peachylioon

Di mobil milik Dhaka, kini Dhaka dan El sudah menunggu kedatangan Eyzar. Sesekali Dhaka menggoda El tentang Eyzar yang akhir-akhir ini semakin berani mengungkapkan perasaannya. Namun, El tetaplah El, gadis yang tidak ingin perasaannya terungkap oleh orang lain, gadis yang selalu denial pada perasannya sendiri.

Tak lama kemudian, datanglah Eyzar dengan wajah yang begitu muram, mengetuk kaca mobil belakang.

“Buka aja, gak dikunci,” teriak Dhaka yang sedikit nongol dari kaca depan.

Eyzar masuk dan langsung duduk di sebelah El. Lelaki itu melemparkan tas nya ke jok paling belakang. Bahkan ia tak peduli kalau isi tas nya berantakan, yang jelas, tampak sekali mood lelaki itu sedang tidak baik-baik saja.

“Kalau lo pulang naik ini, motor lo gimana dong?” tanya Dhaka sembari mulai melajukan kendaraan roda empat itu.

“Dibawa Reza dulu,” jawab Eyzar cepat, sembari menyandarkan tubuhnya dengan lemah.

El masih memegang ponsel nya, lantas ia menghela napas sebelum akhirnya mulai menatap Eyzar lekat. “Kenapa?”

Eyzar menggeleng lemah, “Biasa. Lagi capek aja.”

El sedikit memutar bola matanya. Nampaknya gadis itu sedang berusaha membuang rasa gengsinya untuk kali ini saja.

“Oke El gapapa, sekali ini aja buang rasa gengsi lo,” batinnya.

Akhirnya, gadis itu sedikit menepuk paha nya guna memberikan kode untuk Eyzar. “Sini.”

Lantas dengan cepat, Eyzar pun ditarik oleh El sehingga kepala lelaki itu kini berada di atas pangkuan El.

“K-kak El ini tiba tiba banget?” ucap Eyzar gugup.

“Biarin aja. Biar lo bisa rebahan, kalau capek istirahat aja, ntar gue bangunin kalau udah sampe,” sahut El lancar tanpa ada rasa ragu sekalipun. Bahkan, kini gadis itu mengelus-elus rambut Eyzar dengan lembut.

Eyzar menggigit bibir bawahnya, lelaki itu merasakan jantungnya berdegup kencang tak karuan. Eyzar benar-benar merasa senang diperlakukan seperti ini oleh gadis incarannya. Lantas ia tersenyum sembari menatap El dari bawah. “Makasih.”

“Hm.”

Dhaka yang masih menyetir di depan menghela napas berat, “Jangan lupa masih ada orang di sini ya!”

“Apa sih, Bang Dhaka, bilang aja cemburu,” sahut Eyzar.

“Yaiyalah masa lo enak berduaan sama pacar lo—”

“Belum jadi pacar,” potong El cepat.

Dhaka berdecak, “Ya maksudnya kalian enak bisa berduaan, lah gue? Kek supir beneran. Tau gitu mending tadi gue ngajak pacar gue aja sih, biar ceritanya kek double date gitu kan jadi—”

“Gausah banyak ngomong, Bang.” Suara El yang tegas itu sukses membuat Dhaka susah payah meneguk salivanya. “Jangan berisik, biar Eyzar bisa istirahat,” sambungnya, yang membuat Eyzar lagi-lagi merasa salah tingkah.

Lantas, kini mobil itu dipenuhi dengan suasana hening. Tidak ada satupun yang mengeluarkan suara. Hanya lagu-lagu slow yang berasal dari depan sana.

Beberapa menit kemudian, Eyzar membuka pejaman matanya. Tampaknya, percuma saja sedari tadi Eyzar berusaha tidur, karena sangat sulit baginya.

“Kak El,” gumam Eyzar pelan.

“Hm?”

“Kak El... Kak El bahagia gak ya???” ujar Eyzar lagi.

El mengerutkan keningnya, “Y-yaa gue bahagia bahagia aja sih.”

Eyzar diam. “Kak El?”

“Apa eyzaar?” sahut El sabar.

“Shhh diem, kak. Eyzar bukan manggil kak El.”

“Lah?”

Eyzar tersenyum ke arah langit langit mobil, “Eyzar cuman pengen nyapa Kak Ellyna sama Kak Elvan di sana... Eyzar kangen sama suara mereka, Eyzar kangen sama semua tentang mereka... Sekarang Kak Ellyna sama Kak Elvan pasti bahagia di sana ya sama ayah bunda???”

El diam.

“Kak El...”

Tidak da jawaban.

“Kak El...”

Masih tidak ada jawaban.

“Kak El ihh!”

“Hah? Apa? Itu El ke gue?”

“Yaiyalahhh! Di sini El siapa lagi coba?” Eyzar mengerucutkan bibirnya.

“Ya kan gue kira lo manggil kak ellyna sama kak Elvan lagi...”

“Enggak. Sekarang Eyzar serius mau nanya sama Kak El.”

El menghela napas pasrah, “Yaudah apa?”

“Kapan ya Eyzar bisa nyusul semua keluarga Eyzar? Ayah... Bunda... Kak Elvan... Kak ellyna... Kapan eyzar bisa ketemu mereka lagi ya? Eyzar kangen banget sama mereka soalnya... Eyzar selalu ngerasa sendirian kalau inget mereka udah engga ada... Eyzar gak punya siapa-siapa lagi. Gaada lagi orang yang selalu ada di sisi Eyzar, Kak El...”

El hanya diam. Gadis itu tidak tau apa lagi yang harus ia ucapkan untuk membuat Eyzar tenang. Gadis itu hanya sedikit bingung. Alhasil, El hanya menanggapi perkataan Eyzar dengan sedikit elusan lembut di rambut Eyzar. Sembari bergumam di dalam hati, “Gue bakal selalu ada buat lo kok, Zar...”

Akhirnya Eyzar membenarkan posisi duduk nya seperti biasa. Kini, lelaki itu tidak berada di pangkuan El lagi. Ia menghela napas panjang.

“Udah lah Eyzar gak boleh sedih lama-lama. Kita jalan-jalan aja yuk, Kak El?” ucap lelaki itu sembari berusaha menampilkan senyuman terbaiknya.


“Jadii, kenapa lo mukulin Melan? Gak bosen bosen ya lo berantem terus dari dulu. Gue kira sekarang lo udah jarang bolos dari sekolah, hobby berantem lo bakal berkurang, taunya belom.” El menghela napas.

Eyzar menunduk sembari memajukan bibirnya beberapa senti. “Abisnya Eyzar gak suka sama Melan, ish.”

“Alasannya?” El mendadak menghentikan langkahnya dan membuat Eyzar terkejut karena hampir saja menabraknya.

Eyzar menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, “Katanya Melan suka sama Kak El, jadi Eyzar gak suka aja.”

Sontak El menepuk dahinya. “Gara-gara itu doang?!”

Malah cengiran lucu yang muncul di bibir Eyzar. “Hehehe.”

“Dih, malah nyengir.”

“Terus-terus, kenapa foto Kak El ada di Melan? Katanya Kak El makan bareng dia? Bener gituu?”

“Iya.”

“ASLI?! KOK GITU SIH KAK EL?! Jangan bilang Kak El sekarang udah suka sama Melan?! Aisshh udah ah sana jangan ngomong sama Eyzar lagi. Kita gaada hubungan apa-apa! Udah sana pergi.” Eyzar misuh-misuh, yang lagi-lagi malah membuat El menahan rasa gemasnya itu.

El tertawa pelan. “Gue makan bareng Melan bukan berarti gue suka sama dia dong?”

“Terus? Kok Kak El mau sama dia sih? Katanya Kak El gak suka sama Melan juga??”

“Gue emang gak suka sama dia, tapi...”

El terdiam, dan pikirannya kembali ke kejadian tadi pagi di kampusnya, tepat sebelum Melan mengutarakan perasaannya pada El.

Tampak seseorang sedang mengeluarkan kepulan asap rokok dari mulutnya. Lelaki itu terlihat sedang sangat frustasi. El yang sedang tidak ada kelas, asik berjalan mengelilingi kampus sembari menyumpal telinganya. Dan saat dirinya melihat lelaki yang sedang merokok itu dari kejauhan, El perlahan mendekat.

Beberapa meter dari tempat itu, El sangat terkejut. Nampaknya, orang itu sudah merokok banyak sekali hari ini. Terlihat dari sampah bungkus rokok yang totalnya ada 3 bungkus berserakan di bawah kaki jenjangnya.

El menghela napas, dan langsung menghampiri lelaki itu. Kini, El berdiri sembari bersandar pada tembok, tepat di sebelah lelaki itu.

“Serius lo ngabisin tiga bungkus sendirian doang?”

Lelaki itu nampak terkejut, terlebih lagi saat mengetahui orang di sebelahnya adalah El, ia semakin terkejut.

“Dari kapan ngabisin rokok sebanyak ini?” tanya El lagi.

“Dari pagi.” Lelaki itu menghela napas, “Lo kenapa nyamperin gue? Tumben bangeet. Biasanya juga lo yang ngehindar kalau gue nyamperin.”

El terkekeh, tidak menggubris perkataan Melan barusan. Iya, lelaki yang sedari tadi berbicara dengan El adalah Melan.

“Bagi satu,” ucap El sembari menyodorkan tangannya, meminta rokok pada Melan.

Melan membulatkan pupilnya. “Hah?! Gak salah lo ngerokok?” El hanya tersenyum simpul, dan Melan geleng-geleng kepala. “Gak ah, lagian ini rokok terakhir gue.”

“Ck.” Lantas El berhasil merebut sebatang rokok dari saku celana milik Melan yang otomatis membuat Melan sedikit kesal.

“Sumpah, gue gak nyangka.”

Tidak menggubris lagi, El malah menyodorkan rokok tersebut, meminta Melan untuk membakar ujungnya dengan alat pemantik. “Ini lo seriusan mau ngerokok?!” tanya Melan memastikan. Namun, karena hanya keheningan yang didapatkan, akhirnya Melan menuruti permintaan gadis itu.

Dan tak lama kemudian, baru saja El hendak memasukkan rokok ke mulutnya, El malah menjatuhkan rokok itu secara cuma-cuma, lantas menginjak-injaknya dengan kasar.

“Anj?! Kok rokoknya malah lo buang sih?!”

“Biarin. Biar rokok yang sekarang lo pegang itu jadi rokok terakhir lo hari ini,” ucap El jujur. “Lagian percaya banget gue ngerokok? Nyentuh rokok aja baru kali ini,” sambungnya.

Melan berdecak. Namun sesaat kemudian, lelaki itu tersenyum simpul. “Gue kira lo beneran cuek sama sekitaran. Ternyata cuman tampang lo doang yang cuek, aslinya mah engga.”

“Kenapa?”

“Hm?” Melan menoleh cepat, “Kenapa apanya?”

“Bukannya lo punya temen banyak ya? Tapi kenapa di saat lo lagi ada masalah kayak gini malah menyendiri? Bukannya minta bantuan atau saran dari temen-temen lo?” tanya El.

Melan mengerjapkan matanya, “Dari mana lo tau gue ada masalah?”

“Tuh keliatan, muka lo makin jelek kalau lagi ada masalah. Terus, rokok banyak ini pasti gara-gara lo stress, kan?”

Melan tertawa, lantas sedikit menunduk, dan kembali menengadahkan kepalanya menatap langit di atas sana. “Gue berantem sama bokap.”

El diam. Bersiap untuk mendengarkan keluh kesah seseorang di sampingnya itu. Terbukti kan? Sebenarnya El adalah gadis yang sangat peduli pada semua orang. Bahkan terkadang pada orang yang tak ia kenal pun, El akan melakukan seperti ini apabila melihat orang yang terlihat sedang punya banyak masalah. Hanya saja, ekspresi muka yang selalu datar, membuat dirinya dicap cuek oleh banyak orang.

Terdengar helaan napas yang begitu berat dari mulut Melan, sebelum laki-laki itu melanjutkan kalimatnya. “Gue anak pertama di keluarga gue. Tapi, selama ini gue gak pernah bikin anggota keluarga gue bangga. Yang ada, gue selalu bikin masalah. Gue gak pinter pinter banget. Gue juga hobby berantem dari SMP. Gue banyak masuk gang-gang unfaedah. Gue juga sering balapan motor di sirkuit malem-malem. Dan karena itu, bokap gue selalu marah sama gue.”

“Awalnya gue gak masalah, selagi adik-adik gue gak kena imbasnya. Tapi ternyata tanpa gue tau, bokap gue sering nuntut adik-adik gue biar jadi sempurna. Tanpa gue tau, dia sering mukulin adik-adik gue disaat gue sama nyokap lagi gak ada di rumah.”

“Oh iya, saat itu gue masih SMP, dan adik-adik gue masih SD. Gue punya adik dua, mereka kembar. Satu cowok, satu cewek, dan sialnya, sifat dan karakter mereka berdua bener-bener bertolak belakang.”

“Lama-kelamaan bokap gue makin pilih kasih sama anak-anaknya. Dia cuman perhatian sama adik gue yang cowok. Sedangkan gue sama adik cewek gue ditelantarkan dan sama sekali gak pernah dapet perhatian. Gak salah sih, lagian adik gue yang cowok itu emang beneran pinter banget. Gak aneh kalau bokap gue sayang sama dia. Dan gak aneh juga kalau gue sama adik cewek gue selalu dibanding-bandingin sama dia, dari dulu.”

“Awalnya gue fine-fine aja, karena gue ngerasa gak masalah. Toh gue masih punya nyokap yang selalu baik sama gue. Tapi, gue makin kesel ketika tau adik cewek gue itu mengidap depresi ringan, padahal saat itu dia masih SD. Jadi, sejak saat itu, gue mutusin buat bakal lebih merhatiin adik gue lagi, ketimbang merhatiin diri sendiri.”

Melan menoleh ke arah El sebentar. Rupanya gadis itu menyimak sembari menatap lurus ke arah depan sana. “Lo dengerin gue gak sih?” tanya Melan, yang kemudian dengan cepat dibalas oleh El, “Denger kok. Tapi gue agak pusing ngedengernya, ada adik cewek, ada adik cowok, jadi gue perlu mencerna agak lama.”

Melan terkekeh pelan. “Lo deket banget sama Eyzar kan?” El hanya mengangguk, lantas yang laki-laki kembali bersuara, “Kalau gitu lo kenal sama temen-temennya Eyzar kan?”

Lagi-lagi, El hanya mengangguk, mengiyakan pertanyaan Melan.

Melan menghela napas panjang. “Artha.” El buru-buru menoleh cepat ke arah Melan, menunggu penjelasan selanjutnya. “Artha, adik laki-laki gue.”

El hanya mengerutkan keningnya. Masih sedikit tidak percaya dengan ucapan Melan barusan.

“Artha, adik laki-laki gue. Dan adik perempuan gue pun kayanya sekarang udah temenan sama Eyzar.”

“Siapa?”

“Reina,” Melan tersenyum dengan tatapan yang sulit diartikan.

Lantas, El hanya terdiam kemudian ikut menghela napas. “Yaudah, mau lanjut ceritanya gak?”

