peachylioon

Dengan senyum yang terpancar di bibirnya, Adiba benar-benar merasa senang karena dirinya diizinkan untuk melihat hasil pengerjaan tugas milik Aran. Jarang sekali laki-laki itu memperbolehkan Adiba untuk melihat tugasnya. Pasalnya, setiap Adiba mengeluh dan tidak ingin mengerjakan tugas, Aran selalu melarang Adiba untuk melihat tugas miliknya. Mungkin maksudnya adalah agar Adiba tidak terbiasa dengan hal yang seperti itu.

Namun kali ini, Aran mengizinkannya. Mungkin karena saat ini cukup mendesak, dan Aran tidak ingin jikalau Adiba harus dihukum nantinya.

Adiba meraih tas hitam milik Aran yang tersimpan di samping tempat duduknya. Iya, Adiba dan Aran memang duduk di bangku yang sama. Karena di sekolah ini memang memperbolehkan laki-laki dan perempuan duduk sebangku.

Setelah mengambil buku matematika milik Aran, Adiba langsung siap-siap untuk menyalin sekaligus mempelajarinya, sebelum guru mata pelajaran pertama datang.

“Heh!”

Baru saja Adiba hendak menorehkan tinta pulpen ke atas buku tulisnya, tiba-tiba datang tiga orang yang selama ini sangat ingin Adiba jauhi. Adiba hanya tidak ingin ketiga orang itu mengganggu hari-harinya. Adiba bukan membenci mereka, tapi Adiba tidak mau membuat mereka menjadi sosok yang jahat di mata orang banyak.

Tiara Callista. Gadis berambut panjang gelombang dengan mata coklat yang indah itu, menggebrak meja Adiba dengan cukup keras. Senyuman yang diberikan olehnya bukannya memperlihatkan bahwa gadis itu adalah orang yang ramah, melainkan gadis yang akan merasa bahagia apabila orang yang dibencinya merasa sengsara. Senyum licik yang gadis itu berikan, hanya mampu membuat Adiba menghela napas berat di bangkunya saat itu.

“Oh gini ya ternyata? Orang yang paling dipuja-puja sekolah karena kepinterannya, sekarang malah lagi nyontek hasil pekerjaan orang. Hahaha! Jangan-jangan selama ini lo dapet peringkat dua itu karena hasil orang lain? Bukan hasil sendiri? Ngaku lo!”

Adiba menggelengkan kepalanya dengan keras. Lantas ia memberikan isyarat sebagaimana biasanya ia tunjukkan saat ia ingin berkomunikasi dengan orang lain.

Tiara mengernyitkan keningnya, “Apasih ga ngerti bahasa alien gue, hahaha!”

Via dan Sahda, dua orang yang selalu bersama dengan Tiara, malah ikut menertawakan Adiba.

Adiba buru-buru meraih buku catatan dan pulpen untuk menuliskan apa yang hendak ia katakan. Ia hampir saja lupa, kalau di sini tidak ada yang mengerti bahasa isyaratnya selain Aran. Adiba lupa kalau teman-temannya bahkan sama sekali tidak peduli dengan keadaan dirinya yang terlahir sebagai tunawicara.

“Cuman kali ini doang Adiba liat tugas nya Aran, soalnya Adiba lupa banget kalau hari ini ada PR yang harus dikumpulin.”

Begitulah tulisan tangan Adiba yang kemudian ditunjukkan kepada Tiara dan kedua temannya.

Tiara tertawa sarkas, “Oh, jadi buku ini punya Aran ya?” Lantas salah satu sudut bibirnya terangkat, menunjukkan bahwa dirinya berniat jahat.

Byurrr!

Buku bersampul plastik yang cukup tebal itu kini sudah basah karena air yang sengaja ditumpahkan oleh Tiara.

Sial. Itu buku milik Aran. Itu buku matematika milik Aran.

Adiba sedikit kaget karena tindak Tiara tadi. Baru saja Adiba akan membawa buku tersebut untuk menyelamatkan sisa bagian yang masih kering, Tiara malah merebut buku itu dari tangan Adiba.

Adiba melotot, tidak suka.

“Kenapa, hah?! Mau marah, iya? Kan ini buku punya Aran, bukan punya lo. Kenapa lo yang marah??” kata Tiara sinis sembari mengangkat salah satu sudut bibir nya ke atas, terkekeh meremehkan.

Adiba hanya diam tak bersuara. Sumpah. Saat itu Adiba benar-benar ingin memarahi Tiara di tempat. Buku itu bukan miliknya, melainkan milik Aran. Justru itulah yang membuat Adiba merasa kesal. Gadis itu tidak akan peduli jika buku yang menjadi korban adalah buku miliknya. Tapi buku Aran? Adiba bahkan sangat tahu kalau buku matematika milik Aran adalah buku yang paling berharga bagi dirinya.

“Tiara, tolong kembaliin buku punya Aran!” jerit Adiba tanpa suara, sambil berusaha keras merebut buku itu dari genggaman Tiara. Tapi Tiara yang cukup gesit, malah mempersulit Adiba untuk mendapatkan kembali buku milik Aran.

Tiara meletakkan buku itu di punggungnya dengan wajah yang jelas-jelas sedang mengejek dan menertawakan Adiba yang tidak bisa apa-apa. Adiba hanya memelas, ekspresi wajahnya kini hanya penuh dengan permohonan agar Tiara berhenti mengganggunya.

