Hei, Bangun.
Suasana koridor sekolah kini cukup ramai. Rupanya sekarang saatnya waktu istirahat, menyebabkan banyak murid yang keluar dari kelasnya masing-masing dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang hendak pergi ke kantin, ada yang sekadar nangkring di lapangan bersama teman-teman, atau bahkan ada yang sengaja main kejar-kejaran tidak jelas di sepanjang koridor.
Sesekali Eyzar tersenyum sembari sedikit membungkuk saat ada murid yang menyapanya. Walaupun Eyzar jelas tidak terlalu mengenali mereka, bahkan untuk sekadar namanya pun Eyzar tidak tahu, tapi anak laki-laki itu tetap merespon dengan baik apabila ada yang menyapanya dengan ramah. Berbeda jika ada orang yang jelas-jelas membicarakannya atau bisik-bisik saat dirinya lewat, maka Eyzar akan langsung menunduk hanya karena merasa ingin menghilang dari sana. Eyzar tidak suka menjadi bahan gunjingan orang, begitulah.
Tak lama kemudian, Eyzar pun sampai di kelasnya, XII IPA 1. Kelas yang berada di lantai 2 itu, sepertinya tidak terlalu ramai karena banyak murid yang memilih untuk pergi ke kantin bersama yang lainnya.
“Euyy! Dateng juga nih bocah satu!” pekik Reza yang ternyata sudah menunggu kedatangan Eyzar sejak tadi.
“Lama banget, Zar? Ngapain aja lo?” Sadam menimpali sembari pandangannya tidak lepas dari ponsel yang sedang dimainkannya.
Eyzar meletakkan dua kantung keresek di bangku kedua temannya itu, “Tuh, kalian yang pesennya kebanyakan, ya wajar lah kalau lama.”
Reza dan Sadam menyengir. Lantas semangat meraih jajanan yang mereka pesan di dalam kantung keresek yang diserahkan oleh Eyzar barusan.
“Eh eh awas itu ada yang buat gue sama buat Artha juga ya. Nggak semua buat kalian,” kata Eyzar.
“Iya-iya kita juga tau kali ah, santai.”
Eyzar lantas mendudukkan diri di bangku miliknya. Bangku yang terletak paling belakang dan keberadaannya ada di belakang bangku milik Reza dan Sadam. Jangan tanyakan Artha duduk di mana, karena laki-laki yang dijuluki 'anak ambis' itu bertempat duduk di paling depan bersama ketua kelas yang sama-sama memiliki semangat belajar tinggi.
Melihat ke arah samping, rupanya ada Reina yang sedari tadi meletakkan kepalanya di atas lengan sebagai bantalan.
Eyzar bertanya kepada teman-temannya, “Tidur dia?”
Sadam mengangkat bahunya, tanda tak tahu, “Gatau, gue juga daritadi ga merhatiin, coba tanya Reza siapa tau dia merhatiin kan kata Reza cakep ceunah.”
“Ck. Gue bilang cakep bukan berarti bakalan gue perhatiin terus-terusan kali, malesin banget.”
Eyzar terkekeh, “Yaudah sih santai, orang gue cuman nanya. Ini kalau dia tidur bangunin jangan ya? Apa gausah aja?”
“Udah lah biarin aja, ntar juga bangun sendiri.”
Bel kembali berbunyi, tanda pembelajaran selanjutnya sudah harus dimulai. Murid-murid berbondong-bondong menuju kelasnya masing-masing. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang berlarian saat menuju kelas.
Eyzar, Sadam, dan Reza pun sudah selesai menghabiskan jajanan milik mereka. Kini hanya tersisa makanan yang sengaja Eyzar belikan untuk Artha. Namun rupanya Artha masih belum datang ke kelas juga sampai saat ini.
“Halo, selamat siang semuanya!”
Guru muda berparas cantik yang notabene-nya adalah guru mata pelajaran bahasa Indonesia kini sudah memasuki ruangan kelas. Sontak semua murid pun menyambutnya dengan semangat.
Eyzar menoleh ke samping dan masih menemukan Reina tetap dalam posisi tidurnya. Eyzar bingung, haruskah ia membangunkan gadis itu, atau lebih baik ia diamkan saja? Kalau mengikuti apa isi hati Eyzar, seharusnya ia membangunkan Reina karena pelajaran akan segera dimulai. Tapi entah apa yang membuat laki-laki itu malas untuk melakukannya.
“Eh ada yang tidur tuh? Tolong teman yang di sampingnya bangunkan dulu ya.”
Baru saja Eyzar bergulat dengan pikiran dan isi hatinya, tau-tau ia mendapatkan perintah untuk membangunkan Reina. Oke, untuk kali ini ia tidak bisa menolak permintaan dari gurunya itu. Maka dengan terpaksa, Eyzar membangunkan Reina yang ada di sampingnya.
“Bangun,” ucap Eyzar cukup pelan.
Sadam sedikit menolehkan kepalanya dan berbisik, “Kalau banguninnya pelan gitumah gaakan bangun-bangun kali.”
“Iya sih.” Eyzar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Lantas dengan perasaan yang terpaksa, Eyzar lagi-lagi berusaha membangunkan gadis itu.
“Reina, bangun.”
Masih belum ada jawaban. Akhirnya Eyzar memutuskan untuk sedikit menggoyangkan tubuh Reina agar gadis itu cepat bangun.
“Reina, bangun. Gurunya udah masuk tuh.”
Masih belum menyahut pula, Eyzar pun menghela napas pasrah.
“Buset dah nyenyak banget tidurnya, padahal ini di sekolah.”
“Reina...”
“Hei, bangun. Hei? Heii??? Reina?? Bangun atuh cepetan.”
Sret
Reina tampaknya bangun dengan keadaan terkejut. Karena merasa tidak enak, Eyzar mengerjapkan matanya berkali-kali, “Eh maaf, gue banguninnya ngagetin ya?”
Reina sedikit mengucek matanya yang masih berat oleh rasa kantuk, dan perlahan ia baru menyadari kalau laki-laki yang berada di sampingnya itu adalah Eyzar. “Loh? Kok lo di sini? Bukannya tadi ga masuk?”
Eyzar tidak menjawab, anak laki-laki itu hanya tersenyum canggung dan kembali menatap guru bahasa Indonesia yang sudah mulai menerangkan materi pembelajaran.
“Lahhh?? Ini gurunya udah dateng daritadi banget??” bisik Reina pada Eyzar.
Eyzar menggeleng pelan, “Engga kok, ini baru mulai.”
“Oalah, oke deh. Hadeuh, bisa bisa nya gue tidur nyenyak padahal lagi di sekolah,” gumam Reina, sembari tersenyum miris menghadap ke arah papan tulis dan mulai memperhatikan apa yang dijelaskan oleh gurunya.