Adiba Punya Salah Apa?
Dengan senyum yang terpancar di bibirnya, Adiba benar-benar merasa senang karena dirinya diizinkan untuk melihat hasil pengerjaan tugas milik Aran. Jarang sekali laki-laki itu memperbolehkan Adiba untuk melihat tugasnya. Pasalnya, setiap Adiba mengeluh dan tidak ingin mengerjakan tugas, Aran selalu melarang Adiba untuk melihat tugas miliknya. Mungkin maksudnya adalah agar Adiba tidak terbiasa dengan hal yang seperti itu.
Namun kali ini, Aran mengizinkannya. Mungkin karena saat ini cukup mendesak, dan Aran tidak ingin jikalau Adiba harus dihukum nantinya.
Adiba meraih tas hitam milik Aran yang tersimpan di samping tempat duduknya. Iya, Adiba dan Aran memang duduk di bangku yang sama. Karena di sekolah ini memang memperbolehkan laki-laki dan perempuan duduk sebangku.
Setelah mengambil buku matematika milik Aran, Adiba langsung siap-siap untuk menyalin sekaligus mempelajarinya, sebelum guru mata pelajaran pertama datang.
“Heh!”
Baru saja Adiba hendak menorehkan tinta pulpen ke atas buku tulisnya, tiba-tiba datang tiga orang yang selama ini sangat ingin Adiba jauhi. Adiba hanya tidak ingin ketiga orang itu mengganggu hari-harinya. Adiba bukan membenci mereka, tapi Adiba tidak mau membuat mereka menjadi sosok yang jahat di mata orang banyak.
Tiara Callista. Gadis berambut panjang gelombang dengan mata coklat yang indah itu, menggebrak meja Adiba dengan cukup keras. Senyuman yang diberikan olehnya bukannya memperlihatkan bahwa gadis itu adalah orang yang ramah, melainkan gadis yang akan merasa bahagia apabila orang yang dibencinya merasa sengsara. Senyum licik yang gadis itu berikan, hanya mampu membuat Adiba menghela napas berat di bangkunya saat itu.
“Oh gini ya ternyata? Orang yang paling dipuja-puja sekolah karena kepinterannya, sekarang malah lagi nyontek hasil pekerjaan orang. Hahaha! Jangan-jangan selama ini lo dapet peringkat dua itu karena hasil orang lain? Bukan hasil sendiri? Ngaku lo!”
Adiba menggelengkan kepalanya dengan keras. Lantas ia memberikan isyarat sebagaimana biasanya ia tunjukkan saat ia ingin berkomunikasi dengan orang lain.
Tiara mengernyitkan keningnya, “Apasih ga ngerti bahasa alien gue, hahaha!”
Via dan Sahda, dua orang yang selalu bersama dengan Tiara, malah ikut menertawakan Adiba.
Adiba buru-buru meraih buku catatan dan pulpen untuk menuliskan apa yang hendak ia katakan. Ia hampir saja lupa, kalau di sini tidak ada yang mengerti bahasa isyaratnya selain Aran. Adiba lupa kalau teman-temannya bahkan sama sekali tidak peduli dengan keadaan dirinya yang terlahir sebagai tunawicara.
“Cuman kali ini doang Adiba liat tugas nya Aran, soalnya Adiba lupa banget kalau hari ini ada PR yang harus dikumpulin.”
Begitulah tulisan tangan Adiba yang kemudian ditunjukkan kepada Tiara dan kedua temannya.
Tiara tertawa sarkas, “Oh, jadi buku ini punya Aran ya?” Lantas salah satu sudut bibirnya terangkat, menunjukkan bahwa dirinya berniat jahat.
Byurrr!
Buku bersampul plastik yang cukup tebal itu kini sudah basah karena air yang sengaja ditumpahkan oleh Tiara.
Sial. Itu buku milik Aran. Itu buku matematika milik Aran.
Adiba sedikit kaget karena tindak Tiara tadi. Baru saja Adiba akan membawa buku tersebut untuk menyelamatkan sisa bagian yang masih kering, Tiara malah merebut buku itu dari tangan Adiba.
Adiba melotot, tidak suka.
“Kenapa, hah?! Mau marah, iya? Kan ini buku punya Aran, bukan punya lo. Kenapa lo yang marah??” kata Tiara sinis sembari mengangkat salah satu sudut bibir nya ke atas, terkekeh meremehkan.