Sahda yang di samping hanya terkekeh pelan, melihat Adiba yang memasang muka memelas itu, ia berkata, “Kenapa lo? Jadi orang jangan sok jadi yang paling tersakiti lah. Jijik banget gue liatnya.” Lantas Tiara dan Via hanya menganggukkan kepalanya, mengiyakan perkataan Sahda.

Adiba buru-buru meraih alat tulisnya lagi, kemudian menuliskan sebuah kalimat, “Tiara boleh ganggu Adiba kapanpun, tapi tolong jangan jadiin Aran korban kenakalan kalian...”

Setelah membaca tulisan Adiba, Tiara mengernyitkan kening tidak suka. “Oh?! Jadi maksud lo gue nakal gitu?!” Tiara memberikan smirk terbaiknya.

Adiba mengangguk ragu, dan kembali menuliskan sesuatu. “Buku Aran, tolong kembaliin Tiara...”

Tiara tampak berpikir. Lantas gadis itu melihat Sahda sedari tadi menggenggam kopi botolan yang ia beli sejak tadi pagi.

“Sahda.”

Sahda menorehkan pandangannya ke arah Tiara.

“Pinjem dulu dong kopinya. Ntar gue gantiin siang.”

Sahda hanya menautkan kedua alisnya, tanda tak mengerti dengan niat Tiara kali ini.

Melihat Sahda yang malah cengo, Tiara langsung merebut kopi botolan itu dari genggaman Tiara. Lantas gadis itu menarik erat tangan Adiba ke luar kelas.

Bruk!

Tiara membuang buku milik Aran ke dalam tong sampah. Iya benar, tong sampah.

Adiba jelas-jelas kaget. Ia berusaha mengambil kembali buku itu meskipun sudah terjatuh ke dalam tempat sampah yang jelas-jelas sangat kotor dan baunya menyengat. Namun, tubuh Adiba yang kecil malah ditahan oleh Tiara. Adiba hendak memberontak tapi tak bisa.

“Eits, diem dulu bentar,” kata Tiara sembari menahan tubuh Adiba yang berusaha meraih buku itu.

Lantas dengan tanpa rasa berdosa, Tiara begitu saja menumpahkan kopi ke atas buku yang padahal sudah berada di tempat sampah. Adiba terkejut, dan ia semakin berontak.

Dirinya tertawa puas sekali. “Hahahaa! Udah ketumpahan air, sekarang ada di tong sampah, eh malah ketumpahan kopi lagi. Haduh malang banget nasib buku nya Aran, hahahaa!”

Adiba mengepalkan tangannya. Ia sudah tak tahan kali ini. Akhirnya dengan sekuat tenaga, Adiba mendorong keras tubuh Tiara sehingga gadis yang di hadapannya itu mundur beberapa langkah.

“Ck. Santai kali ah, gausah dorong-dorong. Lagian gue juga mau udahan ah gangguin lo nya. Lanjut pulang sekolah aja ya, bye-bye!” Dengan senyum yang begitu lebar menertawakan Adiba, kini Tiara kembali melangkah menuju kelas.

Selepas kepergian Tiara, Adiba bergegas meraih buku Aran yang walaupun sudah ada di tempat sampah saat ini. Adiba tidak peduli jika dirinya harus mencium bau yang begitu menyengat dari sana. Yang ia khawatirkan saat ini adalah, ia takut kalau Aran akan marah pada dirinya.

“Tiara, Adiba punya salah apa sebenernya? Sampai-sampai Tiara gak pernah bosen ngengangguin Adiba atau pun Aran setiap hari...” batinnya kala itu. Dengan memasang tampang miris di wajahnya, bulir air mata Adiba kini jatuh perlahan membasahi pipinya.

Laki-laki berparas rupawan itu kini sudah terduduk santai di ruang tamu Panti Asuhan yang lebih dikenal dengan sebutan Rumah Harapan. Hendak menunggu Adiba yang mungkin masih bersiap-siap, akhirnya Aran memutuskan untuk bermain bersama beberapa anak-anak yang berada di sana, asik bergelut bersama alat gambar masing-masing.

“Kak Aran! Lihat deh gambaran Raya udah bagus belum?”

Seorang anak berusia kisaran 8 tahun itu menghampiri Aran dengan bersemangat. Tangan mungil nya menggenggam selembar kertas yang nampak sebuah gambar yang berhasil membuat Aran tersenyum pilu.

Anak itu tersenyum, “Gambaran Raya bagus kan, kak? Lihat deh ini ada gambar Ayah sama Bunda nya Raya lagi pegangin Raya main ayunan. Ngebayanginnya aja udah kerasa bahagia banget ya? Apalagi kalau Raya masih bisa ngerasain punya ayah sama bunda, pasti sekarang Raya enggak akan ada di panti asuhan ini...” ucap anak kecil itu, dengan senyuman yang masih terpampang di wajah manisnya.

Aran mengulum bibirnya, perlahan tangannya hendak meraih puncak kepala Raya dengan lembut. “Raya, kalau pun sekarang ayah bunda Raya udah enggak ada di dunia, Raya harus tetep bersyukur loh. Kan Raya masih punya Bunda. Jadi, Raya gaboleh sedih ya? Kalau pun Raya kesepian, inget, ada kak Adiba sama kak Aran yang bakal temenin Raya sama yang lainnya di sini.”