“Gak sabaran banget ya lo.” Lelaki itu terkekeh pelan.

“Ck.”

“Ya gitu deh. Semenjak bokap gue yang makin hari makin pilih kasih, hubungan keluarga gue semakin renggang. Belum lagi, bokap sama nyokap juga mulai sering berantem.”

“Gue pun jadi kurang merhatiin Artha. Karena yang waktu itu gue pikirin cuman Reina, Reina, Reina. Gue bener-bener khawatir sama dia. Badan dia lemah, dia punya banyak penyakit dari lahir, ditambah rasa depresi yang harus ia rasain semakin bikin gue gak tega. Akhirnya tanpa gue sadari pun, perlahan gue jadi malah pilih kasih sama Reina dan Artha.”

El terkekeh, “Jadi intinya lo ngerasa bersalah sama Artha gitu?”

“Bukan gitu ceritanya, masih panjang.”

“Yaelahh buruan, bentar lagi gue ada kelas.”

Melan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia baru sadar, kenapa ia bercerita panjang lebar seperti ini bahkan kepada orang yang belum terlalu dekat dengannya. Tapi, apa boleh buat, toh semuanya sudah terlanjur. Lagipula, Melan merasa nyaman saat bercerita seperti ini kepada El.

“Lanjut ya.”

El mengangguk.

“Waktu itu, gue udah beranjak SMA, dan mereka berdua udah SMP. Kita semakin dituntut buat dewasa karena keadaan. Bokap nyokap gue yang selalu sibuk kerja, Artha yang hampir gak pernah ngomong kalau di rumah, dan gue sama Reina yang selalu dapet masalah di sekolah. Saat itu nyokap gue niatnya mau ngajak kami bertiga buat jalan-jalan, dan akhirnya dengan sedikit terpaksa, ya gue ngikut aja.”

“Di jalan, sempet ada kejadian yang bener-bener gak pernah gue sangka. Selama jalan-jalan, Artha sama sekali gak bersuara, kalau di keluarga dia emang pendiem banget, bahkan hampir gak pernah ngomong. Dan saat di jalan raya lagi rame, dia tiba-tiba jalan sendirian pake earphone, ya mungkin volume nya full banget kali ya sampe-sampe dia gak nyadar, pas lagi nyebrang, ada truk gede yang ngarah ke dia dengan kecepatan cukup tinggi.”

“Terus?”

Melan terkekeh. “Nyokap gue tanpa pikir panjang langsung nolongin dia lah. Dia dorong Artha, dan berakhir dia sendiri yang ketabrak truk itu.”

“Saat itu, Artha juga tetep luka-luka, karena ternyata dorongan nyokap gue terlalu keras dan berakhir Artha nyusruk nubruk mobil yang terparkir di depan.”

El tertawa pelan. “Gaada kata kata lain selain nyusruk gitu? Gue ngakak sialaan.” Gadis itu masih tertawa.

Melan terkekeh sembari meletakkan kedua tangannya di dada, “Ya gatau atuh da emang bener nyusruk dia nya.”

“Lanjut-lanjut.”

“Ya gue juga agak ga ngerti sih ya gimana kejadian jatohnya. Tapi yang jelas, lengan kanan Artha patah karena dia pake buat nahan badan pas jatoh.”

“Wih? Bisa gitu ya?”

“Ck. Lo bisa serius gak sih dengerin ceritanya? Gue udahin nih ah.”

“Bercanda bercanda. Sok lanjut.”

“Ya gitu deh, berujung nyokap gue meninggal. Dan kalau lo inget, kejadian itu terjadi depan mata gue dan Reina secara langsung. Gue ya apa ya mungkin saat itu gue emang agak sedikit marah sama Artha karena emang salah dia yang nggak bisa jaga diri. Tapi, Reina...”

“Kenapa dia?”

“Dia bener-bener gak terima kejadian itu. Dia bener-bener ngerasa hancur karena kehilangan seseorang yang selalu ngelindungi dia. Saat itu dia bener-bener hancur, dan sialnya, dia nyalahin semuanya ke Artha. Gara-gara kejadian itu, Reina benci banget sama Artha, seakan-akan kejadian meninggalnya nyokap gue adalah karena ulah Artha.”

“Semenjak itu, Reina sama Artha jadi semakin menyendiri. Kerjaan mereka cuman sekolah-pulang, belajar, tidur, ketemu gue paling pas makan doang. Tapi hampir setiap malem, bokap gue selalu mukulin Reina karena ngecap dia nggak pernah bener belajarnya karena nilai-nilai sekolah dia selalu rendah.”

“Nyokap gue udah nggak ada. Gaada lagi yang bela Reina saat dia dipukulin bokap. Berujung gue lah yang harus jadi pawang buat Reina. Gue rela ikut dipukulin bokap demi ngelindungin Reina.”

“Gara-gara itu, mental Reina makin sakit. Gue sering bawa dia ke psikiater, tapi ya gitu, percuma juga rasanya kalau nggak ada faktor pendukung dari luar. Percuma kalau dia sering ke psikiater, tapi mental dia selalu kembali rusak kalau ketemu bokap sama Artha.”

“Akhirnya, gue mutusin buat tinggal di apartemen, berdua sama Reina. Gue sama Reina mutusin buat tinggal sendiri, misah dari kekangan rumah itu. Saat itu gue bener-bener gak peduli sama Artha, karena gue pikir Artha baik-baik aja tanpa perhatian dari gue. Gue ngerasa Artha udah cukup nerima banyak perhatian dari bokap. Akhirnya, gue cuman peduli dan perhatian sama Reina doang.”

“Tapi, selama itu gue baru sadar. Gue terlalu peduli sama mereka dan sialnya gue gak pernah mikirin perasaan pribadi gue...”

El melirik ke arah Melan, yang ternyata lelaki itu sudah mengeluarkan bulir air mata di pipinya. Lelaki itu tampak menahan rasa sakitnya yang cukup dalam.

“Kalau mau nangis, nangis aja kali. Gak usah sok kuat.”

Dan berakhirlah, lelaki itu betul-betul menangis. Lelaki itu menutup matanya dengan lengan kanannya. Sembari bersandar dan menundukkan kepalanya, Melan mengeluarkan semua rasa sakitnya.

“Gue selalu sakit kalau ngeliat bokap gue marahin Reina. Tapi hati gue juga sakit kalau harus ikut nerima pukulan dari bokap gue. Gue emang sering berantem atau tawuran, tapi pukulan dari bokap rasanya lebih menyakitkan, gue juga gak tau kenapa. Gue gak pernah dapet perhatian dari dia. Gue juga—”

Suara Melan tersendat karena isakan tangisnya.

“Gue juga selalu bersikap sok kuat depan Artha sama Reina cuman biar mereka gak khawatir sama gue. Tapi apa? Buktinya mereka gak pernah peduliin gue. Mereka gak pernah khawatirin gue. Selalu, selalu gue yang harus ngalah, selalu gue yang harus bersikap dewasa. Semakin hari Artha sama Reina selalu berantem. Artha yang egois dan Reina yang gak mau kalah, mereka selalu perang dingin. Gue pun terpaksa nge-iyain kemauan Reina, karena kalau engga, gue takut dia berpikir gue udah gak peduli lagi sama dia. Gue selalu bantuin dia buat bikin masalah sama Artha. Bahkan gue tau ini salah, gue selalu bantuin Reina buat hancurin hidup Artha. Gue tau ini salah, tapi gue gak bisa nolak permintaan Reina. Gak tau kenapa...”

Melan menghela napas panjang. Lelaki itu mulai menenangkan dirinya dan menghentikan Isak tangisnya. Melan kini sudah kembali seperti biasa.

“Beberapa bulan yang lalu, gue sama Reina dipaksa pulang ke rumah, dan Reina juga yang dipaksa pindah ke sekolahnya Artha. Kata bokap, biar Reina sekolahnya bener, berpendidikan jelas, dan gampang dikontrol sama bokap.”

“Sampe dua hari yang lalu, Reina sama Artha berantem hebat. Gue juga gak tau gara-gara apa, yang jelas mereka berdua sama-sama saling main kekerasan, dan itu mereka lakuin di rumah, depan bokap gue.”

“Bokap gue marah besar gara-gara itu. Tapi keselnya, bokap gue cuman marahin Reina. Gue kesel banget saat bokap gue malah habis-habisan nyalahin Reina. Padahal, disitu Artha juga sama-sama salah.”

“Tapi yang bisa gue lakuin cuman diem merhatiin kejadian itu. Karena tubuh gue bener-bener gak bisa gerak. Gue gak sanggup lagi nahan penderitaan itu. Gue tau gue jahat, tapi gue juga udah terlalu capek selama ini. Begitupun Artha, dia cuman diem, dengan tatapan datarnya dia cuman ngeliatin Reina dipukulin bokap. Dia diem aja anjrt dia sama sekali gaada niatan buat nolongin kembarannya sendiri!”

Lagi-lagi, Melan menghela napas.

“Dan akhirnya, kemarin malem, gue sempet nerobos masuk ke kamar Artha. Gue kaget bener-bener kaget karena gue nemuin obat penenang di mejanya. Gue juga kaget saat ngeliat dia punya banyak buku yang ngebahas tentang kesehatan mental. Bahkan, dia pun nyembunyiin berkas yang dia dapetin dari psikiater.” Melan menjambak rambutnya frustasi. “Di situ gue sadar. Bukan Reina doang yang sakit gara-gara tingkah kurang ajar dari bokap. Ternyata Artha juga sakit! Dia sakit! Tapi dia nggak pernah bilang ke siapa-siapa. Dengan sikap dinginnya dia kalau di rumah, gue kira dia baik-baik aja. Nyatanya enggak, El, engga!!!”

El diam, memperhatikan Melan dari samping. Ingin sekali gadis itu menenangkan Melan, namun rasa gengsi yang masih menyelimuti berhasil menghalangi El untuk melakukannya.

Melan meremas bajunya keras, sembari menatap langit dengan tatapan kesal. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya. “Gue ngerasa gagal jadi kakak, El.”

“Engga, lo gak gagal, yang penting lo udah berusaha semaksimal mungkin, kan?”

“Engga, El. Dari awal gue udah salah. Gue salah karena naro perhatian lebih ke Reina, tanpa mikirin keadaan Artha. Gue juga baru tau kemarin kalau selama ini Artha juga sering dibentak sama bokap. Walaupun gak main fisik, tapi bokap gue langsung nyerang mental Artha. Gue yakin selama ini Artha tertekan juga karena tuntutan dari bokap yang harus ini itu segala macem. Gue juga yakin Artha bingung harus berbagi keluh kesahnya sama siapa karena dia ngerasa kalau Reina sama gue udah terlanjur benci sama dia.”

“Gue bingung harus apa, El, gue bingungg.”

El menghela napas, tampak sedikit berpikir.

“Dan kemarin pun, kebetulan Reina mulai ngeluarin isi hatinya ke bokap, yang berujung malah dia makin dipukulin. Padahal Reina cuman jujur perkara dia sakit hati sama bokap, tapi yaa gitu, bokap gue kasar, jadi malah Reina yang kena imbas nya, gue juga sih, kena pukulannya sedikit. Tapi setelah malem semakin larut, gue mau mampir ke kamarnya Artha, niatnya buat ngobrol baik-baik sama dia. Tapi pas gue buka dikit pintu kamarnya yang gak dikunci, gue bisa liat Artha. Gue bisa liat Artha lagi mojok sendirian sambil nangis deres. Kamarnya gelap banget, banyak buku-buku yang berserakan. Dan ngeliat kondisi Artha yang kayak gitu, hati gue makin sakit, El. Gue makin marah sama diri sendiri, gue ngerasa gagal jadi kakak, tapi sekarang gue gak bisa apa-apa, gue aja gak tau apa yang harus gue lakuin buat perbaikin semuanya.”

Mendengar penjelasan Melan barusan, El sudah bisa menangkap hubungan cerita Melan dengan cerita Eyzar. Yang katanya Eyzar sedang ada masalah dengan Artha, karena Artha tidak mau menceritakan semua masalahnya. Begitupun cerita Melan tentang keluarganya, yang merupakan keluarga Artha juga, dan keadaannya benar-benar berantakan.

“Kak El? Kak El? Hei? Kok malah ngelamun, sih?”

El mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu nampak sedikit kebingungan, “Hah? Apa?” Ia baru sadar, rupanya sedari tadi ia tenggelam dalam lamunannya.

“Kak El kok malah ngelamun terus daritadi?” tanya Eyzar penasaran.

El mengulum bibirnya, “Gapapa, gue cuman lagi kepikiran sesuatu aja.”

“Hhmm gitu ya,” Eyzar menggigit bibir bawahnya, “Tapi ngomong-ngomong, Kak El kok tiba-tiba dateng ke sekolah sih? Ada urusan kah?”

El menggeleng cepat. “Engga. Gue ke sini karena gue mau ngajak lo jalan-jalan aja. Dan ya kebetulan tadi gue abis dari cafe deket sini, jadi ya sekalian gue mampir ke lo. Eh pas dateng malah ngeliat lo lagi berantem sama Melan.”

Eyzar malah memberikan cengiran nya sembari sedikit membenarkan beberapa helai rambut yang hampir menutupi matanya. “Hhmm, jadi kita mau jalan-jalan ke mana?”

“Ter—”

“Jangan jawab terserah!” sela Eyzar cepat.

Lantas El terkekeh pelan, “Yaudah, gimana enaknya aja. Intinya jalan-jalan aja, sekalian buat ngelepas penat, kan?”

“Hehehe, oke! Kalau gitu kita ke rumah Eyzar dulu ya? Eyzar pengen ganti baju, sekalian ganti motor jadi mobil.”

El mengangguk.

“Eh sebelumnya, Zar, mau nanya boleh?”

“Boleeh bangeet dong Kak El. Kenapa kenapa?”

“Lo masih belum baikan sama Artha?”

Eyzar menggeleng lemah, lelaki itu mulai mengerucutkan bibirnya. “Ketemu lagi aja belom, gimana mau baikan.”

El mengangguk-angguk. “Yaudah deh, gue cuman mau ngasih saran, jangan terlalu keras sama dia ya?”

Eyzar mengulum bibirnya, “Eyzar enggak keras kok sama Artha, Eyzar mah biasa ajaa, kemarin cuman sedikiit emosi aja.”

“Hm, yaudah, ntar juga akan ada waktunya Artha ceritain semuanya ke lo, Zar. Lo yang sabar aja, mungkin Artha masih mau nyembuhin lukanya dulu sendirian.”

Eyzar tampak sedikit kebingungan, namun ia tetap mengangguk-angguk seolah-olah paham apa yang diutarakan oleh El.


Eyzar dan Reina berjalan berdampingan menelusuri lorong sekolah yang cukup penuh dengan murid-murid yang hendak pulang juga. Tak sedikit pasang mata yang memperhatikan keduanya dengan tatapan heran. Pasalnya, Eyzar hampir tak pernah terlihat berkomunikasi dengan perempuan di sekolahnya. Dan ini nampaknya baru pertama kali Eyzar berjalan dengan perempuan yang berasal dari sekolahnya juga.

