Boleh, Nggak?
Sesampainya di rumah besar dan elegan milik Eyzar, kini Reina mengikuti langkah laki-laki bertubuh jangkung itu dari belakang. Bahkan sejak turun dari mobil milik Bang Dhaka, Eyzar sama sekali tidak berbicara apapun pada Reina. Eyzar hanya memberikan kode lewat kontak mata kepada gadis itu untuk segera mengikutinya. Tidak ada kata-kata, Eyzar hanya malas berbicara.
“Woah!”
Reina tak henti-henti nya berdecak kagum saat melihat isi rumah Eyzar. Belum, belum sampai semua ruangannya. Saat ini Reina baru berada di ruang tamu yang cukup besar, dan gadis itu berhasil dibuat kagum dengan design ruangan serta pemetaan barang-barang di rumah Eyzar.
“Eh, Dek Eyzar udah pulang? Wah siapa nih udah bawa perempuan ke rumah aja?” goda Bi Ira yang datang dari arah dapur langsung menyambut kedatangan Eyzar, seperti biasa.
Eyzar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Bi, jangan panggil dek depan temen-temen Eyzar ih malu,” bisik Eyzar pelan, sembari mengigit bibir bagian bawahnya.
Reina terkekeh, jelas-jelas gadis itu masih bisa mendengar ucapan Eyzar barusan, “Enggak apa-apa kali, hahaha santai aja. Eh oh iya, Tante, kenalin saya Reina temennya Eyzar.” Reina menyalimi wanita paruh baya yang ada di hadapannya itu.
Bi Ira terkejut, “Eh? Gausah panggil Tante. Saya cuman orang yang bantu-bantu di rumah ini, hehehe. Panggil Bi Ira aja.”
“Oalaah,” Reina menyengir dan tertawa canggung, “Oke, Bi Ira.”
Bi Ira terkekeh, sedangkan Eyzar hanya tersenyum melihat interaksi keduanya. Lantas Eyzar meminta Bi Ira untuk membawakan minuman untuk Reina, sebagai bentuk menghormati tamu seperti biasa.
“Lo tunggu di sini aja, gue mau mandi dulu. Asli gerah banget.”
Setelah diangguki oleh Reina, Eyzar pun segera bergegas ke kamarnya sekedar untuk membersihkan badannya yang terasa lengket karena hari ini ia beraktifitas banyak dan cukup melelahkan.
Reina sudah membuka laptopnya dan memulai pengerjaan tugas Bahasa Inggris yang diberikan Miss Key. Hampir sepuluh menit dirinya diam di ruang tamu itu sendirian, rupanya Eyzar masih belum keluar juga dari kamarnya. Sedikit merasa bosan, akhirnya Reina memutuskan untuk sedikit berjalan-jalan mengelilingi ruangan tersebut, sekedar memperhatikan furniture-furniture yang sukses membuat Reina penasaran sejak tadi.
Hingga akhirnya gadis itu menemukan sebuah foto yang diletakkan di sebuah meja, menunjukkan potret keluarga kecil yang menurutnya begitu harmonis.
“Wah, ini pasti foto keluarga nya nih,” ucap Reina dengan senyuman yang muncul di bibir ranumnya.
“Di sini foto yang sekeluarga Eyzar nya masih kecil gasih? Kok gaada ya foto dia yang udah gede tapi bareng keluarganya?” Reina bergumam sendirian. Dan perhatiannya perlahan teralihkan saat melihat foto laki-laki dan perempuan berparas rupawan dengan senyuman lebar yang begitu indah di matanya.
“Dua-duanya cakep banget buset! Pantesan Eyzar ganteng, ternyata keluarganya emang bibit unggul semua.” Kali ini, Reina hanya membatin di dalam hati.
Entah kenapa, saat melihat foto-foto keluarga Eyzar, rasanya hati Reina begitu tentram. Entah mengapa, tetapi melihat ekspresi yang tampak pada foto itu, semuanya terlihat bahagia. Dan saat melihat kebahagiaan sekecil apapun yang berhubungan dengan keluarga, Reina akan ikut merasakan kebahagiaan itu.
“Sorry, gue kelamaan kayaknya.”
Suara berat khas Eyzar, sukses membuat Reina terkejut. Dan beberapa detik kemudian, Reina langsung menghampiri Eyzar yang sudah duduk di sofa dengan kaus hitam dan kacamata yang digunakannya.
“Lo emang pake kacamata, Zar?”
Eyzar menoleh, dan tampak sedikit berpikir sebelum menjawab, “Ehm, sebenernya mata gue emang rabun, tapi kecil sih, makannya gue jarang banget pake kacamata. Paling kalau lagi mood doang.”
“Eh, hati-hati loh katanya meskipun minus kita kecil tapi kalau jarang pake kacamata ntar bisa bisa naiknya cepet,” kata Reina.
“Kata siapa? Hoaks kali.”
Reina terkekeh, “Yaudah sih kalau ga percaya. Gue juga enggak tahu kebenarannya, orang mata gue enggak minus jadi ya gatau.”