Bunda. Bunda yang dimaksud Aran tadi, adalah sosok wanita yang paling disayangi di tempat ini. Wanita paruh baya yang dengan sabar mengurus beberapa anak yang sudah tak memiliki rumah untuk ditinggali. Wanita berhati malaikat yang dengan rela menghabiskan waktunya hanya demi kebahagiaan anak-anak yang tak memiliki keluarga. Wanita, yang selama ini telah memberikan harapan bagi anak-anak yang sempat kehilangan harapan walau hanya sesaat. Bunda, adalah sosok yang paling berharga, baik bagi Adiba, Aran, ataupun anak-anak yang berada di panti asuhan ini.

“Kalau kak Aran gimana? Pasti kak Aran bahagia banget ya sekarang? Soalnya kan kak Aran bisa tinggal sama Mama Papa baru di rumah yang besar itu.”

Lagi-lagi Aran hanya bisa tersenyum saat mendengarkan pertanyaan yang diberikan oleh anak kecil dihadapannya. Aran mengangguk kecil, “Iya, Kak Aran bahagia. Mama Papa barunya kak Aran baikk banget. Nanti kapan-kapan Raya harus ikut deh main ke rumah barunya kakak, mau ga?”

“Mau mau!!!” kata Raya heboh, yang hanya ditanggapi dengan kekehan kecil dari mulut Aran.

Lantas Raya kembali meninggalkan Aran dan kembali bergabung dengan anak-anak lainnya. Aran yang memperhatikannya hanya tersenyum, memikirkan betapa perlunya dirinya bersyukur karena semesta memperbolehkan dirinya untuk merasakan bahagia bersama Mama Papa yang mengadopsi nya beberapa tahun yang lalu.

“Aduh Aran, maafin ya kayaknya Adiba bakal masih agak lama nih soalnya barusan bunda chat aja katanya baru selesai mandi. Gimana nih Adiba ini...”

Bunda yang datang dari arah dapur tiba-tiba menyodorkan secangkir teh hangat untuk Aran.

Aran terkekeh, “Enggak apa apa, Bunda. Santai aja kok, lagian bel masuk masih agak lama. Biarin aja Adiba siap-siap, biasalah namanya juga perempuan.”

Bunda menghela napas pelan, dan tersenyum bangga melihat laki-laki yang dulu ia kasihi sewaktu kecil, kini sudah beranjak begitu dewasa dengan sikapnya yang mampu menghangatkan jiwa.

“Oh iya Aran,” Bunda menepuk pelan pundak Aran yang kini berada di sebelahnya. “Terima kasih ya, nak.”

Aran sontak mengangkat kedua alisnya, kebingungan. “Terimakasih untuk?”

“Terimakasih, karena sudah mau bertahan sampai saat ini. Bertahan untuk selalu menjaga dan menyayangi Adiba. Walaupun Adiba bukan adik kandung kamu, tapi dari dulu sampai sekarang kamu selalu melindungi Adiba dan bersikap layaknya seorang kakak bagi Adiba.”

Aran baru saja menyesap teh hangat yang ada di depannya. Lantas ia taruh perlahan cangkir tersebut ke atas meja kembali. Memperbaiki posisi duduk dengan kepala menghadap ke arah sang Bunda.

“Bunda tenang aja. Aran janji, sampai kapanpun, Aran bakal selalu ada buat Adiba, Aran bakal selalu siap ngelindungi Adiba, dan Aran pun bakal selalu berusaha buat bikin Adiba bahagia.”

Bunda tersenyum hangat, “Terima kasih ya, Nak.”

“Eh tapi ngomong-ngomong, Bun.”

“Kenapa?”

“Kenapa malah Aran yang jadi sosok kakak buat Adiba ya? Padahal kan tuaan Adiba daripada Aran juga, hahaha,” canda Aran dengan dihadiahi kekehan kecil di akhir kalimatnya.

Bunda terkekeh, “Kamu ini ada-ada aja.”

Lantas kini keduanya hanya sama-sama diam, mengalihkan perhatiannya kepada anak-anak yang asik bermain satu sama lain. Tawa yang keluar dari mulut anak-anak itu seakan-akan menunjukkan pada semesta bahwa semuanya baik-baik saja. Padahal Aran yakin, saat ini mereka benar-benar merasa kesepian. Walaupun suasana kini cukup ramai, namun mereka merasa sepi karena tak ada sosok ibu dan ayah yang mampu menghangatkan hati mereka.

Hingga akhirnya perhatian Aran teralihkan oleh kedatangan seorang gadis yang sejak tadi ia nantikan. Seorang gadis yang selalu menjadi alasan Aran untuk bertahan hingga detik ini. Seorang gadis yang memiliki senyuman paling indah menurut Aran. Siapa lagi kalau bukan Adiba, sosok tangguh pemilik jiwa yang tenang walaupun semesta terkadang tak berpihak padanya.

Dengan bahasa isyarat, yang tentu saja Aran pahami, Adiba melontarkan sebuah kalimat.

“Aran udah nunggu daritadi banget? Maafin Adiba ya kalau Adiba siap-siapnya kelamaan.”

Ada rasa sesal di wajah gadis itu. Namun tampaknya hal itu malah membuat Aran semakin gemas untuk memperhatikannya.

“Engga kok. Enggak lama-lama banget, biasa aja,” ucap Aran dengan disertai sebuah senyuman.

“Yaudah kalau gitu langsung berangkat aja yuk!”

Adiba mengangguk. Lantas mengarah kepada Bunda untuk mencium tangganya sebagai rutinitas yang memang selalu dilakukan setiap hari saat sebelum berangkat kemanapun. Begitupun Aran, laki-laki itu ikut mencium tangan Bunda setelahnya.