Adiba hanya diam tak bersuara. Sumpah. Saat itu Adiba benar-benar ingin memarahi Tiara di tempat. Buku itu bukan miliknya, melainkan milik Aran. Justru itulah yang membuat Adiba merasa kesal. Gadis itu tidak akan peduli jika buku yang menjadi korban adalah buku miliknya. Tapi buku Aran? Adiba bahkan sangat tahu kalau buku matematika milik Aran adalah buku yang paling berharga bagi dirinya.
“Tiara, tolong kembaliin buku punya Aran!” jerit Adiba tanpa suara, sambil berusaha keras merebut buku itu dari genggaman Tiara. Tapi Tiara yang cukup gesit, malah mempersulit Adiba untuk mendapatkan kembali buku milik Aran.
Tiara meletakkan buku itu di punggungnya dengan wajah yang jelas-jelas sedang mengejek dan menertawakan Adiba yang tidak bisa apa-apa. Adiba hanya memelas, ekspresi wajahnya kini hanya penuh dengan permohonan agar Tiara berhenti mengganggunya.
Sahda yang di samping hanya terkekeh pelan, melihat Adiba yang memasang muka memelas itu, ia berkata, “Kenapa lo? Jadi orang jangan sok jadi yang paling tersakiti lah. Jijik banget gue liatnya.” Lantas Tiara dan Via hanya menganggukkan kepalanya, mengiyakan perkataan Sahda.
Adiba buru-buru meraih alat tulisnya lagi, kemudian menuliskan sebuah kalimat, “Tiara boleh ganggu Adiba kapanpun, tapi tolong jangan jadiin Aran korban kenakalan kalian...”
Setelah membaca tulisan Adiba, Tiara mengernyitkan kening tidak suka. “Oh?! Jadi maksud lo gue nakal gitu?!” Tiara memberikan smirk terbaiknya.
Adiba mengangguk ragu, dan kembali menuliskan sesuatu. “Buku Aran, tolong kembaliin Tiara...”
Tiara tampak berpikir. Lantas gadis itu melihat Sahda sedari tadi menggenggam kopi botolan yang ia beli sejak tadi pagi.
“Sahda.”
Sahda menorehkan pandangannya ke arah Tiara.
“Pinjem dulu dong kopinya. Ntar gue gantiin siang.”
Sahda hanya menautkan kedua alisnya, tanda tak mengerti dengan niat Tiara kali ini.
Melihat Sahda yang malah cengo, Tiara langsung merebut kopi botolan itu dari genggaman Tiara. Lantas gadis itu menarik erat tangan Adiba ke luar kelas.
Bruk!
Tiara membuang buku milik Aran ke dalam tong sampah. Iya benar, tong sampah.
Adiba jelas-jelas kaget. Ia berusaha mengambil kembali buku itu meskipun sudah terjatuh ke dalam tempat sampah yang jelas-jelas sangat kotor dan baunya menyengat. Namun, tubuh Adiba yang kecil malah ditahan oleh Tiara. Adiba hendak memberontak tapi tak bisa.
“Eits, diem dulu bentar,” kata Tiara sembari menahan tubuh Adiba yang berusaha meraih buku itu.
Lantas dengan tanpa rasa berdosa, Tiara begitu saja menumpahkan kopi ke atas buku yang padahal sudah berada di tempat sampah. Adiba terkejut, dan ia semakin berontak.
Dirinya tertawa puas sekali. “Hahahaa! Udah ketumpahan air, sekarang ada di tong sampah, eh malah ketumpahan kopi lagi. Haduh malang banget nasib buku nya Aran, hahahaa!”
Adiba mengepalkan tangannya. Ia sudah tak tahan kali ini. Akhirnya dengan sekuat tenaga, Adiba mendorong keras tubuh Tiara sehingga gadis yang di hadapannya itu mundur beberapa langkah.
“Ck. Santai kali ah, gausah dorong-dorong. Lagian gue juga mau udahan ah gangguin lo nya. Lanjut pulang sekolah aja ya, bye-bye!” Dengan senyum yang begitu lebar menertawakan Adiba, kini Tiara kembali melangkah menuju kelas.
Selepas kepergian Tiara, Adiba bergegas meraih buku Aran yang walaupun sudah ada di tempat sampah saat ini. Adiba tidak peduli jika dirinya harus mencium bau yang begitu menyengat dari sana. Yang ia khawatirkan saat ini adalah, ia takut kalau Aran akan marah pada dirinya.
“Tiara, Adiba punya salah apa sebenernya? Sampai-sampai Tiara gak pernah bosen ngengangguin Adiba atau pun Aran setiap hari...” batinnya kala itu. Dengan memasang tampang miris di wajahnya, bulir air mata Adiba kini jatuh perlahan membasahi pipinya.