Sesekali keduanya berbincang ringan tanpa memperhatikan pandangan orang. Bahkan, mereka terlihat seperti teman yang sudah lama akrab. Mereka tertawa bersama saat ada obrolan yang konyol, dan Eyzar pun sudah sedikit berani untuk merangkul bahu Reina tanpa ragu.

Tanpa Eyzar sadari, Sadam dan Reza sedari tadi memperhatikan dirinya dan Reina. Namun, tidak ada keinginan bagi Sadam untuk menghampiri lelaki itu.

“Dam? Nggaakan nyamperin?” tanya Reza, bermaksud mengajak Sadam untuk menghampiri Eyzar.

Sadam berdecak, “Ck. Ga ah, biarin aja dia yang nyamperin kita duluan,” ujarnya, sbeleum akhirnya berjalan ke arah yang berlawanan dengan Eyzar.

Kembali kepada Eyzar dan Reina. Kini, keduanya sedang berbincang-bincang mengenai masa lalu Reina yang ternyata penuh dengan rasa sakit yang tak terbayangkan. Gadis itu rupanya selalu merasa tertekan karena tuntutan dari sang Papa. Reina yang terlahir tak terlalu pandai, selalu dituntut menjadi sempurna terlebih dalam bidang akademik. Selain itu, setiap dirinya memberontak dan mengeluarkan unek-uneknya pada sang Papa, ia akan mendapatkan amukan yang luar biasa dari pria paruh baya yang selalu ia harapkan kasih sayangnya.

“Sorry, Rein. Gue gak tau kalau selama ini lo punya masalah kayak gitu.”

Reina sedikit tertawa, “Santai kali, Zar. Gue gapapa kok, udah biasa, udah dari kecil banget lagian.”

Keduanya menghela napas bersamaan.

“Makannya, waktu pertama kali mampir ke rumah lo, gue seneng banget ngeliat di foto lo sama keluarga lo keliatan bahagiaa bangeet. Gue juga pengen kayak gitu, Zar.” Reina terkekeh pelan. “Gue pengen punya keluarga harmonis kayak lo. Ya walaupun rasanya gak mungkin banget bagi gue.”

“Gaada yang gak mungkin di dunia ini,” sahut Eyzar cepat, sebelum Reina melanjutkan kalimatnya lagi.

Reina tersenyum, “Engga bisa, Zar. Semuanya udah hancur, semuanya udah rusak, bakal sulit banget buat diperbaikin. Asal lo tau aja, bukan gue doang yang dapet perlakuan kayak gitu dari Papa gue. Bahkan, kakak gue sendiri pun selalu dikasarin sama Papa gue sendiri gara-gara dia selalu bertingkah nakal. Padahal dia nakal juga cuman karena dapet perhatian dari Papa.” Di akhir kalimatnya, Reina tertawa miris.

Tak terasa, mereka berdua pun kini telah sampai di parkiran.

“Dan satu hal yang mungkin lo bakal kaget ngedengernya.”

“Apa?”

“Hubungan gue sama kembaran gue sendiri pun sekarang udah lebih dari kata hancur. Gue udah dipenuhi rasa benci sedalam-dalamnya sama dia, dan dia pun kayaknya udah gak nganggep gue lagi sebagai kembaran, dan itu gara-gara gue yang gak pernah bisa lupa sama masa lalu,” sambung Reina, yang otomatis membuat mata Eyzar terbelalak.

“Lo punya kembaran? Kok gue baru ta—”

“Rein!”

Suara berat yang berasal dari belakang, berhasil membuat keduanya menoleh bersamaan.

“Kakak? Kok lo ke sini?” tanya Reina yang agak terkejut karena keberadaan kakaknya di sekolah ini secara tiba-tiba.

Melan terkekeh, “Gue mau jemput adek gue sendiri, yakali gaboleh.” Dan saat matanya beralih ke lelaki yang berada di sebelah Reina, Melan memiringkan senyumnya. “Lo? Ngapain lo jalan bareng adek gue?”

Eyzar diam. Ia masih mencerna situasi saat ini. Tunggu? Apakah yang dimaksud kakak oleh Reina adalah Melan? Jadi, Melan adalah kakak kandung Reina?

“Hei, kok malah bengong, Zar?” Reina berhasil membuyarkan pikiran Eyzar.

“Hah? Oh, engga, gapapa,” sahut Eyzar sembari membuang muka nya yang terlihat kebingungan. “Bentar, jadi Melan ini kakak lo?” tanya Eyzar bisik-bisik di telinga Reina. Dan gadis itupun mengangguk cepat yang membuat Eyzar menghela napas berat.

Melan terkekeh pelan, “Kenapa, Zar? Kok lo kaget gitu sih? Kaget ya karena ketauan sama cewek lain?” Senyuman sinis pun kini muncul di bibir Melan.

Eyzar mengerutkan keningnya, “Maksud lo?”

“Gimana ya kalau El tau lo jalan bareng cewek lain, bahkan cewek itu adalah adik gue sendiri?” Melan mengangkat salah satu alisnya.

Eyzar berdecak. Masih menahan emosi nya agar tidak lepas seperti hari yang lalu.

“Oh iya juga ya!” Melan menepuk dahinya sendiri, “Gue baru inget. Lagian kan lo sama El emang gaada hubungan spesial sama sekali. Jadi yaa gak masalah lo jalan sama cewek lain, iya kan?”

Eyzar masih diam.

Lantas, Melan menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Eyzar, “Berarti kalau gitu, El juga bebas dong jalan sama cowok lain? Hehehe, gue mau ngajak jalan dia aahh.”

Eyzar terkekeh sini, “Emangnya dia mau jalan bareng lo?”

Melan pura-pura sedih, “Hmmm iya sih, kemungkinan besar nya dia gaakan mau jalan bareng gue. Itusih sekarang, gatau kalau nanti.” Melan menaikturunkan alisnya, lantas dengan cepat menarik Reina. “Yuk ah, pulang.”

Eyzar masih diam di tempat dan memperhatikan Melan dan Reina yang perlahan berjalan menjauhinya. Tidak diragukan lagi, mereka memang adik kakak kandung. Dapat dilihat dari cara mereka mengobrol, dan saling menjahili seperti adik kakak pada umumnya.

Namun, ada satu hal yang tiba-tiba muncul dalam benak Eyzar. Lelaki itu teringat akan apa yang diucapkan El tadi siang. “Tadi Melan tiba-tiba nembak gue di kantin fisip depan banyak org.”

Lelaki itu berdecak. Lantas buru-buru menyusul Melan yang belum jauh dari dirinya.

“Lo—” Eyzar mencengkram kasar kerah baju Melan yang baru saja ia tarik dari belakang, “Jangan deketin Kak El,” bisik Eyzar kasar, sangat dekat dengan wajah Melan itu.

Masih terlihat santai, Melan justru terkekeh pelan, seakan-akan meremehkan lelaki yang ada di hadapannya. “Kenapa? Kenapa gue gak boleh deketin El? Apa hak lo ngelarang gue, hm?”

Eyzar berdecak dan semakin mengeratkan cengkeramannya. “Lo ngedeketin Kak El pasti ada niat buruk, kan? Gue gak mau lo macem-macem sama Kak El.”

Melan melepaskan cengkraman Eyzar dengan sekuat tenaga. Dan kini, keduanya malah saling melayangkan tatapan tajam satu sama lain. Reina yang berada di sana pun bahkan tak ada niatan untuk menengahi, justru dirinya hanya diam dan memperhatikan dengan seksama sembari memperlihatkan senyum simpul di bibirnya.

“Gak usah berpikiran aneh kali. Gue ngedeketin El ya karena gue suka sama dia lah.”

“Ck. Tapi gue gak suka cara lo ngedeketin dia.”

Melan tertawa sarkas. “Setiap orang punya caranya masing-masing kali. Lo gak perlu khawatir. Gue suka sama El, dan gue harap kita bisa bersaing sehat.” Melan menaikturunkan alisnya sembari tersenyum. “Gue yakin sih suatu hari nanti dia pasti mau sama gue, orang tadi aja gue udah jalan bareng dia.” Senyuman Melan, kini berubah menjadi senyuman meremehkan.

Eyzar mengerutkan keningnya, ia tidak percaya apa yang baru saja diucapkan Melan. Namun, ia masih menunggu Melan membuka ponselnya yang tak lama kemudian menampilkan—foto El sedang makan?

Melan tertawa miring, “See? Gue ngajak dia makan bareng tadi di cafe, dan gaada penolakan tuh dari dia.”

Eyzar kini sudah memanas. Rasa cemburunya tak tertahankan lagi. Pasalnya, sejak awal lelaki itu memang sangat tak suka pada Melan. Maka dari itu, saat mengetahui El bersama dengan Melan, Eyzar cukup kesal.

Bugh!

Satu pukulan sukses sampai di rahang Melan. Reina terkejut. Gadis itu niat hati ingin membantu Melan, namun Melan melarangnya. “Biarin, urusan gue sama Eyzar kok.”

Melan masih memegang rahangnya yang terasa sakit. “Padahal gue cuman minta kita bersaing sehat loh, kok lo malah marah?”

“Ck. Kak El punya gue.”

Melan diam sesaat. Lantas beberapa detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha! Apa kata lo? El punya lo? Hahahaa yaampun bentar gue ketawa dulu.” Eyzar masih diam, menampilkan tatapan tak suka nya. “Heh! Lo aja bukan pacarnya El, ngapain ngaku-ngaku El punya lo segala? Sok bangeet. Lagian emangnya El masih mau sama lo kalau dia tau lo deket sama Reina? Setau gue El cemburuan loh.” Melan tertawa sinis.

Eyzar memejamkan mata sesaat sembari menghela napas kasar. Lelaki itu sangat kesal sekarang. Kedua tangannya sudah mengepal dan siap melayangkan pukulan untuk kedua kalinya.

“Sialan lo!”

Namun, sebelum berhasil melayangkan pukulan keduanya, Eyzar merasakan tas nya ditarik dari belakang sehingga dirinya mundur beberapa langkah.

Duk!

El yang entah muncul darimana, memukul kepala Eyzar dengan botol minum yang ada di genggamannya. “Anj eh astaghfirullah sakit!” keluh Eyzar.

“Gue bilang kalau mau berantem jangan di depan umun, cil!” bisik El, sembari menggenggam kasar pergelangan tangan Eyzar dengan sangat keras.

“I-iya iya, aduh ini lepasin dulu atuh ih sakit.”

“Gak. Gue lepasin tangan lo yang ada lo malah mukul Melan lagi.”

“Sshh.” Eyzar merasakan kesakitan karena kini El malah mencubit lengannya. “Kak El muncul darimana sih? Aneh banget tiba-tiba ada di sekolah?” Eyzar menggembungkan pipinya, pura-pura kesal.

“Diem dulu,” ucap El.

Lantas, kini pandangan El beralih kepada dua insan yang berada di depan sana. Tidak lain dan tidak bukan adalah Melan dan adiknya, Reina.

“Hei, ketemu lagi kita.” Reina tersenyum, berniat menyapa El, namun sapaan itu sama sekali tidak El gubris.

“Lo ngomong apaan ke Eyzar sampe sampe dia kesel?” tanya El menginterogasi.

Melan mengarahkan matanya ke arah lain seakan-akan sedang berpikir. “Hmmm, gue gak ngomong aneh-aneh kok.

El mengangkat salah satu alisnya.

“Asli deh.” Melan mengangkat dua jarinya. “Gue cuman ngomong kalau gue suka sama lo, dan gue minta buat bersaing sehat aja. Gak salah, kan?” jujur Melan.

Mendengar pernyataan dari Melan, El segera menoleh ke arah Eyzar dan mendapati lelaki itu sedang menampilkan wajah tak berdosa nya. Gadis itu menghela napas, “Yaudah.”

“Ikut gue.” El meninggalkan mereka, dan otomatis langkahnya segera diikuti oleh Eyzar, “Iya Kak El tunggu!”

Seperginya mereka, Reina menatap Melan dengan tatapan heran, “Kak? Kok lo malah senyum sih ngeliat mereka barengan kek gitu?!”

Melan menoleh, “Gak, gue seneng aja ngeliat El. Kek adeem gitu bawaannya.” Melan menaikturunkan alisnya.

“Ish, bucin mulai.”

Lantas, Melan hanya memberikan cengiran andalannya.


Eyzar menjalankan motor besar nya itu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Bahkan berkali-kali lelaki itu menyalip kendaraan lain yang lajunya lebih lambat. Eyzar tak peduli. Lelaki itu hanya ingin mengeluarkan emosi nya malam ini. Dibalik helm full face yang terpasang di kepalanya, Eyzar menggigit bibir bawahnya dengan sangat erat, sembari menahan tangisannya kuat-kuat.

Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya Eyzar pun sampai di depan pagar rumah Elvaara. Lelaki itu bergegas turun dari motornya dan berlari kecil ke arah pintu.

Sedari tadi, lelaki itu masih berusaha menahan tangisannya.

Tok tok tok

Dari dalam sana, El yang sudah menunggu kedatangan Eyzar pun segera berjalan untuk membukakan pintu.

Selepas pintu terbuka, El dapat melihat tubuh lelaki tinggi dengan wajah yang begitu kusut. Gadis itu mengernyitkan keningnya, “Kenapa lo—”

Ucapan El tersendat. Ia sedikit terkejut dengan gerakan Eyzar yang sangat tiba-tiba. Eyzar kini mendekap tubuh El dengan sangat erat.

El masih terdiam, belum membalas pelukan Eyzar. Gadis itu tampak sedikit kebingungan dan masih mencerna situasi. Namun rupanya, sesaat kemudian, El merasakan bahu Eyzar bergetar tak karuan. Samar-samar, isak tangis pun terdengar dari laki-laki itu.

“Kak El, Eyzar capek....”

El hanya mengerjapkan matanya.

“Kak El, kenapa semua orang pergi ninggalin Eyzar? Kenapa semua orang yang Eyzar sayang selalu pergi dari Eyzar? Kenapa, Kak El, kenapaa?!” Tangisannya, kini semakin deras.

“Apa Eyzar nggak berhak bahagia sampai-sampai Eyzar selalu dapat masalah yang bahkan Eyzar sendiri pun bingung gimana ngatasinnya? Eyzar bukan laki-laki dewasa, Kak El, Eyzar masih belum dewasa! Eyzar masih butuh seseorang yang bisa dijadiin tempat sandaran. Tapi kenapa justru semua orang itu menghilang satu-persatu, Kak El, Eyzar capek!!!”

El menghela napas. Gadis itu masih belum mengerti kemana arah pembicaraan Eyzar saat ini. Namun satu hal yang El pahami. Saat ini, Eyzar sedang berada di titik lelahnya. El pikir, mungkin Eyzar sedang mengalami masalah yang bahkan dirinya tak sanggup menghadapinya sendirian.

Gadis itu perlahan mulai membalas pelukan Eyzar. Sedangkan lelaki itu, semakin erat mendekap tubuh El tanpa ragu.

“Zar...”

Lelaki itu masih menangis di bahu El.