“Aran sama Adiba sekolah dulu ya, Bund.”

“Iya. Hati-hati di jalan ya. Semangat belajarnya!”

Aran dan Adiba yang sudah melangkah keluar hanya mengangguk bersamaan.

Keduanya kini berjalan menuju parkiran tempat motor Aran diparkirkan. Dengan Aran yang sedari tadi terus terusan menggenggam erat tangan Adiba dengan hangat. Lantas laki-laki itu melepas genggamannya hanya untuk memberikan helm kepada Adiba.

“Ini dipake dulu helmnya, biar aman di jalan.”

Adiba mengangguk.

“Eh iya lupa.”

Adiba mengernyitkan keningnya, “Kenapa?”

“Aku belum nyapa kamu, hehehe.” Lantas Aran membenarkan rambut Adiba yang belum menggunakan helm, membenarkan beberapa helai rambut yang menurutnya masih belum rapi, seraya berkata, “Selamat pagi, cantiknya semesta.”

Dan kini, Adiba merasakan detak jantungnya tidak normal. Pipi nya memerah dengan senyum malu yang terpampang di wajahnya.

Aran terkekeh, “Hahaha, kok malah diem? Ayo pake helmnya, kita langsung berangkat. Atau mau dipakein?”

Dengan cepat, Adiba menggelengkan kepalanya. Lantas buru-buru menggunakan helmnya sebelum Aran yang memakaikannya. Bisa-bisa pagi ini wajah Adiba sudah menjadi sangat merah seperti kepiting rebus.

“Udah?”

Dari kaca spion, Aran mampu melihat Adiba mengangguk pertanda bahwa dirinya sudah siap untuk berangkat.

“Oke, kita berangkat ya!!!”

Deg!

Gadis itu terperanjat dari tempat tidurnya dengan napas yang tersengal-sengal. Keringat yang mengucur dengan deras di beberapa bagian tubuhnya. Ia pun merasakan sedikit rasa sakit di dalam hatinya. Perlahan ia memperhatikan keadaan, rupanya ia berada di kamarnya saat ini.

“Jadi, tadi itu cuman mimpi?” batinnya.

Namun masih merasa tidak yakin dengan kenyataan. Ia masih takut merasakan kehilangan. Ia belum siap, terlebih lagi jika harus kehilangan seseorang yang paling ia sayangi. Adiba belum siap.

Gadis itu dengan cepat mencari ponselnya yang terletak di atas nakas. Dengan rasa tak percaya diri, gadis itu mengetikkan pesan kepada seseorang yang baru saja berada di dalam mimpinya. Mimpi yang benar-benar buruk bagi Adiba.

Was-was. Diri Adiba kini diambang rasa was-was yang tak terkendali. Tangannya basah karena keringat dingin yang keluar. Sembari menggenggam erat ponsel miliknya, gadis itu berharap kalau Aran memberikan balasan pesan untuknya. Karena jika tidak, Adiba akan berpikir kalau kejadian sebelum tabrakan di jalan raya itu adalah benar adanya. Kejadian disaat Adiba harus kehilangan Aran untuk terakhir kalinya.

Harap-harap doa masih Adiba panjatkan. Bahkan dirinya sama sekali belum menyiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.

Deg!

Adiba dibuat sedikit terkejut dengan balasan pesan dari Aran. Perasaan gadis itu kini bercampur aduk. Ada rasa bahagia karena ternyata semuanya hanyalah mimpi, namun ada rasa sedih juga jika mengingat suatu saat nanti mungkin Adiba memang harus merasakan kehilangan sosok Aran yang begitu ia sayangi.

Tapi Adiba berusaha untuk tetap tersenyum. Senyuman yang begitu indah untuk pertama kalinya di pagi ini. Pancaran cahaya yang menyusup dari celah gorden di jendela kamarnya menambah kecantikan Adiba yang memang murni adanya.


“Tuhan, jangan dulu ambil Aran dari Adiba sekarang, ya? Adiba belum siap, dan emang enggak akan pernah siap buat merasakan kehilangan.”

Rasa sakit yang begitu menyeruak di dalam hati Adiba, sudah tak mampu lagi ia tahan. Kini pertahanan gadis itu mulai runtuh, air matanya mendadak jatuh membasahi kedua pipinya. Sakit hatinya seakan-akan menjalar ke seluruh tubuhnya. Terutama saat dirinya harus mendapatkan kabar bahwa seseorang yang begitu ia sayangi telah pergi meninggalkannya.

Gadis itu ingat betul perkataan Aran tempo hari, “Adiba, kalau Aran pergi, Adiba harus janji sama Aran ya? Adiba enggak boleh ngerasa sendirian, di luar sana masih banyak yang sayaang banget sama Adiba. Bunda, Aresh, bahkan Mama pun sebenernya sayang banget sama Adiba. Jadi, Adiba enggak boleh menyerah ya? Semesta enggak jahat kok sama Adiba, semesta hanya ingin membantu Adiba biar bisa membuktikan pada seluruh dunia, kalau Adiba itu adalah perempuan yang bener-bener kuat.”

Perlahan, tangan Adiba bergerak hanya untuk menyampaikan sebuah isyarat, “Emangnya Aran mau pergi ke mana?” Bodoh, benar-benar bodoh. Saat itu Adiba tidak pernah terpikirkan kemanakah Aran akan pergi. Saat itu Adiba belum mengerti bahwa untaian kata yang disampaikan Aran adalah kalimat terakhir yang tersampaikan olehnya.

