil ditutupin kupluk? Kayak orang misterius aja.”

“Ih Eyzar tuh malu daritadi banyak banget yang ngeliatin Eyzar, makannya Eyzar nyembunyiin wajah soalnya malu banget. Pokoknya Eyzar takut aja, soalnya mereka ngeliatin Eyzar nya gitu banget.”

Mengingat tentang Eyzar yang memiliki panick attact cukup parah, serta selalu merasa grogi di tempat banyak orang berlalu lalang, El hanya mengangguk-anggup paham. Lantas ia memperhatikan sekitar dan benar saja, banyak sekali pasang mata yang memandangi Eyzar sedari tadi.

“Yaudah ayo langsung pergi aja.”

“Tapi Kak El, Eyzar enggak bawa helm buat Kak El, jadi Kak El ga pake helm gapapa?” tanya Eyzar sembari mulai menggunakan helm miliknya sendiri.

“Gue bawa helm sendiri kok. Kan setiap hari walaupun gue naik ojol, gue bawa helm sendiri.”

Eyzar yang melihat El ternyata menggenggam sebuah helm pun bersyukur karena tidak perlu khawatir apabila di jalan terjadi apa-apa nantinya.

Eyzar memperhatikan El lekat, “Hmmmm.... Helm nya mau dipakein sama Eyzar ga, kak? Hehe,” tak lupa cengiran lucu setelah ia mengucapkan kata terakhirnya.

El mengernyitkan keningnya, “Gausah, gue juga punya tangan sendiri.” Lantas tanpa berkata-kata El langsung menaiki motor Eyzar dengan cepat.

“Salah banget Eyzar nawarin Kak El makein helm, hadeuh.” Anak laki-laki itu, kini memasang muka masam.

“Yaudah ayo jalan.”

“Iya Kak El bawel.”

“Ish.” El sedikit menepuk pundak Eyzar.

“Ish. Gausah pukul pukul pundak Eyzar ah sakit,” keluh Eyzar.

El menghela napas, “Yaudah ayo jalan.”

“Iya ih bentar atuh Eyzar nyiapin mental dulu buat lajuin motornya. Do'a dulu, pake bismillah dulu, tarik napas dulu. Kak El ini gimana sih ga sabaran banget, bawel banget.”

“Ih.” Lagi-lagi El memukul pundak Eyzar, kali ini cukup keras hingga sukses membuat Eyzar merasa sedikit kesakitan.

“Ya Allah Kak El kenapa sih daritadi mukulin Eyzar terus? Kak El lagi sensi ya? Lagi red days—ahh!” ucapan Eyzar malah terpotong karena lagi-lagi pukulan El semakin keras mengenai di pundaknya.

“Jangan banyak ngomong, udah jalan aja. Dan gue nggak lagi red days ya.”

Eyzar mengalah, “Yaudah iya atuh bentar Eyzar nyalain dulu motornya.”

“Hm.”

Eyzar menoleh cepat saat El membalasnya dengan cuek, “Kok jadi cuek sih?!”

“Engga cuek kok.”

“Itu cuek! Kalau Kak El jawab hm doang itu bagi Eyzar cuek!”

Lagi-lagi El hanya bisa menghela napas, “Yaudah iya enggak cuek tuh enggak...”

Eyzar menyengir lucu. “Nah gitu dong. Pokoknya Kak El gaboleh cuek kalau lagi sama Eyzar.”

El tidak menjawab. Lantas beberapa detik kemudian, Eyzar mulai melakukan motornya melintasi begitu banyak mahasiswa yang berada di parkiran dan gerbang.

Beberapa meter motor hitam milik Eyzar melaju, El tiba-tiba menunggingkan senyuman. Gadis itu hanya merasa senang saat memperhatikan jalanan. Aroma parfume milik Eyzar yang khas pun kini masuk ke penciumannya. Perlahan gadis itu memperhatikan punggung Eyzar yang begitu tegak dari belakang. Memperlihatkan bahwa ternyata anak laki-laki itu masih bisa memikul beban yang cukup sulit untuk dijelaskan.

“Zar, rasanya gapunya keluarga itu kenapa menyakitkan ya? Selama ini gue selalu ngerasa sedih kalau inget gue gapunya siapa-siapa di dunia ini. Tapi lo? Bahkan lo masih sanggup bertahan sendirian, lo menunjukkan ke dunia kalau lo itu sanggup, lo mampu bertahan. Lo keren bisa gitu, Zar. Gue iri.”