“Eyzar...” El mengusap pelan punggung Eyzar dengan tulus. Namun, laki-laki itu tetap tak menggubrisnya.

El menghela napas pelan. Lantas, gadis itu bersusah payah memegang kedua bahu Eyzar agar lelaki itu berdiri tegap menghadapnya.

“Zar.”

Eyzar masih diam, ia sedikit menunduk sembari mengusap wajahnya yang basah karena air mata.

“Lo gak sendirian, Zar. Gue selalu ada buat lo, kapanpun itu, dan gue nggak akan pernah ninggalin lo. Jadi, jangan sedih ya?” El tersenyum tulus ke arah Eyzar.

Lelaki di hadapannya kini mulai mengangkat muka nya, “Eyzar cuman pengen bahagia sama orang orang terdekat Eyzar, Kak El... Eyzar gak mau kehilangan siapa-siapa lagi...”

Lagi-lagi, El hanya tersenyum. “Enggak. Lo gak bakal kehilangan siapapun lagi. Percaya sama gue.”

Seperti biasa, Eyzar malah menggembungkan pipinya, yang jatuhnya malah membuat El gemas kepadanya.

“Mau cerita? Gue dengerin kok,” tawar El, sebelum akhirnya Eyzar menceritakan semua masalah nya dengan Artha, sahabat sejatinya itu.


Malam semakin larut. Kini, El dan Eyzar masih merasa nyaman duduk di tempat duduk yang tersedia di samping trotoar.

Sembari menatap bintang, Eyzar menghela napas. Setelah menceritakan semua masalahnya pada gadis yang ada di sampingnya, Eyzar merasakan adanya sedikit ketenangan dalam hatinya.

Di sampingnya, El hanya memberikan senyum simpul sembari menatap Eyzar dengan lekat.

Sadar ditatap El dengan tatapan seperti itu, Eyzar merasa salah tingkah. “Kak El liatin nya biasa aja dong.” Ketara sekali bahwa Eyzar sedang salting, dengan gerak geriknya yang lagi-lagi membenarkan rambutnya yang sedikit menghalangi matanya.

El terkekeh pelan, “Salting sih itu mah.”

“Apaan engga ih.”

El tersenyum, dan ikut menatap ke arah bintang-bintang yang cukup banyak. “Percaya sama gue, Artha nggak akan ninggalin lo gitu aja.”

“Tapi kata dia, dia temenan sama Eyzar cuman karena ngerasa kasian sama Eyzar, bukan bener-bener temenan yang tulus.” Eyzar mengerucutkan bibirnya.

“Gausah percaya.”

“Kenapa Kak El yakin banget?”

“Lo bilang, Artha keliatannya lagi banyak masalah, kan?” Eyzar mengangguk, dan El melanjutkan kalimatnya, “Nah, gue yakin, dengan keadaan dia yang lagi banyak masalah, dia pasti lagi ngerasa kesulitan ngontrol emosinya. Tau kan kalau orang lagi emosi gimana?”

Eyzar hanya diam.

“Biasanya, orang yang gak bisa ngontrol emosinya, pasti asal bicara tanpa pikir panjang. Dan biasanya, ucapan yang keluar dari mulut dia, bukan ucapan yang berasal dari hatinya, tapi berasal dari amarah yang lagi menguasai dirinya sendiri.”

“Jadi, Artha gak bener bener kesel sama Eyzar?”

El tampak sedikit berpikir, “Kalau itu gue gak tau sih. Tapi gue yakin satu hal, sekalipun dia ada rasa kesel sama lo, dia gak akan pernah ninggalin lo. Dan dia itu, temenan sama lo karena tulus dari hatinya, terbukti dari dia yang selalu peduli sama lo, dan dia yang selalu ngutamain masalah lo dibandingkan masalahnya sendiri.”

Mendengar tuturan El barusan, Eyzar menghela napas dan menurunkan bahunya lemah, “Berarti, selama ini Eyzar selalu cerita ke Artha, malah bikin masalah dia nambah banyak ya?”

El menepuk dahinya pelan, “Hadeuh, bukan gitu maksud gue...”

“Terus apa dong?”

“Yaa maksudnya, Artha selalu berusaha jadi sahabat yang berguna buat lo, Zar.” El sedikit menoleh ke arah Eyzar. “Dan sekarang dia bersikap kayak gini ke lo, mungkin karena dia lagi bingung, dia cuman ngerasa kalau dia nunjukkin masalah-masalah yang dia punya, dia bakalan terlihat lemah di hadapan lo. Dia maksain dirinya buat keliatan kuat di depan lo, supaya kedepannya lo bisa bebas ceritain masalah lo ke dia tanpa ragu-ragu. Menurut gue gitu sih pemikiran Artha.”

Eyzar masih menatap langit yang penuh dengan bintang itu. Eyzar merasa, ucapan El ada benarnya juga.

“Kak El bener sih, tapi...”

“Tapi apa?”

“Kok Kak El bisa tau apa yang dirasain Artha sih? Kak El cenayang kah?”

El terkekeh pelan. “Gue kan cuman nebak, yaa itu menurut gue aja sih, gatau bener gatau salah. Lagian lo gak lupa, kan, kalau karakter gue sama Artha sebelas dua belas?” Eyzar hanya menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, “Yaa, makannya gue ngerti aja gimana perasan Artha kalau dia lagi dihadapin sama masalah yang luar biasa.”

Eyzar membulatkan mulutnya, “Oohh berarti giliran ke Artha mah tingkat kepekaannya tinggi ya???” Eyzar mengangkat salah satu alisnya.

“Maksud?”

“Yaa itu, giliran ke Eyzar aja, susaaahhh banget pekanya, ish nyebelin.” Laki-laki itu mengeluh pelan, pura-pura kesal.

Lantas, El tertawa.

“Kok malah ketawa?” tanya Eyzar bingung.

“Enggaa. Sebenernya gue selalu peka kok, apa yang lo rasain, tapi gue cuman kadang susah aja cara bersikap yang semestinya.”

“Oh gitu.”

Kini, keheningan pun menyelimuti keduanya.

Hingga beberapa menit kemudian, Eyzar meraih tangan El dengan ragu. Lelaki itu lantas menggenggam tangan El dengan erat. Sedangkan yang digenggam, hanya menoleh sesaat dan memberikan senyuman simpulnya.

“Kak El.”

“Hm?”

Eyzar menoleh ke arah El. Lelaki itu menatap manik mata indah yang dimiliki seorang Elvaara. Ia semakin mendekatkan wajahnya guna melihat mata El yang semakin berbinar di malam hari.

“Kak El?”

El hanya mengerjapkan matanya sesaat. Ia merasa sedikit canggung karena kini posisi keduanya begitu dekat.

“Katanya Kak El peka, kan?”

El mengangguk ragu.

“Kalau gitu, harusnya Kak El tau dong, apa yang mau Eyzar omongin malem ini.”

El sedikit berdecak. Lantas sedikit menjauhkan tubuhnya dari Eyzar. “Ck. Gue peka bukan berarti gue bisa nebak apa yang bakal orang omongin ih, aneh.”

Eyzar hanya terkekeh dibuatnya.

“Kak El.”

“Apa?” suara El kedengaran sedikit lebih ketus dari sebelumnya.

“Eyzar mau Kak El.”

El menoleh cepat ke arah Eyzar, ia sedikit tak paham dengan apa yang diucapkan lelaki itu.

“Eyzar mau Kak El selalu ada buat Eyzar. Itu permintaan Eyzar buat Kak El malem ini, sampe seterusnya.”

El menghela napas, “Iya, gue bakal selalu ada buat lo.”

Eyzar tersenyum, “Satu lagi.”

“Apalagi dah?'

“Eyzar suka sama Kak El,” ucap Eyzar lugas.

Satu detik,

Dua detik,

Tiga detik,

Masih belum ada tanggapan dari El.

Dan di detik ke sepuluh, akhirnya El bersuara, “Udah tau.”

Eyzar menoleh cepat ke arah El, lantas mengerjapkan matanya berkali-kali, “Kok malah gitu sih tanggapannya???”

“Yaa, emang harusnya gimana?”

“Yaa gimana kek, kaget gitu misalkan, atau ya salting gitu, kok gitu doang sih reaksi Kak El?” Eyzar tak terima.

“Ngapain kaget, orang udah jelas keliatan lo suka sama gue dari dulu,” sahut El percaya diri.

Eyzar sedikit salah tingkah. Laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Keliatan banget emang?”

El terkekeh, sembari mengangguk yakin.

“Mmmmm, yaudah lah ya gapapa. Lagian Kak El juga suka sama Eyzar, kan???” tanya Eyzar menggoda gadis yang berada di sampingnya.

“Dih? Pede bangeet.”

Eyzar mengangkat salah satu alisnya, “Alaah, jujur aja deh Kak El juga suka sama Eyzar, kan? Fiks lah kita saling suka. Pacaran aja gimana?” Cengiran lucu kini muncul di bibir manis Eyzar.

“Asli ya, lo pede banget. Kata siapa gue suka sama lo???”

“Kata Eyzar barusan,” sahut Eyzar yakin.

El beranjak dari duduknya dengan sedikit kasar. Tak ada yang tau, kalau kini ia sedang mati-matian menahan rasa saltingnya. “Gue gak suka sama lo kok. Geer.” El berjalan meninggalkan Eyzar.

“Ihhh, Kak El kok malah pergi???” Eyzar berusaha menyamakan langkahnya dengan El.

“Sana ih, jangan deket-deket.” El sedikit mendorong Eyzar menjauh.

“Ih?! Kok dorong-dorong? Kak El belum jawab ih, Kak El suka sama Eyzar juga gak?”

“Dibilangin enggak ya enggak!” El semakin mempercepat langkahnya.

“Hhmm? Yakin??? Trus kenapa kok malah pergi sih? Sini dong jawabnya sambil liat mata Eyzar, mana Eyzar pengen liat kalau El bohong apa engga.”

“Berisik.” El masih melangkah dengan cepat, sementara Eyzar yang cukup tertinggal jauh hanya tertawa. Lelaki itu masih bersikukuh untuk mendapatkan jawaban El.

“Kak El ih?”

“Diem sana ah.”

“Kak El kesannya kayak yang salting tau! Kak El beneran suka sama Eyzar ya?”

“Engga, yaampun.”

“Terus kenapa malah ngejauh dari Eyzar?”

“Gue kebelet pipis, mau pulang,” alibi El.

“Hahaha! Fiks Kak El suka sama Eyzar!!! Semuanyaa! Kak El suka sama Eyzar!!!” teriak Eyzar entah ke siapa. Malam itu sangat sepi di jalanan, makannya Eyzar berani berteriak seperti tadi.

“Hoaks ih! Lo ngapain teriak teriak sih?! Gimana kalau ada yang denger?” El tidak terima.

“Kak El suka sama Eyzar!!! Hahahahaa!” Bukannya berhenti, teriakan lelaki itu malah semakin menjadi-jadi.

“Eyzar ih, diem!”

“Kak El beneran suka sama—”

“Gue bilang diem ya lo yaampun!”

El berhasil membekap mulut Eyzar. Namun lelaki itu berusaha melepaskan tangan El dari mulutnya. “Kak El suk—”

“Diem!!! Gausah teriak-teriak!” Lagi, El membekap mulut Eyzar dengan paksa.

Namun, sadar dengan perbuatannya itu justru malah menyisihkan jarak yang semakin dekat di antara keduanya, El hanya bisa menjauh karena tak sanggup lagi berbuat apa-apa.

“Tuhkan salting ditatap Eyzar? Hahahaa, Kak El, lucu banget!” Eyzar bersuara dengan sangat kencang.

Memilih tidak menggubris perkataan Eyzar, El berusaha berjalan secepat mungkin agar segera sampai di rumah.

Sementara itu, di belakangnya, Eyzar menyusul El sembari memegang perutnya yang sedikit sakit karena ia kelelahan tertawa.

Eyzar sudah kembali bahagia. Kini, lelaki itu telah menemukan bahagianya.


Setelah membaca pesan terakhir dari Artha, Eyzar sama sekali tidak berniat untuk membalasnya lagi. Lelaki itu sudah sampai di titik puncak kecewanya. Amarah yang sedari tadi ia tahan kini telah meledak. Dirinya tak kuasa lagi menahan air mata yang sedari tadi berusaha keluar dari matanya.

“ARRGHHHH!!!!”

Eyzar berteriak sekencang-kencangnya. Tak peduli apabila teriakannya terdengar oleh tetangga. Bahkan kini lelaki itu mengacak rambutnya frustasi. Eyzar merasa sangat sakit hati dengan ucapan Artha sedari tadi.

“Gue gak nyangka, Ar!!! Gue gak nyangka temenan sama orang seba*gsat lo, sialan!!!!”

Hati nya tercabik-cabik. Terlebih saat membaca pesan Artha yang sepertinya memberitahu bahwa Artha tidak tulus berteman dengan dirinya. Tapi apa tadi? Rupanya Artha hanya merasa kasihan pada Eyzar.

Brakk!!!!

Eyzar menjatuhkan kasar empat figura kaca yang berisi foto dirinya dan Artha.

“Gue kecewa banget, Ar! Ternyata selama ini gue emang gak pernah dianggap sama lo, sialan!!!” Lagi-lagi, Eyzar menjambak rambutnya sendiri dengan kasar. Lelaki itu bahkan tak peduli jika pecahan figura kaca yang berada di lantai telah melukai pergelangan kakinya walau sedikit.


Sementara di tempat lain, di kamar yang cukup besar berwarna putih polos itu, Artha menangis tanpa suara. Lelaki itu berjongkok sembari meninju-ninju tembok yang ada di hadapannya. Tangannya telah terluka. Sedari tadi lelaki itu telah menyakiti dirinya sendiri.

“Kenapa gue harus marah? Kenapa?!?!?!” suara Artha tertahan.

“Kenapa gue harus jadi orang yang emosian di saat situasi lagi kayak gini, kenapa?!?!?!” Kini, Artha mulai meremas kepalanya dengan sangat keras.

“Kenapa gue malah marah sama Eyzar, padahal jelas jelas emang gue yang salah!!! Kenapa, Artha, gob*** banget lo, anjr!!! AAARRGGHHH!!!!”

Lalu perlahan lelaki itu berdiri, berjalan menuju nakas dan meraih ponselnya yang masih menyala, menunjukkan roomchat dirinya bersama Eyzar beberapa saat yang lalu.

“Gue gilaaaaaa!!!!!!”

Tanpa ragu, lelaki itu melempar asal ponsel nya ke arah kasur. Untungnya, tidak menimbulkan kerusakan apapun.

Artha berusaha menenangkan dirinya. Lantas ia menghembuskan nafas berkali kali, guna meredamkan emosinya.

“Gapapa, Ar. Besok lo masih bisa perbaiki semuanya. Besok lo masih bisa minta maaf dan jelasin semuanya sama Eyzar. Oke, sekarang tenangin dulu diri lo, jangan sampai dikuasain sama emosi lagi.” Artha bermonolog pada dirinya sendiri.