Mengingat semua kenangan dirinya dengan sosok laki-laki kuat dalam hidupnya, Adiba merasa hatinya semakin sakit bagaikan diremas dengan erat sampai-sampai Adiba tak kuasa menahan rasa sakitnya. Ingin sekali gadis itu berteriak. Kalau saja bisa, sedari tadi Adiba sudah berteriak sekencang mungkin untuk meluapkan rasa sakitnya. Tapi takdir tidak memperbolehkannya. Adiba yang terlahir bisu, lidahnya selalu kelu dan ucapannya seakan-akan selalu tertahan di kerongkongan.

Adiba ingin sekali berteriak kala itu. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah menangis tanpa suara.

Dengan air mata yang sukses membasahi pipinya, Adiba berlari sekencang yang ia bisa. Di bawah guyuran hujan yang begitu deras, Adiba berlari di sepanjang trotoar tanpa memperdulikan banyak mata yang sedari tadi memperhatikannya. Adiba benar-benar tidak peduli. Yang ia inginkan saat ini hanyalah meluapkan emosinya dengan caranya sendiri.

Sampai akhirnya gadis itu berhenti di perempatan jalan yang cukup ramai. Lampu lalu lintas yang menunjukkan warna hijau pertanda kendaraan boleh melaju. Namun apa yang Adiba lakukan? Gadis itu malah bersikeras menyeberangi jalan tanpa memperhatikan keadaan.

Hingga akhirnya,

BRUUKKKKKKKK!

Sebuah mobil sukses menghantam tubuh gadis itu dengan sangat kencang. Menyisakan dirinya yang tergeletak dalam keadaan darah yang mengalir di sekujur tubuhnya. Bagaikan sedang berbaring di jalanan, gadis itu malah menyunggingkan senyuman.

“Aran, tunggu Adiba... Sebentar lagi Adiba bakal nyusul Aran...”


Ini bukanlah akhir dari sebuah cerita, karena sedari tadi untaian kata-kata yang tersampaikan hanyalah sebuah pembukaan.

Adibaran

Jangan terlarut dalam kesedihan yang mendalam Yakinlah di sekitarmu ada banyak kesenangan Jangan larut dalam kenangan Sekiranya hal itu dapat membuat goresan

Don't be sad for too long Cause you're too kind for feel sad

Ini adalah kisah seseorang yang berjuang sendirian. Padahal dirinya merasakan sebuah kesedihan yang mendalam tanpa memperlihatkannya pada semua orang.


Rintik-rintik hujan turun dengan derasnya. Membasahi tanah di kala malam telah tiba. Larut dalam keheningan, padahal suasana cukup ramai. Itulah yang kini dirasakan seorang Aadina Zeline Alvaro. Kebiasaannya adalah merasa sepi di dalam keramaian.

Sebenarnya dikatakan ramai pun tidak terlalu. Di dalam mobil xenia hitam yang melintasi jalanan Jakarta di malam hari. Melewati lampu-lampu jalan yang menjulang tinggi. Pohon rindang berjajar di samping trotoar. Beberapa orang yang berlalu lalang walaupun hari sudah malam. Namun di dalam kendaraan beroda empat itu, sekarang berisikan lima insan saling berkawan.

Aadina Zeline Alvaro yang lebih sering dipanggil Adin.

Gadis melankolis pecinta senja dan kopi, padahal memiliki penyakit lambung yang pasti. Tak peduli, berkali-kali temannya mengingatkan pada gadis itu untuk tidak terlalu sering mengonsumsi kopi dan minuman berkafein lainnya. Dirinya hanya iya-iya saja, tapi nyatanya nasehat temannya itu ia biarkan saja bagai angin lalu.

Bucin, adalah julukan lain untuk Adin yang diberikan oleh teman dekatnya. Bukan karena dirinya punya pacar lantas menjadi budak cinta dari pasangannya itu. Tidak. Adin dijuluki bucin hanya karena dirinya memiliki hobi merangkai kata yang berhubungan dengan kata-kata cinta penyembuh luka.

Berbicara tentang luka, Adin sendiri bahkan masih menyimpan luka yang cukup dalam sejak beberapa tahun yang lalu. Berawal sejak ia mulai mencintai seseorang dalam diam. Yang sampai sekarang, dirinya tidak sanggup untuk mengungkapkan. Hanya sekedar memperhatikan dari kejauhan, dan mengagumi dalam kesendirian.

Jangan tanya bagaimana rasa sesak yang Adin terima setiap hari. Terlebih lagi, laki-laki yang dicintainya adalah seseorang yang tingkat kepekaannya sangat rendah. Belum lagi kadar pembicaraan yang dikeluarkannya sangat sedikit, alias laki-laki itu adalah laki-laki yang paling dingin di antara teman-temannya.

Bahkan saat ini, laki-laki itu duduk di depan sembari menyetir mobil dengan airpods yang tersumpal di kedua telinganya.

Ghiffar Vernand Alvaro, adalah alasan Adin merenung setiap hari. Mengukir kata-kata yang mengungkapkan isi hati. Terpaksa tersenyum walaupun hati yang sakit tak mendukung.

Bahkan, kini Adin memperhatikan kaca mobil yang terpantul wajah seorang Ghiffar. Yang melihatnya saja, membuat Naya tersenyum hambar dan tertawa dalam hati, “Sakit banget gak sih berjuang sendirian. Mana orang yang diperjuanginnya kek kulkas berjalan aih,” keluhnya dalam hati.

“Lo nggak tidur, Din?”