Mendengar jawaban Reina barusan, Eyzar hanya terkekeh pelan. “Yaudah ayo kerjain tugasnya.”
“Eh bentar deh gue mau nanya-nanya,” Reina memberikan cengiran nya. “Itu foto keluarga lo, Zar?”
Eyzar sontak ikut menoleh dan kembali memperhatikan jajaran foto yang berada di meja sana. Saat memperhatikan foto keluarganya, mata Eyzar kembali redup. Ada rasa rindu yang begitu menyeruak di dalam dadanya. Mendadak rasa sakit itu kembali menghantui pikiran dan perasaannya. Dan kini, hanya kata rindu yang terpikir di dalam benaknya.
“Iya.”
Mencoba terlihat baik-baik saja, Eyzar hanya meng-iyakan pertanyaan Reina barusan. Eyzar malah hendak meraih laptop milik Reina untuk melihat sejauh mana tugas yang telah ia kerjakan. Tapi lagi-lagi, Reina malah membuat Eyzar merasakan rasa sakit yang sulit untuk dijelaskan.
“Berarti foto yang berdua itu, kakak-kakak lo, Zar?”
Eyzar menghela napas pasrah, “Iya.”
“Terus itu pas mereka udah besar foto berdua, kok gaada foto bertiga yang barengan sama lo, Zar? Padahal gue pengen liat foto lo kalau lagi bareng sama mereka.”
Lagi-lagi, Eyzar kembali teringat masa lalunya. Masa-masa sulit saat ia harus merasakan kesepian setelah kedua orang tuanya tiada. Saat-saat dimana Elvan dan Ellyna masih belum bisa berdamai dengan keadaan. Dan saat-saat Eyzar masih tidak bisa mendapatkan perhatian barang sekecilpun dari kedua kakaknya itu. Kembali mengingat semuanya, rasa sakit di dalam dada Eyzar hanya bertambah. Reina yang kembali membuka luka lama itu. Sial, pikirnya.
“Hmmm... Kakak-kakak lo pada ke mana?? Gue pengen ketemu dong, ngeliat dari foto doang juga udah ganteng sama cantik banget, gimana kalau ketemu aslinya ya. Gue boleh ketemu kakak lo ga, Zar?”
Mendengar pertanyaan Reina barusan, emosi Eyzar kini sudah tak tertahankan lagi. Ia mengepalkan tangannya sekuat tenaga. Bahkan napasnya pun kini sudah tidak teratur seperti biasanya.
Brak!
“Bisa ga sih gausah nanya nanya tentang keluarga gue?!”
Reina terkejut. Gadis itu benar-benar terkejut. Bahkan saat ia melihat Eyzar yang ada di sampingnya, ia dapat melihat mata laki-laki itu kini kian memerah, dan napasnya tersengal-sengal karena menahan emosi.
Reina mengulum bibirnya, “Sorry, pertanyaan gue bikin lo tersinggung ya...”
Eyzar menghela napas berat, lantas memutar bola matanya jengah. “Udah cepet kerjain aja tugasnya biar cepet beres.”
Reina menyerahkan laptop yang ada di hadapannya, sembari menunjukkan Microsoft Word yang sudah berisikan teks panjang yang telah Reina buat.
“Ini gue tadi udah bikin teks nya sampe beres. Sekarang tinggal nentuin generic structure sama language features yang ada di teks ini. Oh iya sama ini juga,” Reina menyela kalimatnya untuk meraih sebuah buku di dalam tas nya. “Terakhir, kita tinggal jawab 15 question yang ada di LKS ini. Udah gitu udah deh beres.”
Eyzar mengangguk paham. “Oke kalau gitu biar gue yang kerjain ini, dan itu yang di LKS juga bagi dua aja. 7 soal buat lo, 8 soal buat gue.”
“Oke.”
Setelah kesepakatan keduanya, kini ruangan kembali diselimuti suasana sepi. Reina dan Eyzar begitu fokus dengan tugas nya masing-masing, hingga tak terasa sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah setengah enam sore.
Reina yang merasa bosan pun memilih melihat Eyzar yang berada di sampingnya. Memperhatikan laki-laki itu dari samping, hati nya tak henti-henti berdecak kagum. Rahangnya yang tegas, bola mata yang indah, serta bentuk wajah yang manis, sukses membuat Reina terkagum-kagum melihat penampilan Eyzar.
Tapi ada hal lain yang dirasakan oleh Reina selain rasa kagum itu sendiri.
“Hangat.”
Entah mengapa, selama Reina memperhatikan Eyzar, ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya saat ini. Bahkan gadis itu merasa nyaman berada di samping Eyzar. Aneh, padahal Reina bertemu dengan Eyzar baru beberapa hari yang lalu. Tapi kenapa bisa sehangat ini? Kenapa bisa senyaman ini?
Lantas tanpa disadari, mulut Reina kembali berucap.
“Zar, gue emang baru kenal beberapa hari sama lo. Tapi kalau gue kagum dan beneran suka sama lo, atau bahkan sayang sama lo, boleh nggak?”