Sudah merasa cukup baikan, lelaki itu memutuskan untuk keluar kamar dan mengambil air putih untuk minum dan meredakan sakit tenggorokannya. Namun, baru saja hendak membuka kenop pintu, Artha mendengar suara jeritan seorang gadis di luar sana. Suara jeritan dan tangisan seorang gadis, suara pukulan yang berasal dari pria paruh baya, serta suara berat lelaki muda yang kedengarannya sedang berusaha memisahkan keduanya.

Lagi-lagi, tubuh Artha melemas. Badan lelaki itu merosot dan memejamkan mata dengan pasrah. Kini, kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi telinga nya agar tak mendengar kebisingan di luar. Lelaki itu menangis, dadanya terasa sesak untuk kesekian kalinya. “Gue mau cerita semuanya ke lo, Zar. Tapi gue bingung, gue bingung harus mulai dari mana. Gue udah terlalu banyak nyembunyiin rahasia dari lo, Zar. Dan juga gue udah kalah sama rasa gengsi gue ke lo. Gue selalu maksain diri buat keliatan kuat di depan lo, tapi nyatanya gue gak bisa...”

Kini, Artha hanya bisa diam. Mendengarkan kebisingan di luar. Ini bukan kali pertamanya Artha mengalami hal seperti ini. Namun, Artha masih saja belum terbiasa.

Bugh!!!

“Pa!! Papa udah kelewatan!

“Saya gak peduli! Biar dia tahu rasa akibat tidak mau mendengarkan ucapan saya!”

“Tapi dia masih anak Papa, Pa!”

“Diam!! Kamu dan dia itu hanya beban! Gak tahu rasa terima kasih dan selalu membantah perintah saya.”

Pria paruh baya itu melayangkan pukulannya lagi, ke arah gadis di hadapannya. Gadis itu meringis kesakitan, “Pa... Maaf...”

“Diam kamu!”

Bugh!!!

Seorang lelaki muda telah melayangkan tinju kepada orang yang disebut Papa-nya itu. “Papa kurang ajar!!!”

“Udah, Kak! Udah!!”

Menghela napas, Artha masih diam di posisi tadi. Lelaki itu sama sekali tak ada keberanian untuk melerai kejadian di luar sana. Keberanian Artha menciut apabila dihadapkan dengan sang Papa. Bahkan kini, lagi-lagi Artha hanya bisa diam di saat Papa-nya melakukan kekerasan pada kakak kandung laki-lakinya, dan kembarannya.


Author Note : Psssttt, Eyzar aja belum tau loh kalau ternyata Artha punya kakak sama kembaran 😞 Eyzar pikir Artha anak tunggal di keluarganya. Emang bener bener Artha, ishh :(


Seharian ini Eyzar benar-benar tidak fokus berada di dalam kelas. Lelaki itu bahkan sama sekali tidak memperhatikan guru yang mengajar di depan. Eyzar hanya masih memikirkan tentang Artha. Memang, Artha hari ini tidak masuk. Bangkunya kosong. Tapi, wali kelas dan teman-temannya tidak ada yang tahu tentang alasan Artha tidak masuk sekolah. Mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, karena bolos sekolah saat duduk di kelas 12 adalah hal yang sudah terkesan biasa. Namun, tidak bagi Eyzar.

Eyzar merasa kesal bukan karena Artha tidak masuk tanpa kabar. Bukan, bukan karena hal itu saja, melainkan ada banyak hal yang mengganggu pikiran Eyzar tentang Artha. Eyzar baru sadar kalau beberapa hari terakhir Artha sedang tidak baik-baik saja. Artha menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Dan hal itulah yang jelas membuat Eyzar marah tak karuan. Namun sialnya, Eyzar bukan marah pada Artha. Tidak, Eyzar hanya sedikit kecewa pada sahabatnya. Dan untuk amarah yang ia salurkan saat ini, tentunya untuk dirinya sendiri. Eyzar marah pada dirinya sendiri. Eyzar merasa gagal menjadi sahabat untuk Artha.

Bel pulang berbunyi dengan keras dan berhasil membuyarkan lamunan Eyzar sedari tadi. Pikirannya yang kacau membuat dirinya tak bisa menerima pelajaran yang disampaikan oleh para guru. Maka dari itu, sedari tadi lelaki itu hanya melamun.

Eyzar menghela napas berat. Disaat beberapa murid lain sudah mulai membereskan alat tulisnya agar bisa segera pulang, Eyzar masih menatap bangku kosong milik Artha di depan sana. Eyzar masih overthinking perkara hal yang terjadi pada Artha. Begitulah, Eyzar memang selalu overthinking dalam hal apapun.

Selain itu, ada hal yang membuatnya semakin bingung dan tidak mengerti. Reina, yang jelas-jelas masuk sekolah hari ini, mendadak menghilang saat jam pelajaran terakhir. Gadis itu izin ke toilet dan masih tidak kembali hingga saat ini. Dan sialnya, Eyzar malah berpikir aneh-aneh. Ia malah berpikir, pasti ada hubungan di antara tidak masuknya Artha dengan menghilangnya Reina hari ini. Eyzar yakin itu. Pasalnya, selama ini Eyzar memang merasa kalau Reina menyembunyikan sesuatu tentang Artha dari dirinya. Terlihat dari caranya yang selalu memperhatikan gerak-gerik Artha diam-diam. Dan bahkan Eyzar tahu kalau Reina selalu berusaha memulai pembicaraan dengan Artha di kelas, walau akhirnya Artha menjauh dan menghindar dari Reina.

Hingga akhirnya, Eyzar memutuskan untuk beranjak berdiri dan meraih tas sekolahnya. Laki-laki itu melangkah pelan. “Gue tunggu di taman belakang,” ucapnya berat saat melewati Sadam dan Reza yang masih diam di bangku masing-masing.

“Zar.” Sadam menarik tas Eyzar dengan sekuat tenaga. “Ada masalah, bukan diselesain dengan cara kayak gini, kan? Jelasin dulu masalahnya. Ada masalah apa di antara lo sama Artha?” Sadam bertanya dengan lugas, sedangkan Reza hanya ikut menyimak sembari mengulum bibirnya. Merasakan suasana kini mulai serius.

Bukannya menjawab, Eyzar malah membuang muka dari Sadam.

“Zar, lo overthinking cuman gara-gara Artha gak masuk hari ini?! Please, otak lo tuh dipake, Zar! Positif thinking aja mungkin emang Artha lagi ada urusan dan sibuk sampe gak bisa ngabarin semua orang.” Nada Sadam berbicara mulai meninggi.

Eyzar berdecak.

Sedangkan Sadam hendak melanjutkan kalimatnya. “Lo juga pernah, kan? Dulu juga lo sempet gak masuk tanpa kabar dan itu bikin gue, Reza, sama Artha khawatir sama lo. Tapi apa? Nyatanya lo gak masuk cuman karena sibuk ngurusin kantor dan saking sibuknya sampe gak bisa ngabarin siapa-siapa. Sekarang juga bisa jadi Artha kayak gitu, Zar.”

“Beda, Dam.” Eyzar mulai menatap Sadam dan Reza bersamaan. “Artha beda. Gue tau itu. Artha bukan lagi sibuk atau apa. Dia lagi ada masalah.”

“Tapi bi—”

“Lo sama Reza cuman nggak sadar. Enggak, bukan kalian doang yang nggak sadar, sama gue juga nggak sadar. Gue baru sadar kemarin. Kemarin gue sadar dan nginget nginget kalau beberapa minggu terakhir Artha jarang join kita, kan? Artha sering ngilang kalau kita lagi nongkrong. Artha sering gak join percakapan kita di chat. Kalian tau kenapa?” Pertanyaan Eyzar barusan sontak membuat Sadam dan Reza mengerutkan keningnya.

“Karena dia berusaha ngejauh dari kita. Dia berusaha biar kita nggak tau kalau dia lagi ada masalah. Beberapa hari terakhir dia pasti lagi ngalamin masa-masa sulit. Tapi bukannya cerita ke kita, dia malah mendem masalahnya sendirian.”

Sadam menghela napas, “Bisa jadi ini cuman prasangka lo doang, Zar...” Kali ini, suaranya lirih.

Eyzar mengacak rambutnya frustasi. “Kalau kalian gak mau join yaudah. Gue nyebat sendirian aja!” ucap Eyzar tegas sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Sadam dan Reza.

“Zar—ah elah.” Sadam mengeluh karena tak berhasil menghentikan Eyzar. Lelaki itu lantas beralih menatap Reza, kesal. “Lo kenapa daritadi gak ikut ngomong sih? Kok malah diem doang?” Tatapan Sadam nampak sinis.

Reza meneguk salivanya dengan susah payah. Laki-laki itu mengerjapkan matanya berkali-kali. “S-soalnya lo sama Eyzar kalau lagi ngomong serius bahasannya suka berat. Gue gak bisa berkata-kata.”

“Ck.” Sadam beranjak berdiri dari duduknya.

“Lo mau susulin Eyzar, Dam?”

Sadam menoleh cepat. Lantas berdecak pelan, “Males. Gue mau pulang aja.”

“Loh kok gitu, Dam?”

“Gak tau ah. Males gue.” Sadam melangkah dengan cepat, meninggalkan Reza yang masih duduk di tempat dengan ekspresi kebingungan.

“Ini mereka kenapa sih pada sensian amat kayak cewek yang lagi pms, heran,” gumam Reza, sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Ah udah lah gue juga pulang aja.”


Eyzar berjalan menyusuri lorong sendirian. Sekolah kini sudah sepi, mungkin hanya tersisa satu atau dua orang yang terlihat masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Eyzar berjalan lemah dengan airpods yang tersumpal di telinganya. Tidak, Eyzar tidak sedang mendengarkan musik atau mendengarkan apapun. Ia hanya ingin menyumpal telinganya saja.

Hingga akhirnya laki-laki itu sudah tiba di taman belakang sekolah yang sudah sangat sepi. Eyzar memperhatikan sekitar dan memastikan bahwa tidak ada siapapun di sana selain dirinya. Dan rupanya tempat itu benar-benar sepi, tak ada sesiapa di sana, pikirnya.

Eyzar berdecak, masih kesal apabila teringat dengan Artha. Lantas laki-laki itu mulai mengeluarkan sebatang rokok yang ia simpan di sakunya sejak beberapa saat yang lalu. Ia hampir menyalakan rokok miliknya dengan alat pemantik yang sudah ia siapkan. Namun, suara teriakan seorang gadis berhasil mengalihkan perhatiannya. Dan otomatis, Eyzar buru-buru menghampiri sumber suara.

Eyzar membelalakkan matanya, tepat saat dirinya melihat dua orang saling bertengkar di sana.

“Anj*r lo! Udah gue bilang jangan pernah lo ganggu kehidupan gue lagi!!!” teriak sang lelaki sembari mendorong perempuan dengan keras.

“SIALAN LO, ARTHA!!!” Si perempuan itu, membalas dorongan laki-laki di hadapannya dengan sekuat tenaga. Namun apalah daya, tenaga Artha lebih besar darinya.

“Reina. Asal lo tau ya, gak semua hal yang lo inginkan itu harus lo dapetin. Ada masanya di saat lo harus nerima semuanya. LO EGOIS TAU GAK, REIN, LO EGOIS!” Artha mendorong-dorong tubuh Reina dengan telunjuknya.

Eyzar sungguh terkejut saat melihat peristiwa itu. Rasanya ia ingin segera menghampiri mereka berdua. Namun, badannya seakan-akan melarangnya untuk mendatangi Artha. Dan kini, Eyzar masih memperhatikan kejadian itu sembari bersembunyi di balik pohon yang cukup besar.

Plak!

Reina menampar Artha keras. “Lo bilang gue egois?!” Gadis itu menarik salah satu sudut bibirnya, sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. “Bahkan dunia pun tau, kalau lo yang egois. Lo yang mau menang sendiri. Dari dulu, lo selalu bikin gue menderita, Ar. Gara-gara lo gue menderita!!!”

Artha menggertakan giginya. Ia masih menahan emosinya. Tangannya mengepal dengan kuat. Jelas-jelas, sedari tadi Artha ingin sekali menghantam gadis yang ada di depannya.

“Gara-gara lo, Ar. Gara-gara lo, Mama gue meninggal. Gara-gara lo, sekarang gue sama Kak Melan harus hidup sendirian tanpa sosok ibu. Gara-gara lo, gue sama Kak Melan menderita, Ar, semuanya gara-gara lo!!!”

“Gue benci lo! Gue benci keluarga lo! Gue benci semua orang yang ada di sekitar lo!!!” Kini, suara Reina semakin kencang. Dadanya begitu sesak, matanya memerah menatap Artha di sana. Bahkan, ada sebutir air yang terjatuh dari mata Reina.

“Udah gue bilang, gue gak tau apa apa!” Artha mendorong Reina keras. Reina yang sudah melemah sejak tadi berhasil terjatuh karena tak kuasa menahan bobot badannya lagi. Gadis itu merintih.

Reina tersenyum miris, gadis itu mulai menitikkan air mata. “Gue... Gue capek, Ar, gue capek!!! Gue cuma pengen ngeliat lo ngerasain apa yang gue rasain. Gue cuman pengen lo kehilangan orang yang paling lo sayang. Makannya gue ngincer—”

“Apa? Lo mau apa?! Lo mau ngincer apa, hah?! Mau bikin orang yang gue sayang menderita lagi, iya?!” Artha menarik paksa tubuh Reina hingga gadis itu berdiri. Artha mencengkram kedua bahu Reina dengan erat. Artha marah, sungguh. Sedangkan gadis di hadapannya, malah menangis semakin deras.

“Gue benci lo... Gue benci... Gue benci...”

“Ck. Asal lo tau. Gue. Lebih. Benci. Sama lo. Camkan itu.” Artha melayangkan tatapan tajam pada gadis di hadapannya. Lantas, Artha membalikkan badannya dan hendak pergi meninggalkan Reina.

“Liat aja nanti!”

Ucapan Reina, sontak membuat Artha berhenti dan kembali menoleh dengan menatap sinis ke arah Reina.

“Liat aja nanti. Gue, gue bakal bikin orang itu hancur. Gue bakal bikin lo kehilangan dia. Dan gue bakal bikin orang itu—”

“GUE BILANG JANGAN PERNAH MACEM-MACEM SAMA ORANG YANG ADA DI SEKITAR GUE, ANJ*R!!!”

Artha mencengkram kerah baju Reina dengan keras. Sedangkan, Reina malah memberikan senyuman sinisnya. “Kenapa? Lo gak mau kehilangan dia? Iya? Tapi dulu kenapa lo mudah banget ngehancurin hidup gue dengan bikin hancur orang tua gue sendiri, Ar? Kenapa?!”

“Lo—” Artha mengacak rambutnya frustasi. “Lo nggak ngerti apa apa anj. Lo gak tau apa-apa! Jangan asal ngejudge kalau semua ini salah gue!!!” Artha berteriak.

Artha menggertakan giginya kesal, melihat Reina yang malah menatap nyalang pada dirinya. Emosinya kini memuncak. Tangannya mengepal dengan kuat. Dan lelaki itu, mulai melayangkan tangannya untuk menampar Reina. Namun, tidak jadi.