Suara itu membuat Adin menoleh ke arahnya. Dan didapati Naura bertanya pada dirinya, sembari asik memainkan ponselnya dengan airpods yang tersumpal di telinganya.

“Nggak ngantuk,” adalah alasan paling logis yang memang seharusnya Adin katakan sebagai jawaban.

Saat ini, Adin dan teman-temannya baru saja pulang dari acara 'muncak' yang menjadi rutinitas kegiatan mereka saat hari libur. Karena di antara pertemanan mereka, rata-rata semuanya pecinta alam dan keindahan langit lainnya. Maka kalau mereka main, bukan mall atau kota tujuannya. Melainkan ke daerah gunung, pantai, dan wisata alam lainnya.

Menggunakan mobil milik Revan. Tapi entah kenapa, yang nyetir malah Ghiffar, yang jelas-jelas masih belum memiliki SIM A. Tapi katanya Revan terlalu malas menyetir. Akhirnya Ghiffar mau tak mau menjadi supir untuk teman-temannya.

Lagi-lagi, Adin hanya bisa tersenyum saat melihat dan memperhatikan Ghiffar yang sedari tadi diam seribu bahasa. Dan tiba-tiba hati nya begitu sakit saat mengingat perjuangannya tak pernah di'notice' oleh laki-laki itu.

Entah kebetulan atau apa, saat itu, lagu yang terputar dari mobil itu adalah lagu 'Mencintai dalam sepi'.

Otomatis semakin mendukung suasana 'sakit hati' yang membuncah dalam hati Adin saat ini. Bahkan tanpa ia sadari, setetes air mata kini jatuh di pipinya.

“Sialan.”

Tentang sebuah kepastian yang tak kunjung datang, katanya.

Saat itu waktu sudah menjelang sore. Langit senja yang begitu indah otomatis menghiasi suasana perpulangan SMA Dirgantara. Anak-anak berbondong-bondong menuju gerbang untuk bergegas pulang menuju rumahnya masing-masing. Tapi tidak untuk kelas XII IPA 1. Penghuni kelas tersebut masih patuh mendengarkan nasehat wali kelas yang memang termasuk kegiatan rutin setiap sebelum perpulangan. Obrolan-obrolan sederhana yang menjadi topik pembicaraan setiap sore, membuat hubungan anak-anak di kelas itu semakin dekat dan akrab bagaikan saudara satu sama lain.

“Bu, kalau nanti kita udah lulus, kita masih bisa ngobrol-ngobrol kayak gini lagi gak, ya?” Salah satu murid yang bernametag Revan itu tiba-tiba melontarkan pertanyaan dengan lantang.

Bu Irma, walikelas XII IPA 1, tersenyum dengan hangat ke arah murid-murid yang begitu ia sayangi.

“Pasti bisa, dong. Zaman sekarang kan udah canggih, kalau pun nanti kalian bakalan berpisah untuk mengejar tujuan masing-masing, kalian kan masih bisa berkomunikasi lewat media sosial. Gampang, kan?” sahut Bu Irma hangat.

“Ah, tapi kalau di chat mah rasanya beda kayak ngobrol biasa. Sensasi nya itu loh kayak kurang sreg aja,” Adin tiba-tiba mengeluarkan suaranya.

“Emangnya kenapa ga sreg? Padahal ngobrol di chat lebih gampang gak sih?” Naura menimpali.

“Ih apa ya, orang orang tuh kalau di chat kayak suka cuek aja gitu typing nya. Suka sebel gue tuh kalau kayak gitu,” keluh Adin.

Tampak Naura sedikit menahan tawa nya, “Sorry, Din. Tapi bukannya lo udah biasa dicuekkin ya? Hahaha!” Kali ini, Naura berbicara dengan pelan.

Adin menye-menye, “Udah biasa dicuekkin si dia, tapi kalau terlalu sering dicuekkin mah gue sakit hati atuh.”

Naura terkekeh pelan.

“Apa sih ah kok tiba-tiba ngomongin itu, random banget.”

Bu Irma yang ternyata sedari tadi masih bisa mendengar percakapan antara Adin dan Naura, hanya terkekeh pelan. “Biasalah, anak muda,” batinnya.

Lantas Bu Irma menghela napas. Entah dari mana, tiba-tiba ada sebuah ide yang muncul di pikirannya.

“Eh, kalian udah mau pulang belum? Ibu mau ngasih game nih sebelum Senin depan mulai Ujian Nasional,” kata Bu Irma.

Arvin menyahut, “Sebenernya udah kebelet pengen pulang sih. Tapi kalau ada game ya kali ga kuy! Iya gak, guys?!” tanya Arvin bersemangat, yang ternyata malah mendapatkan sorakan dari teman-teman sekelasnya.

“Iya, Bu. Boleh game dulu, tapi jangan lama-lama ya, Bu.” Akhirnya setelah sekian purnama, Ghiffar yang notabene-nya merupakan laki-laki paling irit bicara di kelas pun mengeluarkan suaranya.

“Engga, kok. Bentar ini mah serius,” kata Bu Irma sambil sedikit nyengir.

“Oke. Jadi nama game nya tuh 'Jika Maka'. Ada yang udah pernah main game ini sebelumnya?”

Namun rupanya semua murid di kelas saat itu serentak menggelengkan kepalanya. Tanda mereka belum pernah memainkan permainan yang berjudul 'Jika Maka' itu.

“Semuanya belum pernah berarti ya? Yaudah ibu jelasin ya tata cara mainnya. Jadi nanti kalian bikin kata-kata random di sobekan kertas. Yang cewek pake awalan 'Jika', terus yang cowok pake awalan 'Maka'. Ngerti, nggak?”

“Ngerti, Bu. Terus abis itu ngapain, Bu?” tanya Adin yang begitu tak sabaran.

Arvin menggeplak kepala Adin dari samping, dengan begitu keras. “Sabar atuh, dodol!”

Adin berdecak kesal, “Ya ga usah geplak kepala juga kali, ga sopan.” Namun rupanya Arvin tidak peduli kalau kembarannya itu kesal pada dirinya. Lebih kepada tidak peduli, sih.

Bu Irma melanjutkan kalimatnya, “Nah abis itu, nanti kumpulin kertas nya ke depan, yang cowok simpen kertasnya di kanan ibu, yang cewek simpen kertas nya di kiri ibu. Nanti ibu bakal pilih random dua kertas. Satu kertas yang isi nya tulisan berawalan 'Jika', satu lagi ibu ambil kertas yang isi nya tulisan berawalan 'Maka'. Nanti ibu bakal bacain, kalau ternyata cocok, berarti anak-anak di kelas ini emang sehati.”

“H-hah? Gimana, Bu? Ga ngerti,” kata Naura.

“Jadi nanti lo tinggal tulis aja kata-kata pake awalan 'Maka', Nau. Abis itu kertas nya kumpulin, nanti dipilih acak deh, kayak cocok cocokin kata kata gitu,” kata Adin.

“Oh, si kata-kata nya random aja?”

Adin mengangguk, “Iya, random aja. Keluarin aja isi kepala lo, terus tuangin dalam bentuk kata-kata ke kertas itu, pake awalan 'Maka' ya jangan lupa.”

Lantas Naura hanya mengangguk, tanda kalau dirinya sudah paham.

“Oke! Kalau gitu sekarang kalian mulai nulis kata-katanya ya! Random aja, ibu kasih waktu dua menit, dari sekarang!”

Lantas semua murid kelas XII IPA 1 pun mulai beraksi dengan secarik kertas dan pulpen yang ada di hadapannya. Ada yang langsung mendapatkan ide tentang apa yang seharusnya ditulis dalam kertas itu. Ada juga yang misuh-misuh karena bingung hendak menuliskan apa.

Namun sesuai dengan perintah Bu Irma, hanya membutuhkan dua menit, semua murid sudah mengumpulkan kertas yang sudah digulung ke hadapan Bu Irma.

“Oke! Semuanya udah kumpulin kertas nya, kan?”

“UDAAAHH BUU!!!” Kini murid-murid bersemangat.

“Yaudah, ibu pilih acak ya—”

“Bu, kalau nanti ada kalimat yang cocok, yang bikin kalimatnya bakalan di kasih hadiah ga Bu?!” Revan memotong pembicaraan Bu Irma.

Tampak Bu Irma sedikit berpikir, “Hm, hadiahnya seperti biasa minta aja ke Arvin ya, cimin sepuluh rebueun,” kata Bu Irma sambil mengerlingkan mata ke arah Arvin yang mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Lah kok hadiahnya dari saya sih, Bu?” kata Arvin tidak terima.

“Gapapa dong. Kan kamu juragan cimin di kelas ini.”

“Hahahha!” Kelas itu kini dipenuhi dengan tawaan renyah.

“Udah ah lanjut ini daritadi kok ga mulai mulai. Oke, ibu pilih satu dulu ya, dari yang cewek, berarti kalimat 'Jika'.”

Bu Irma mengambil salah satu gulungan kertas yang ada di kiri. “Oke! Gini ceunah kalimatnya, 'Jika saya masuk ke PTN Favorit lewat jalur SNMPTN...” ​

Perkataan Bu Irma menggantung karena hendak mengambil satu kertas lagi dari sebelah kanan, “Terus ini nih dari yang cowok, katanya, 'Maka kamu harus beliin aku cimin dua keresek, deal no debat!' Waduuhhh???? Cocok gak sih?”

“Ih cocok ibu cocok!!!” kata beberapa murid.

“Apaan ibu ih nggak cocok, masa yang satu ngomongin PTN, yang satu ngomongin cimin.”

“Cocok tau, kan itu kata si cewek kalau misalkan dia lolos SNMPTN terus si cowok nya kayak minta traktir cimin gitu dari dia dua keresek. Iya ga sih? Hahahha!”

“Iya bener, hahahaha!!!!” Sorak sorai murid pun mulai memenuhi seisi ruangan kala itu. Sangat berisik rupanya.

“Suuttt udah udah. Fiks ya berarti ini cocok nih, siapa nih yang bikin kalimatnya, ayo ngaku!” kata Bu Irma.

“Arvin Bu! Hehehehe...” Arvin berdiri bersemangat sembari memberikan cengiran terbaiknya.

“Oalah Arvin, terus satu lagi yang nulis kalimat 'Jika', siapa?”

Dengan ragu, salah seorang perempuan di bangku paling pojok berdiri malu malu. “Lala Bu, hehehe...”

Semua orang disitu tampak terkejut, “What?! SERIUSAN LALA ARVIN?! CIE CIEEEE UHUYYY COCOK EUYY SEHATI KALIAAN!”

“Wah fiks sih ini mah nanti kalau Lala lolos SNMPTN harus traktir Arvin cimin dua keresek,” kata Revan sambil tertawa.

Lantas kelas itu seketika langsung dipenuhi dengan suara suara berisik alias murid-murid pada ngecie-ciein Arvin dan Lala, heboh.