Reina diam. Gadis itu terkekeh. “Kenapa gak jadi nampar? Kenapa gak sekalian pukul gue aja, Ar?! Pukul gue, Ar! Pukul gue kayak yang waktu itu lo pernah lakuin ke gue!”

“Ck, sialaaan!!!” Artha hendak melayangkan tinjunya ke arah Reina.

Namun,

Bugh!

Artha tersungkur.

Artha tersungkur. Karena barusan, adalah bunyi keras tinjuan dari Eyzar untuk Artha. Iya benar, Eyzar menghantam rahang Artha hingga ia tersungkur di tanah.

Artha terkejut. Benar-benar terkejut saat melihat kemunculan Eyzar saat ini. “Lo—?”

“Kenapa?” tanya Eyzar lemah. “Kenapa lo mau ngelakuin hal kayak tadi ke perempuan? Kenapa? Dia cewek, Ar, lo nggak boleh nyakitin cewek apalagi sampai mau mukulin dia kayak tadi. Gak boleh, Ar...” Eyzar berkata lemah sembari menatap kecewa.

Artha berdiri sembari memegang rahangnya yang masih terasa sakit. “Dari kapan lo di sini?”

Eyzar terkekeh pelan. Lelaki itu tidak habis pikir. “Itu gak penting.”

“Dari kapan lo di sini?!” tanya Artha lagi dengan nada yang meninggi.

“Ck. Gue banyak kecewa sama lo.” Lantas Eyzar membalikkan badannya dan meraih tangan Reina dengan erat. Eyzar membawa pergi Reina dari sana. Meninggalkan Artha yang masih diam di tempat dengan semua keterkejutannya.

Napas Artha tidak karuan. Lelaki itu semakin emosi. Tangannya mengepal dengan sangat erat. “AARRGGHH!!!” Lelaki itu, mengacak rambutnya frustasi. “Lo salah paham Eyzar!!!”

Namun tentunya, kalimatnya barusan tak sampai di pendengaran Eyzar karena Eyzar sudah menghilang dari jangkauan pandangan Artha.


“Kok malah ke rumah lo?” El menautkan kedua alisnya saat ia baru menyadari bahwa mobil yang ia tumpangi berhenti tepat di halaman rumah Eyzar. El sedari tadi tidak sadar dan tidak memperhatikan jalan karena fokus memainkan ponselnya.

Eyzar tersenyum dan menatap El dengan lekat, “Gapapa, biar kalau Kak El sakit perutnya tengah malem ntar ada yang jagain. Daripada di rumah sendirian? Ntar kalau ada apa-apa kan susah.”

“Tapi gue mau—”

“Yuk, turun.” Lagi-lagi, Eyzar memotong ucapan El dan mau tidak mau gadis berambut panjang itu mengiyakan ajakan dari Eyzar. “Kuat jalan kan? Apa mau digendong?” Eyzar memberikan cengiran nya, sengaja ingin menggoda El untuk kali ini saja.

“Ck. Gue cuman sakit perut mens, bukan lumpuh.”

Sontak Eyzar tertawa saat melihat El misuh-misuh dan melangkah terlebih dahulu ke dalam rumah Eyzar. “Tadi kayak yang gak mau ke rumah Eyzar, eh taunya sekarang malah masuk duluan,” kekeh Eyzar pelan.

Setelah mengunci pintu utama, Eyzar langsung mencari keberadaan El dan ternyata gadis yang ia cari sudah mendudukkan diri di atas sofa ruang tengah sembari sibuk memainkan ponselnya, lagi.

“Daritadi main hp terus, katanya perutnya sakit, istirahat aja gih.” Eyzar mengambil posisi duduk tepat di sebelah El sembari menyalakan televisi.

“Zar, minjem laptop dong,” ucap El tiba-tiba, dengan tatapan yang masih fokus pada ponselnya.

“Buat apa?”

“Gue mau ngerjain tugas, kata Karin deadline-nya besok dan gue males kalau ngerjainnya mepet besok, ntar pusing.”

Eyzar malah menggembungkan pipinya, tidak suka. “Kak El ini lagi sakit kok malah mau ngerjain tugas?!”

“Ya mau gimana lagi, daripada mepet besok.”

“Gak, gak boleh!” Eyzar menggelengkan kepalanya cepat. “Kak El gak boleh ngerjain tugas sekarang pokoknya.”

“Dih? Orang mau ngerjain kok dilarang? Udah ah gue ambil laptopnya di kamar lo ya.” Lantas El segera beranjak dari duduknya dan melangkah ke kamar Eyzar untuk mengambil laptop milik lelaki itu.

“Kak El yaampun ih.”

“Apaan?”

“Jangan sekarang, please...” Eyzar memajukan bibirnya dan hal itu tentu saja membuat El mati-matian menahan rasa gemasnya.

El terkekeh, “Udah, gapapa. Udah nggak terlalu sakit kok. Tugas doang mah bisa.”

“Beneran enggak sakit?” tanya Eyzar memastikan. Sedangkan yang perempuan hanya mengangguk sembari memberikan senyumannya, “Iya.”

“Yaudah kalau gitu biar Eyzar temenin Kak El nugas ya?” Eyzar memberikan cengiran nya.

“Hm.”


Sudah dua setengah jam El menghabiskan waktunya di depan laptop, berkutat dengan tugas yang diberikan dosennya beberapa hari yang lalu. Seharian ini, El sama sekali tidak ingat kalau dirinya masih memiliki tugas yang harus dikerjakan. Namun, pesan dari Karin tadi sore yang menanyakan tentang tugas terkait, otomatis mengingatkan El bahwa dirinya pun sama sekali belum mengerjakannya. Dan di sinilah ia sekarang, baru menyelesaikan tugas miliknya.

Saat menoleh ke samping, El baru sadar bahwa sedari tadi Eyzar nampaknya sudah masuk ke alam mimpi. Tepat di sebelahnya, dengan kepala yang tersandar di pundaknya. Anehnya, sedari tadi ia tidak merasakan pegal sedikitpun, padahal Eyzar jelas-jelas tidur di atas bahunya.

El terkekeh pelan, dan dengan lembut gadis itu meraih tangan Eyzar, “Zar?”

Masih tidak ada jawaban. Mata Eyzar masih tertutup rapat dengan rambut yang menghalangi matanya.

“Zar?” El memanggil Eyzar sekali lagi.

“Hmm...?” Eyzar membuka matanya pelan, dan melihat ke arah laptop yang sudah dalam keadaan ditutup. Lelaki itu sedikit menggeliat, “Udah beres?” tanyanya dengan suara berat khas orang baru bangun tidur.

“Udah. Tuh, udah jam 9 malem.”

“Oh? Iya?” Eyzar langsung membenarkan posisi duduknya. Lelaki itu tampak masih sedikit linglung. Dapat terlihat karena dirinya masih mengerjapkan matanya berkali-kali sembari memperhatikan jam dinding.

El beranjak dari duduknya, dan membuat Eyzar semakin bingung atas tindakannya, “Mau ke mana?” Suara Eyzar masih berat.

“Gue laper. Lo laper juga gak?”

Eyzar mengucek matanya yang masih terasa berat. “Iya, laper.” Tapi, setelah mengucapkan kalimat tersebut, Eyzar malah kembali merebahkan badannya di atas sofa dan kembali memejamkan matanya pula.

El menahan tawanya saat melihat Eyzar yang terlihat lapar tapi merasa mengantuk dalam waktu bersamaan. El meraih surai hitam milik Eyzar dan mengacaknya pelan seraya berkata, “Gue masak mie dulu ya, ntar kalau udah jadi mie nya gue bangunin lo,” ucapnya. “Lo ngantuk gini pasti gara-gara kecapean.” Sambung El sebelum akhirnya ia berjalan ke arah dapur.

Seperginya El, rupanya Eyzar sedikit membuka matanya perlahan. Bahkan, anak laki-laki itu menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum. Merasa salah tingkah saat El mengacak rambutnya pelan. “Kak El kayak yang tsundere.” Lagi-lagi, Eyzar tersenyum senang dan kembali memejamkan matanya.


“Udah, yuk.”

Suara lembut itu berhasil membuat Eyzar mengalihkan perhatiannya dari ponsel, dan beralih menatap gadis di hadapannya dengan lekat.

“Kok cepet?”

“Ya cepet lah orang cuman ngiketin jaket doang,” jawab El singkat. Lantas tanpa basa-basi, El langsung melangkah maju meninggalkan Eyzar di tempat.

“Hadeuhh, Kak El nih kebiasaan kalau jalan ninggalin Eyzar mulu,” keluh Eyzar pelan. Namun, akhirnya ia bergegas mengikuti El dan berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah El yang cukup cepat.

Di perjalanan, Eyzar memperhatikan El yang berjalan sembari sedikit meremas bagian perutnya. “Hari pertama? Sakit ya?”

“Hm.”

“Mau dipakein kayu putih dulu gak? Kita beli di Alfamart depan itu?”

“Nggak usah,” jawab El cepat.

Eyzar menghela napas saat mendengar jawaban El barusan. Lelaki itu hanya menggeleng pelan saat melihat El yang tentu saja seperti memaksakan diri untuk berjalan. Namun karena tidak ingin membuat El marah ataupun kesal, Eyzar hanya menurut dan mengikuti langkah El yang semakin cepat.

Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, El dan Eyzar akhirnya sampai di parkiran. Dan saat menemukan mobil Eyzar yang terselip di antara banyaknya jajaran mobil yang terparkir, Eyzar segera membukakan pintu depan mobil untuk El dengan hati-hati.

El hampir masuk. Dan tentu saja, saat melihat ke arah belakang, ia begitu terkejut. Mendapati Reina yang berada di jok belakang, El menatap Eyzar kesal. “Kenapa ada dia?” tanyanya dengan suara normal yang otomatis dapat terdengar oleh Reina.

Reina hanya tersenyun sinis, “Emang Eyzar yang ngajak gue pulang bareng kok. Napa emang? Gak boleh?”

“Ck.” El mengurungkan niatnya untuk memasuki mobil Eyzar. Gadis itu malah keluar dan membuat Eyzar kebingungan. “Kalau udah jemput cewek lain yaudah gak usah jemput gue aja.”

“Kok turun lagi? Ih udah masuk dulu ntar Eyzar jelasin.”

“Gak. Gue pulang naik grab aja.”

“Ish, Kak El udah cepet masuk dulu ah! Gak ada grab grab, Kak El itu perutnya lagi sakit.” Eyzar mendorong El dengan pelan. Namun, karena kondisi El sedang lemas saat itu, ia tidak bisa memberontak usaha Eyzar untuk memaksanya masuk ke dalam.

El kesal, “Gue ga—”

“Udah ya, udah.” Eyzar mengacak pelan rambut Kak El. Lantas lelaki itu sedikit mendekatkan mulutnya ke telinga El, dan berbisik, “Kak El jangan marah, gak usah cemburu, nanti Eyzar jelasin ya.”

“Ish! Siapa yang cemburu ah.”

Eyzar tertawa pelan. Lantas kembali berbisik, “Eyzar ke sana dulu bentar ya, mau beli kayu putih. Kak El tunggu di sini, jangan ke mana mana loh ya.”

El berdecak.

“Jangan marah marah ih.”

“Siapa yang marah?” El memalingkan muka dari Eyzar. Sejujurnya, gadis itu masih menahan rasa sakit di perutnya dan rasa kesal karena tiba-tiba ada Reina di belakang. Namun perbuatan Eyzar barusan yang mendadak mengacak rambut El dengan lembut, membuat ia harus menahan diri dari salah tingkah.

Eyzar terkekeh pelan melihat El yang sedang kesal. Gemas kalau bagi Eyzar. “Mau nitip sesuatu gak?”

“Nggak.”

“Reina, lo mau nitip sesuatu gak? Gue mau ke alfa.” Eyzar beralih bertanya kepada Reina.

Reina tersenyum, “Mau dong, gue mau nitip—”

“Zar cepet gue pengen pulang. Nggak usah belanja banyak banyak. Kayu putih sama minum aja udah. Ntar kalau banyak titipan pulangnya malah nambah lama.” El nyerocos. Tumben.

Sedangkan Reina di belakang hanya berdecak kesal karena ucapannya dipotong oleh El.

Eyzar menghela napas, dan lagi-lagi berbisik pelan kepada El. “Kak El cemburu nya bisa ditahan dulu gak? Kasian Reina dia juga kan mau nitip sesuatu.”

“Gue gak cemburu? Gue cuman pengen cepet pulang.”

Lagi-lagi, Eyzar hanya menghembuskan napas pasrah. “Yaudah iya. Eyzar cepet kok biar cepet pulang. Tunggu ya.” Dan setelah itu, Eyzar segera berangkat menuju minimarket yang ada di sebrang jalan.

Setelah kepergian Eyzar, kini di mobil tersisa dua gadis yang sama sama saling diam. Tidak, hanya El saja yang diam sembari menunduk dan meremas bagian perutnya yang terasa semakin sakit. Sedangkan Reina, ia menatap ke arah El dengan tatapan tak suka dari belakang. Kalau saja ini bukan mobil Eyzar, mungkin Reina sudah akan memulai keributan dengan El.

“Manja banget sih jadi cewek.” Sindir Reina.

El mengerutkan kening. Namun, ia tidak menggubris ucapan Reina barusan. El hanya diam dan memperhatikan Eyzar dari kejauhan.

“Manja lo.” Lagi-lagi, Reina berusaha menyulut emosi El. Namun El tetaplah El, gadis itu selalu berusaha bersikap cuek pada segala keadaan.

“Gue rebut Eyzar baru tau rasa lo,” ucap Reina lagi.

“Hh,” El tersenyum sarkas, “Eyzar nya aja mana mau sama lo.”


Eyzar akhirnya tiba dan masuk ke dalam mobil sembari menenteng keresek yang cukup dan kemudian memberikannya kepada El.

“Ini.”

El mengerutkan kening, “Pantesan lama, gue bilang kan tadi gak—”

“Sttt udah, gausah banyak protes. Itu Eyzar belanja banyak soalnya beliin beberapa cemilan buat Kak El. Biasanya kalau lagi reddays Kak El suka ngemil, kan? Nah itu ada banyak di dalem ya. Sama ada— ya pokoknya banyak lah semua yang Kak El perluin ada di dalem.”

Mendengar jawaban Eyzar, El mengulum bibirnya dan segera mengecek isi keresek di dalamnya. Benar saja, di dalam keresek itu lengkap sudah kebutuhan El dan makanan makanan kesukaan El saat dirinya mengalami masa menstruasi.

“Makasih.”

Eyzar menyengir. “Kan, makannya jangan kesel duluan.”

“Yaudah cepet pulang.”

“Iya-iya, kita anterin Reina pulang dulu ya? Kak El masih bisa nahan rasa sakitnya kan sebentar?”

“Hm.”

“Anterinnya sampai tempat kemarin aja ya, Zar,” ucap Reina tiba-tiba. Oh ayolah sedari tadi gadis itu ada di belakang. Kalian ingat kan? Dan tentu saja Reina menahan rasa kesalnya saat melihat Eyzar dan El yang begitu dekat. Bahkan, sesekali Reina menatap ke arah El tidak suka dan penuh rasa dengki.