“Udah Bu, lanjutin aja, biar cepet pulang,” kata Ghiffar.

“Oke, sekarang pasangan yang kedua ya...”

Perlahan Bu Irma membuka kertas dari tim 'Jika', “Oke oke. Wah baku nih kalimatnya, katanya gini, 'Jika selama ini aku masih belum mendapatkan kepastian...' Wait, what? Bentar? Apaan kok inimah bucin sih???” Bu Irma tak habis pikir.

“Apaan ibu, enggak bucin kok itu, kepastian kan gak melulu tentang bucin, gimana sih Bu ah...” keluh Adin.

Bu Irma terkekeh, “Ohhh berarti ini pasti kamu yang nulis ya Adin?”

Adin hanya menyengir lebar, “Yaudah Bu, pilih satu kertas lagi Bu dari tim cowok, siapa tau cocok gitu kan, ihiy.”

“Oke, ibu ambil ya...” Bu Irma mengambil kertas dari tim 'Maka'. Tapi saat membuka gulungan kertas tersebut, Bu Irma malah terperangah kaget, “Ih?!”

“Kenapa Bu???” Murid muridnya ikut penasaran pula.

“Ini kalimatnya nyambung banget tau! Ibu kaget banget seriusan.”

“Emang apaan Bu kalimatnya gimana?”

“Gini ceunah kalimatnya, 'Maka, lo harus nunggu, kalau waktunya udah tepat, gue bakalan kasih lo kepastian itu.' TUH COCOK BANGET GAK SIH?!?!?!” Bu Irma heboh.

“HAH?!?! PARAH BU ITUMAH COCOK BANGET!!”

“Ibu ulang nih ya. Kata si ceweknya, 'Jika selama ini aku masih belum mendapatkan kepastian.' Terus kata cowoknya, 'Maka, lo harus nunggu, kalau waktunya udah tepat, gue bakalan kasih lo kepastian itu.' Plis ini kalimatnya nyambung banget. Serius ini siapa yang nulis, kan yang nulis kalimat 'Jika' tuh Adin, yang nulis kalimat 'Maka' siapa ayo ngaku!” kata Bu Irma penasaran.

“Ngaku plis! Ini kayaknya yang nulis duaduanya bakalan jodoh deh,” kata Revan.

Tak membutuhkan waktu lama, lagi-lagi seisi kelas dibuat terkejut saat tahu siapa yang menulis kalimat sebelumnya. Oh ternyata, Ghiffar pelakunya.

“Saya Bu. Saya yang nulis kalimat berawalan 'Maka' itu,” kata Ghiffar sambil sesekali melirik ke arah Adin yang sedang menunduk menahan rasa malu nya.

“PARAH!!! CIEEEE ADIN GIPAR CIEEE AAHHH PARAH COCOK BANGET KAYAKNYA KALIAN!!! HAHAHAHA!”


“Par! Par!”

Dari belakang, Revan langsung merangkul Ghiffar dengan paksa.

“Gue juga tahu kok tadi lo ngintip kertas nya si Adin, baru lo nulis. Ngaku lo pasti sengaja nulis kalimat kayak tadi, kan? Parah banget lo, Par!” kata Revan.

“Apasih engga.”

“Halah, gengsi lo ketinggian banget sih sumpah! Jangan-jangan selama ini lo juga nyimpen perasaan buat si Adin diem-diem ya?” Arvin menimpali.

“Engga.”

“Cuih. Bilangnya engga, tapi buktinya, tadi aja lo sengaja nyambungin kalimat lo sama kalimatnya si Adin.”

“Gak sengaja itu.”

“Alaaahhhhhhh boong lo, Par!”

“Ga sengaja serius. Gue juga ga tahu bakal kayak gitu.”


“Adin!!! Cie ih cie cocok sama gipar nih ciee!”

“Sut diem, Nau. Gue masih salting seriusan,” kata Adin menahan rasa malu nya sedari tadi. Pasalnya Adin ini memang sudah menyimpan perasaan yang lebih pada temannya yang berinisial G alias Ghiffari.

“Cie cieeee... Mungkin ga sih, itu Gipar sengaja nulis kayak gitu, jangan jangan dia tadi ngintip kertas lo dulu, dia kan duduk nya di belakang lo,” kata Naura.

“Gamungkin, Nau. Gipar bukan orang yang kurang kerjaan kek begitu sih, bukan dia banget.”

“Hm iyasih. Eh tapi ngomong-ngomong kalimat yang lo tulis, lo tuh selama ini emang ga pernah dikasih kepastian sama si Gipar, tapi kenapa lo masih bertahan sampe sekarang sih, Din?” tanya Naura.

Adin tersenyum kecut. “Gue juga gak tahu, Nau. Selama ini gue selalu nanya ke dia, tentang gimana perasaan dia ke gue. Padahal dia udah tau kalau gue suka sama dia, tapi kadang dia tuh bersikap cuek ke gue, tapi kadang juga dia perhatian banget sama gue.”

“Oh, kayak tarik ulur gitu ya?”

Adin mengangguk.

“Yaudah Din coba deh lo tanyain lagi ke dia, siapa tau sekarang dia udah balik suka sama lo, hehehe.”

“Enggak, Nau. Dia gaakan jawab, dia gabakal ngasih jawaban atau kepastian apapun buat gue.”

Karena tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban. Sedangkan, semua jawaban tentu membutuhkan pembuktian. —Ghiffar Vernand Alterio