“Awas aja lo, El.”

“Oke, gue salah, gue minta maaf,” ucap El sembari mengambil posisi duduk tepat di sebelah Eyzar.

Eyzar tidak menggubris. Tatapannya fokus ke arah televisi. Bahkan, laki-laki itu sedikit menggeser posisi duduknya agar mengikis jarak di antara dirinya dengan El.

“Gue minta maaf, Zar, gue salah.”

Eyzar masih diam yang menyebabkan El menghela napas pasrah.

Dhaka datang dari arah dapur, membawa makanan yang sudah disediakan oleh Bi Ira. Sebetulnya, sedari tadi Bi Ira ada di sana, namun wanita paruh baya itu hanya diam tidak mau ikut campur urusan anak muda.

“Eyzar kalau masih pundung, lama lama gue suruh El balik juga dah. Kesel gue liatnya,” ujar Dhaka.

“Apaan kok gitu???” Eyzar tak terima.

“Ya abisnya, itu El daritadi minta maaf kok malah gak diwaro?”

Eyzar menggembungkan pipinya, lucu. “Biarin aja, biar kedepannya gak marah marah gajelas kayak tadi lagi.”

“Dih siapa yang marah marah?” El mengelak pernyataan Eyzar sebelumnya.

Eyzar mendelik tak suka, “Tuh kan, ngapain minta maaf kalau gak sadar sama kesalahannya sendiri,” keluh Eyzar.

Terlihat Dhaka menepuk dahinya pelan. Laki-laki itu nampaknya sudah sedikit lelah jika harus dihadapkan dengan dua orang yang sulit dimengerti seperti El dan Eyzar.

Helaan napas lagi-lagi terdengar dari mulut El, “Yaudah iya gue minta maaf, gue salah karena tadi marah marah gajelas sama lo. Udah dong, lo juga jangan ikutan marah gini, gue sedih nanti.” Eyzar masih tidak menggubris, bahkan laki-laki itu tidak melirik El sedikitpun.

El ragu-ragu menggerakkan tangannya untuk menggenggam tangan Eyzar. “Maaf, ya? Udah jangan marah lagi.”

Percayalah, saat ini rasanya Eyzar ingin teriak. Ah, laki-laki itu mulai salah tingkah. Tapi, Eyzar masih menahan ekspresi muka nya agar kelihatannya masih kesal.

“Zar?” Kali ini, El beralih mengelus pundak Eyzar dengan pelan.

“AHHHH UDAAH EYZAR GAK SANGGUP!!!”

El dan Dhaka benar-benar terkejut karena Eyzar tiba-tiba teriak seperti barusan. Bahkan, Eyzar terlihat mengacak rambutnya frustasi.

“Kok teriak...?” tanya El pelan.

“Diem! Kak El udah diem! Arghhh Kak El gak usah pegang pegang tangan Eyzar apalagi sampe ngelus pundak Eyzar kayak tadi ah! Gak baik!!!”

Dhaka terkekeh pelan melihat Eyzar, Kan, Eyzar salting juga, hahaha! batinnya.

El mengerjapkan matanya beberapa kali, “Emang kenapa? Gak boleh?”

“Nggak! Bukan ga boleh, tapi ya, gimana ya jawabnya... Ah udahlah intinya Eyzar nggak marah sama Kak El. Serius! Eyzar cuman kesel aja, sedikiiiitt. Tapi karena Kak El udah minta maaf, Eyzar jadi enggak kesel lagi sama Kak El.” Kini, senyuman yang lucu sudah nampak kembali di wajah Eyzar. Anak laki-laki itu sudah sedikit merasa senang.

“Jadi, gue udah dimaafin nih?” tanya El ragu.

Eyzar tersenyum, “Kak El gak minta maaf juga sebenernya udah Eyzar maafin sih, cuman ya Eyzar pengen aja gitu kali kali Kak El yang peka, hehehe.” Cengiran lucu muncul di bibir Eyzar.

El tersenyum.

“Oke, sekarang kalian udah baikan, giliran gue yang minta maaf, terkhusus lo. Gue mau minta maaf sama lo, Zar,” ucap Dhaka yang berhasil menarik perhatian El dan Eyzar.

Eyzar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Kok minta maaf ke Eyzar? Emang Bang Dhaka ada salah apa?”

Dhaka menghela napas. “Ya itu, tadi pagi. Gue salah karena gue malah marahin lo disaat lo lagi kacau. Padahal yang lo butuhin cuman seseorang yang bisa diajak cerita dan berbagi keluh kesah, tapi gue malah marahin lo dan nyalahin lo atas kekacauan tadi di kantor. Sorry, Zar, gue terlalu keras sama lo.”

Eyzar mengulum bibirnya, “Gapapa, Bang. Bang Dhaka gak salah, justru dengan Bang Dhaka marahin Eyzar tadi, Eyzar jadi sadar kalau Eyzar gak boleh egois lagi buat kedepannya. Eyzar harus lebih profesional dan gak bawa masalah Eyzar ke dalam urusan perkantoran, Bang. Harusnya Eyzar bilang makasih, Bang Dhaka gausah minta maaf.” Eyzar tersenyum tulus.

“Sekarang giliran lo. Jelasin hal apa yang bikin pikiran lo kacau dan bikin mood lo hancur hari ini, Zar?”

Eyzar diam. Laki-laki itu malah menunduk.

“Zar, gue Dhaka. Gue sahabat Elvan, kakak lo. Gue di sini bukan hidup sebagai asisten kantor lo doang, Zar. Tapi, gue juga udah anggap lo sebagai adik gue sendiri. Nggak, bukan lo doang yang gue anggap sebagai adik. El, lo juga udah gue anggap sebagai adik gue sendiri. Intinya, gue di sini selalu ada buat kalian. Kapanpun kalian butuh seseorang buat dijadiin tempat berkeluh kesah, gue selalu siap, El, Zar. Kalian gak hidup sendiri di dunia ini. Masih banyak yang sayang dan peduli sama kalian berdua, salah satunya gue. Kalian bisa anggap gue sebagai Abang kalian sendiri, kok.” Ucapan Dhaka barusan, berhasil membuat El dan Eyzar menunduk lebih dalam.

“Satu persatu, gue bakal tanya masalah kalian hari ini. Walaupun mungkin gue udah tau sedikit, tapi gue cuman pengen kalian yang ngungkapinnya secara langsung. Bukan apa-apa, gue cuman gak mau kalian terbiasa mendem perasaan kalian dan ujung-ujungnya malah bikin hati kalian sakit karena mendem masalah sendirian.” Lanjut Dhaka.

“Jadi gimana?” Dhaka kembali melontarkan pertanyaan.

“Eyzar...” ucapan Eyzar tertahan. “Eyzar... Eyzar cuman kangen Kak Elvan sama Kak Ellyna.” Tanpa aba-aba, air mata pun menetes dari pelupuk mata anak laki-laki itu. Pertahanannya sejak pagi kini telah runtuh. Ia tak bisa menahannya lagi.

“Dari kemarin, dari kemarin malem Eyzar kepikiran Kak Elvan sama Kak Ellyna. Eyzar kangen banget, Eyzar selalu ngerasa sedih kalau inget sekarang Eyzar cuman tinggal sendirian tanpa mereka. Eyzar sedih.” Bahu Eyzar naik turun, pertanda anak itu sudah menangis. El yang di sampingnya, hanya menggenggam kembali pergelangan tangan Eyzar dengan hangat.

“Gak sampai situ aja. Tadi pagi, waktu di kampusnya Kak El, Eyzar ketemu sama orang yang kalau gak salah namanya Melan...?” Eyzar memberi kode kepada El, bertanya apakah nama yang disebutkannya benar atau tidak. Dan El mengangguk, pertanda kalau nama laki-laki yang sedang Eyzar bicarakan adalah Melan.

Eyzar melanjutkan kalimatnya, “Dari awal Eyzar nggak suka sama tatapannya. Sinis, kayak lagi ngancem Eyzar diem-diem, seakan-akan mereka emang niat mau nyerang Eyzar.”

Dhaka menghela napas, “Terus, lo berantem sama dia?”

Eyzar menggeleng, “Enggak. Melan sama temen-temennya gak ngajak Eyzar berantem. Tapi Melan terus-terusan bikin Eyzar emosi. Kalau kata Kak El, Melan emang sengaja bikin Eyzar emosi karena tau Eyzar anaknya gampang emosian.”

“Emang dia bikin lo emosi gimana?”

“Awalnya dia cuman nantangin Eyzar balapan dengan jadiin Kak El sebagai bahan taruhan. Eyzar nggak suka, Eyzar marah. Soalnya Eyzar kesel sama dia seenaknya jadiin cewek buat bahan taruhan. Gak sopan.”

“Terus?”

“Melan gak berhenti sampai situ, dia bilang kalau misalkan Eyzar nerima ajakan balapan dia, dan Eyzar menang, nanti Eyzar bakal dikasih tau rahasia. Bang Dhaka tau rahasia apa yang bakal Melan kasih ke Eyzar kalau Eyzar menang?”

Dhaka menggeleng.

“Kata Melan, dia tau rahasia kejadian Kak Elvan sama Kak Ellyna kecelakaan. Kata dia, kakak kakak Eyzar bukan kecelakaan biasa, tapi emang ada dalang dibalik kematian mereka dan orang jahat itu memanipulasi kejadian biar seakan-akan Kak Elvan sama Kak Ellyna meninggal karena kecelakaan, padahal enggak. Gitu kata Melan.”

Dhaka terkejut bukan main. Laki-laki itu mengerutkan keningnya.

“Bang Dhaka juga kaget, kan? Sama Eyzar juga...” lirih nya.

“Tapi bisa jadi itu cuman akal-akalan Melan aja biar lo mau nerima ajakan balapan dia. Terus dia emang berniat buruk di balapan itu, Zar.” El ikut bersuara. “Menurut Bang Dhaka gimana?”

“Hhhh, kok gue jadi ikut bingung ya?” Dhaka menghela napas frustasi. “Tapi seinget gue, di berita jelas jelas kalau Elvan sama Ellyna kecelakaan tunggal kok. Katanya emang kondisi Elvan lagi gak baik-baik aja, dia udah sakit dari awal tapi masih maksain nyetir mobil, makannya dia gak bisa fokus dan akhirnya bikin mereka berdua kecelakaan.”

Eyzar mengulum bibirnya, “Eyzar juga taunya selama ini kayak gitu kejadiannya. Tapi kata Melan—”

“Kalau boleh tau, Melan tuh siapa sih? Maksudnya dia ada hubungan apa sama lo sampe sampe El bilang kemungkinan Melan punya niat buruk sama lo?” potong Dhaka.

Eyzar menaikturunkan bahunya, “Gak tau, Bang. Eyzar aja baru ketemu sama dia tadi pertama kalinya. Tapi kalau ditebak tebak sih kayaknya Melan cuman pengen dapetin Kak El, tapi dia tau kalau Kak El deket sama Eyzar dan intinya dia pengen ngalahin Eyzar aja, gitu. Padahal kan Eyzar bukan siapa-siapanya Kak El, Eyzar sama Kak El gaada hubungan apa apa tuh.”

“Uhuk!” El tiba-tiba batuk.

“Kak El kenapa? Keselek? Nih minum dulu.” Eyzar menyodorkan gelas yang berisi air putih untuk El.

Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba tersedak ludah saat mendengar kalimat Eyzar bukan siapa-siapanya Kak El. Walaupun pernyataan itu benar, tapi tetap saja kenyataan itu berhasil menampar El kalau dia dan Eyzar memang tidak memiliki hubungan apa-apa.

“Gue udah searching!” Dhaka tiba-tiba menunjukkan layar ponsel nya kepada El dan Eyzar. “Nih, di berbagai berita juga jelas kok, Elvan sama Ellyna kecelakaan tunggal, kecelakaan biasa. Bukan karena ada orang jahat yang mau nyelakain mereka.”

Eyzar lagi-lagi hanya mengulum bibirnya. “Iya sih... Tapi Eyzar cuman kepikiran aja.”

“Udah, gak usah dipikirin, Zar. Gue yakin Melan cuman asal ngomong aja tadi.” El menimpali.

“Tapi kalau misalkan cuman asal ngomong, kenapa dia tau nama kakak kakak Eyzar? Melan nyebutin nama Kak Elvan sama Kak Ellyna dengan jelas. Eyzar gak salah denger.”

Dhaka menghela napas, “Mungkin karena kakak kakak lo dari dulu emang tokoh publik yang terkenal, Zar. Dan banyak orang juga yang udah tahu kalau lo itu adik dari mereka berdua. Itu udah jadi rahasia umum, Zar. Wajar kalau dia tahu nama kakak lo.”

“Iya sih...”

“Nah sip! Jadi intinya, daritadi masalah lo itu aja? Atau ada yang lain?” tanya Dhaka lagi.

“Ada sih, tadi gara gara nama Eyzar trending di Twitter gara-gara dikira nyerang Melan duluan, padahal kan enggak...”

Dhaka meraih pundak Eyzar perlahan. “Sabar, Zar. Jadi tokoh publik emang berat. Lo terkenal gara-gara di umur lo yang masih kelewat muda, udah bisa jadi pemimpin perusahaan besar. Gak aneh kalau banyak orang yang iri sama lo. Jadi di sini, gue cuman bisa dukung lo, gue bakal selalu ada buat lo, kapanpun lo butuh seseorang, lo bisa jadiin bahu gue buat sandaran. Semangat, Zar! Gue yakin lo bisa bertahan!”

“Gue juga dukung lo, Zar.” El ikut-ikutan, bahkan gadis itu tersenyum.

Namun Eyzar malah cemberut, “Apa apaan maen dukung dukung? Kak El belum cerita masalah Kak El apa, sok kenapa tiba-tiba kayak tadi, coba jelasin ke Eyzar biar Eyzar juga paham perasaan Kak El hari ini kayak gimana?” cerocos Eyzar.

El menghela napas, “Nggak sih, tadi gue cuman kesel sama Bang Dhaka aja.”

“Apa apaan kok jadi gue?! Tadi katanya lo marah bukan gara-gara gue, tapi gara gara masalah di kampus—”

“Yaudah iya bukan gara-gara bang Dhaka,” potong El kesal. “Bang Dhaka kalau lagi nyerocos berisik banget.” gumam El pelan.

“Gue denger!”

“Ck. Komentar mulu sih ah.”

Eyzar tertawa melihat El dan Dhaka yang sedari tadi adu mulut. “Udah dong jangan berantem terus, ntar jodoh loh.”

“Emang lo ikhlas kalau El berjodoh sama gue?” tanya Dhaka menginterogasi.

“Ya enggak lah!” seru Eyzar.

El menoleh cepat.

“M-maksudnya, ya enggak ikhlas lah, soalnya masa cewek secantik Kak El dapetin cowok jelek modelan Bang Dhaka? Idiih gak cocok.”

“Sembarangan lo ngatain gue jelek?!” Dhaka melempar Eyzar dengan bantal sofa yang ada di sekitarnya.

“Bang Dhaka emang jelek! Di sini yang ganteng Eyzar doang.”

“Pede lo, bocil!” Dhaka lagi-lagi melempari Eyzar dengan bantal sofa.

“Bang Dhaka gak usah lempar lempar bantal ih!” Eyzar malah membalas perbuatan Dhaka.

“Ngajak perang bantal lo ya? Oke siapa takut!”

“Ih? Nantangin?!”

El menggelengkan kepalanya saat melihat kelakuan Eyzar dan Dhaka yang sebelas duabelas, sama sama bertingkah seperti anak kecil. “Awas kena makanan, ntar—YA ALLAH, BANG DHAKA?! Kan jadi tumpah sayurnya!”

“Bukan gue! Itumah gara-gara Eyzar!”

“Eyzar daritadi di sini loh, Bang! Kok nyalahin gue?”

Bukannya membereskan sayur yang tumpah, Dhaka dan Eyzar malah berlari mengelilingi ruang tengah yang cukup besar. Lagi-lagi El hanya menghela napas dan segera membersihkan sayur yang tumpah. Namun saat melihat Eyzar yang tertawa lebar, ada rasa bahagia yang muncul dalam dada El. Gadis itu ikut senang. Ia hanya bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang yang begitu istimewa dan selalu ada untuknya. El benar-benar bahagia.


“El... Eyzar...”

“Hm?” “Apa, Bang?”

“Inget ya. Kalian gak sendirian di dunia ini. Kalian punya keluarga. Gue, di sini, termasuk Abang kalian juga. Jadi kalau ada apa-apa, jangan sungkan ya?”

Eyzar mengangguk senang. Sedangkan El, gadis itu hanya tersenyum penuh makna tanpa sepengetahuan Eyzar dan Dhaka.

El sudah sampai di depan gerbang rumah Eyzar. Gadis itu menenteng keresek yang cukup besar berisi makanan dan minuman kesukaan Eyzar. El tahu, Eyzar sangat suka ngemil. Terlebih lagi saat kondisi Eyzar sedang dalam kondisi mood yang buruk, anak laki-laki itu pasti akan membutuhkan cemilan yang banyak untuk mengembalikan mood nya.

Baru saja El menyapa Pak Satpam saat dirinya dipersilakan masuk, tiba-tiba ada suara klakson mobil yang begitu kencang menusuk ke dalam pendengaran El. Gadis itu kesal, namun mau tidak mau, El tetap harus minggir.

“Bang Dhaka? Ngapain dia ke sini?” gumam El pelan saat melihat mobil tersebut adalah mobil Dhaka.

El menghampiri mobil itu, dan tak lama kemudian Dhaka pun turun dari mobil sembari menenteng keresek yang cukup besar pula. Sama, nampaknya berisi makanan dan minuman yang biasa Eyzar jadikan cemilan.

“Lo ngapain ke sini?!” tanya El sarkas. Jelas-jelas gadis itu tak suka atas kedatangan Dhaka. Bukan karena apa-apa, tapi ia hanya tidak ingin waktu berduaan dengan Eyzar hari ini terganggu oleh laki-laki di depannya itu.

Dhaka mengerutkan kening, “Gue? Ya gue mau datengin Eyzar aja, sekalian gue mau minta maaf sama dia. Kayaknya tadi gue terlalu keras dan marahin dia, padahal dia daritadi keliatan lagi ada masalah,” jelasnya.

El berdecak. “Ck. Gak usah lah, udah sama gue aja, lo pulang aja gih!”

“Idihhhhhh?! Kok ngusir???”

“Eyzar biar tenangin sama gue aja. Lo pulang sana! Ganggu.” Tanpa basa-basi, El langsung berjalan ke arah pintu dengan cepat.

Dhaka terkekeh, namun ia tetap keukeuhh ingin menemui Eyzar, tak peduli seberapa keras El melarangnya.

“Gue juga ikut atuh.”

“Ih ngapain sih ah ganggu aja. Sana lo, bang!”

Dhaka tergelak, “Yaelahh, segitunya lo pengen berduaan sama Eyzar sampe sampe ngusir gue, El?”

“Ih nggak gitu. Udah ah sana, gue mau masuk.”

El membuka pintu rumah Eyzar dengan mudah. Pasalnya, gadis itu memang memegang kunci cadangannya, jadi akan mudah apabila ia ingin datang ke rumah Eyzar kapanpun ia mau.

El membuka pintu, namun ia menahan agar Dhaka tidak ikutan masuk.

“Ih. Bang Dhaka pulang aja!”

“Ogah ya! Gue capek capek ke sini yakali langsung diusir gini??”

El masih berusaha agar Dhaka tidak berhasil masuk. Dan kini ia menggunakan mata nya untuk menakuti Dhaka. Tatapannya begitu tajam mengarah ke arah Dhaka kesal. “Pulang? Atau gue tendang?”

Dhaka terkekeh, “Ah elah gue mah udah biasa kali ngeliat tatapan tajem lo kayak gitu. Gak takut, wle wle wle!” Dhaka malah menye menye di hadapan El.

“Nyebelin lo anj!”

“Awwww!!!!! Sakit beg—”

“Kak El? Bang Dhaka? Kok malah pada berantem?” Suara Eyzar yang khas itu berhasil membuat El dan Dhaka sama sama terdiam.

“Eyzar! Untung lo ke sini. Sumpah ya masa El gak ngizinin gue masuk sih? Ini rumah lo, kenapa dia yang larang coba? Aneh, ish,” keluh Dhaka pada Eyzar. Dhaka sekarang sudah masuk ke dalam rumah Eyzar karena El sudah tidak menahannya lagi.

El berdecak kesal. Ia tidak menggubris pernyataan Dhaka barusan. Gadis itu langsung menerobos masuk ke ruang tengah dengan kesal, melewati Eyzar yang masih diam kebingungan.

“Kak El kenapa, Bang? Kok kayak yang kesel tadi jalannya?” tanya Eyzar pelan saat El sudah tidak ada di ruang tamu lagi.

Dhaka menaikturunkan bahunya. “Mana gue tauu? Dia kesel kali gara-gara waktu berduaan sama lo nya keganggu.” Di akhir kalimat, Dhaka tertawa.

“Hadeuhh, masa Kak El gitu, gamungkin.” Eyzar geleng geleng kepala. “Tapi ngomong-ngomong, Bang Dhaka ngapain ke sini tiba-tiba?”

Dhaka tersenyum penuh makna, dan perlahan dia memegang pundak Eyzar yang sedikit lebih tinggi darinya. “Ngobrol di dalem aja yuk?”


Kini, di ruangan tengah rumah Eyzar, sudah berkumpul tiga insan saling berkawan.

El masih kesal dengan kedatangan Dhaka yang tiba-tiba. Gadis itu asik menonton televisi dan sama sekali tidak menggubris dua laki-laki yang sedari tadi berada di sebelahnya.

Namun, bukan El saja yang kesal. Jelas-jelas Eyzar juga merasa sedikit kecewa dengan El. Ia pikir, saat El datang, gadis itu akan langsung merangkul Eyzar dan membiarkan Eyzar untuk menceritakan keluh kesahnya. Namun apa yang terjadi? El malah seakan-akan menyuruh Eyzar untuk bermain tebak-tebakan atas apa yang sedang dirasakan El saat ini sehingga gadis itu nampak sangat kesal.

Sedangkan Dhaka, laki-laki itu hanya menghela napas gusar. Ia ingin sekali mematahkan suasana tidak jelas ini. Namun, sedari tadi Dhaka bingung bagaimana memulai perbincangan yang baik dan benar.

“Kalau gak ada urusan lagi selain ngasih Eyzar makanan, mending Kak El sama Bang Dhaka langsung pulang aja,” ucap Eyzar dingin.

“Kok gitu? Gue ke sini kan mau ngobrol ngobrol dulu sama kalian berdua. Sebenernya awalnya mau sama Eyzar doang sih, tapi karena El ada di sini, jadi ya sekalian aja, ada yang mau gue omongin juga sama El.”

Berbeda dengan Dhaka. Saat mendengar Eyzar yang menyuruhnya pulang, El langsung berdiri dan meraih tas kecilnya. Gadis itu berjalan ke arah pintu tanpa melirik Eyzar sedikitpun.

“El lo mau ke mana?” tanya Bang Dhaka.

El menoleh, “Pulang lah.”

Dhaka berdecak kesal. “Kok malah lo yang pulang sih? Cuman gara-gara gue di sini jadi lo mau langsung pulang gitu?!”

El tertawa sarkas, “Bang Dhaka gak denger? Tadi Eyzar sendiri yang nyuruh gue sama lo pulang. Ya seharusnya nurut gak sih? Ini rumah dia. Jelas-jelas dia ngusir gue, jadi ya mending gue langsung pulang.”

“Eyzar bukan ngusir Kak El!!!” Eyzar berdiri sembari bersuara dengan kencang.

“Eyzar cuman enggak suka sama suasana canggung kayak tadi. Eyzar cuman bingung kenapa daritadi Kak El cuman diem doang dan malah nampakkin wajah kesel depan Eyzar. Eyzar capek, Kak El, Eyzar lagi capek hari ini, tapi kenapa malah Eyzar yang disuruh peka sama kondisi Kak El? Harusnya Kak El yang ngertiin Eyzar hari ini.” Eyzar menghela napas, “Asal Kak El tahu, seharian ini Eyzar lagi banyak masalah. Tapi kenapa Kak El dateng dateng malah nambah nambahin pikiran Eyzar? Eyzar pusing.”

El tak habis pikir, “Oh gitu? Jadi gue dateng cuman nambah nambahin masalah buat lo? Oke. Kalau gitu gue gak akan pernah datengin lo lagi.”

“Bukan gitu Kak El yaampun!!! Kak El tuh kenapa sih? Eyzar sering banget gak paham sama kelakuan Kak El. Jarang ngomong, jarang cerita, tapi tiba-tiba bersikap dingin atau kesel kayak gini? Eyzar tuh gak paham, Eyzar bukan cenayang. Eyzar males kalau harus terus-terusan berusaha mahamin Kak El tapi Kak El sendiri gak pernah berusaha mahamin kondisi Eyzar.”

“Zar, El, udah.” Dhaka berusaha menengahi.

“Bang Dhaka diem! Eyzar pusing. Eyzar capek banget hari ini. Eyzar minta Kak El dateng ke sini cuman karena Eyzar pikir dengan adanya Kak El, Eyzar bakal bisa kembali tenang. Tapi apa? Kak El malah tiba-tiba kayak gini? Eyzar gak ngerti.”

“Gue juga pusing. Udah, gue mau pulang.”

“Oke! Kalau gitu mau Kak El, Eyzar juga gak mau ketemu Kak El lagi!”

El merotasikan bola matanya, jengah. Lantas niatnya untuk segera pulang semakin tinggi. Alhasil, gadis itu melangkah kembali untuk segera keluar dari rumah Eyzar.

Eyzar menghela napas pasrah saat melihat El semakin melangkah keluar, bukannya menghampiri Eyzar dan mengaku kalau dirinya salah. Ah, lagipula Eyzar sudah tidak ingin berharap lagi.

Sekarang malah Dhaka yang kebingungan. Laki-laki itu tidak habis pikir dengan tingkah El yang tiba-tiba. Tidak mungkin kan kalau El bersikap seperti tadi hanya gara-gara kedatangan Dhaka yang menganggu waktu El dan Eyzar. Tidak mungkin. Pasti ada hal lain yang menganggu pikiran El hari ini.

“El, harusnya lo gak bersikap kayak gini.” Dhaka berhasil mencekal pergelangan tangan El tepat saat gadis itu hendak membuka pintu utama.

“Bang, lepasin.”

“Gak. Gue gak suka kalau lo bersikap kayak tadi ke Eyzar. Lo malah nambah pikiran dia tau gak?”

“Yaudah oke. Gue cuman beban dia berarti, kan? Kalau gitu mendingan gue pulang.”

“Bukan gitu, El. Dengan lo bersikap aneh kayak gini, jelas bakal bikin Eyzar overthinking. Tapi kalau lo kembali ke dia dan jelasin apa yang bikin lo kesel, dia juga bakalan paham sama keadaan lo, El.”

Dhaka menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya. “Gue tau. Gue tau dari Karin, dia sepupu gue. Gue tau semuanya El, hari ini juga hari yang berat buat lo kan? Di kampus lo banyak dimarahin sama dosen, presentasi lo kacau cuman garagara salah satu anggota lo yang gak bertanggung jawab. Dan lo lagi banyak dighibahin sama mahasiswa lain gara-gara kejadian di lapangan yang ngelibatin Eyzar sama Melan. Abis itu lo malah dipanggil buat photoshoot dadakan. Gak beres sampe situ. Lo lagi capek, tubuh lo istirahat, tapi lo maksain buat datengin Eyzar cuman karena Eyzar bilang dia lagi badmood dan butuh temen cerita. Lo maksain ke sini tapi—”

“Tapi Eyzar malah ngusir gue,” potong El. “Udahlah, Bang. Jelas-jelas dia gak menghargai usaha gue, kan? Makannya mending gue pulang aja.”

“Gak gitu, El, astaghfirullah!!” Dhaka mengacak rambutnya frustasi. “Eyzar bukannya gak menghargai kedatangan lo.”

“Terus apa?”

Dhaka menghela napas, “Pusing gue ngomong sama cewek cuek kayak lo.”

El berdecak kesal. Gadis itu berusaha melepas tangannya dari cekalan tangan Dhaka. Namun, sedari tadi usahanya tidak berhasil.

“Dia bukan gak menghargai lo, El. Eyzar cuman nggak ngerti, dia nggak tau kondisi lo. Bukan, bukan karena dia gak peka, tapi karena lo sendiri yang gak mau ngejelasin tentang keadaan lo ke dia. Coba lo jelasin baik-baik, kalau hari ini kondisi lo juga lagi gak baik-baik aja. Kalau gitu, pasti gak akan ada kesalahpahaman kayak tadi, El. Lo sama Eyzar tuh cuman misskom aja.”

“Ck. Aneh lo, bang. Jelas jelas hari ini Eyzar banyak masalah, yakali gue ceritain masalah gue ke dia juga. Yang ada dia nambah badmood.”

“Gue yakin gak bakal kayak gitu. Justru dengan lo mau berbagi cerita ke dia, dia bakalan seneng. Dia bakalan seneng karena dia ngerasa spesial bisa jadi tempat cerita lo. Dia bakalan seneng El.”

El terdiam. Gadis itu sedikit sadar. “Jadi semua ini gue yang salah, Bang?”

“Enggak, gue yang salah.” Kata Dhaka, yang otomatis membuat El mengerutkan keningnya. “BECANDA! Ya iyalah lo yang salah, ya kali gue diem daritadi tapi gue yang salah. Gimanasih.” Dhaka kesal.

El memutar bola matanya lagi, kesal. “Yaudah.”

Lantas, gadis itu kembali masuk ke dalam guna menghampiri Eyzar yang mungkin saat ini kondisi mood nya semakin memburuk.