“Jadii, kenapa lo mukulin Melan? Gak bosen bosen ya lo berantem terus dari dulu. Gue kira sekarang lo udah jarang bolos dari sekolah, hobby berantem lo bakal berkurang, taunya belom.” El menghela napas.
Eyzar menunduk sembari memajukan bibirnya beberapa senti. “Abisnya Eyzar gak suka sama Melan, ish.”
“Alasannya?” El mendadak menghentikan langkahnya dan membuat Eyzar terkejut karena hampir saja menabraknya.
Eyzar menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, “Katanya Melan suka sama Kak El, jadi Eyzar gak suka aja.”
Sontak El menepuk dahinya. “Gara-gara itu doang?!”
Malah cengiran lucu yang muncul di bibir Eyzar. “Hehehe.”
“Dih, malah nyengir.”
“Terus-terus, kenapa foto Kak El ada di Melan? Katanya Kak El makan bareng dia? Bener gituu?”
“Iya.”
“ASLI?! KOK GITU SIH KAK EL?! Jangan bilang Kak El sekarang udah suka sama Melan?! Aisshh udah ah sana jangan ngomong sama Eyzar lagi. Kita gaada hubungan apa-apa! Udah sana pergi.” Eyzar misuh-misuh, yang lagi-lagi malah membuat El menahan rasa gemasnya itu.
El tertawa pelan. “Gue makan bareng Melan bukan berarti gue suka sama dia dong?”
“Terus? Kok Kak El mau sama dia sih? Katanya Kak El gak suka sama Melan juga??”
“Gue emang gak suka sama dia, tapi...”
El terdiam, dan pikirannya kembali ke kejadian tadi pagi di kampusnya, tepat sebelum Melan mengutarakan perasaannya pada El.
Tampak seseorang sedang mengeluarkan kepulan asap rokok dari mulutnya. Lelaki itu terlihat sedang sangat frustasi. El yang sedang tidak ada kelas, asik berjalan mengelilingi kampus sembari menyumpal telinganya. Dan saat dirinya melihat lelaki yang sedang merokok itu dari kejauhan, El perlahan mendekat.
Beberapa meter dari tempat itu, El sangat terkejut. Nampaknya, orang itu sudah merokok banyak sekali hari ini. Terlihat dari sampah bungkus rokok yang totalnya ada 3 bungkus berserakan di bawah kaki jenjangnya.
El menghela napas, dan langsung menghampiri lelaki itu. Kini, El berdiri sembari bersandar pada tembok, tepat di sebelah lelaki itu.
“Serius lo ngabisin tiga bungkus sendirian doang?”
Lelaki itu nampak terkejut, terlebih lagi saat mengetahui orang di sebelahnya adalah El, ia semakin terkejut.
“Dari kapan ngabisin rokok sebanyak ini?” tanya El lagi.
“Dari pagi.” Lelaki itu menghela napas, “Lo kenapa nyamperin gue? Tumben bangeet. Biasanya juga lo yang ngehindar kalau gue nyamperin.”
El terkekeh, tidak menggubris perkataan Melan barusan. Iya, lelaki yang sedari tadi berbicara dengan El adalah Melan.
“Bagi satu,” ucap El sembari menyodorkan tangannya, meminta rokok pada Melan.
Melan membulatkan pupilnya. “Hah?! Gak salah lo ngerokok?” El hanya tersenyum simpul, dan Melan geleng-geleng kepala. “Gak ah, lagian ini rokok terakhir gue.”
“Ck.” Lantas El berhasil merebut sebatang rokok dari saku celana milik Melan yang otomatis membuat Melan sedikit kesal.
“Sumpah, gue gak nyangka.”
Tidak menggubris lagi, El malah menyodorkan rokok tersebut, meminta Melan untuk membakar ujungnya dengan alat pemantik. “Ini lo seriusan mau ngerokok?!” tanya Melan memastikan. Namun, karena hanya keheningan yang didapatkan, akhirnya Melan menuruti permintaan gadis itu.
Dan tak lama kemudian, baru saja El hendak memasukkan rokok ke mulutnya, El malah menjatuhkan rokok itu secara cuma-cuma, lantas menginjak-injaknya dengan kasar.
“Anj?! Kok rokoknya malah lo buang sih?!”
“Biarin. Biar rokok yang sekarang lo pegang itu jadi rokok terakhir lo hari ini,” ucap El jujur. “Lagian percaya banget gue ngerokok? Nyentuh rokok aja baru kali ini,” sambungnya.
Melan berdecak. Namun sesaat kemudian, lelaki itu tersenyum simpul. “Gue kira lo beneran cuek sama sekitaran. Ternyata cuman tampang lo doang yang cuek, aslinya mah engga.”
“Kenapa?”
“Hm?” Melan menoleh cepat, “Kenapa apanya?”
“Bukannya lo punya temen banyak ya? Tapi kenapa di saat lo lagi ada masalah kayak gini malah menyendiri? Bukannya minta bantuan atau saran dari temen-temen lo?” tanya El.
Melan mengerjapkan matanya, “Dari mana lo tau gue ada masalah?”
“Tuh keliatan, muka lo makin jelek kalau lagi ada masalah. Terus, rokok banyak ini pasti gara-gara lo stress, kan?”
Melan tertawa, lantas sedikit menunduk, dan kembali menengadahkan kepalanya menatap langit di atas sana. “Gue berantem sama bokap.”
El diam. Bersiap untuk mendengarkan keluh kesah seseorang di sampingnya itu. Terbukti kan? Sebenarnya El adalah gadis yang sangat peduli pada semua orang. Bahkan terkadang pada orang yang tak ia kenal pun, El akan melakukan seperti ini apabila melihat orang yang terlihat sedang punya banyak masalah. Hanya saja, ekspresi muka yang selalu datar, membuat dirinya dicap cuek oleh banyak orang.
Terdengar helaan napas yang begitu berat dari mulut Melan, sebelum laki-laki itu melanjutkan kalimatnya. “Gue anak pertama di keluarga gue. Tapi, selama ini gue gak pernah bikin anggota keluarga gue bangga. Yang ada, gue selalu bikin masalah. Gue gak pinter pinter banget. Gue juga hobby berantem dari SMP. Gue banyak masuk gang-gang unfaedah. Gue juga sering balapan motor di sirkuit malem-malem. Dan karena itu, bokap gue selalu marah sama gue.”
“Awalnya gue gak masalah, selagi adik-adik gue gak kena imbasnya. Tapi ternyata tanpa gue tau, bokap gue sering nuntut adik-adik gue biar jadi sempurna. Tanpa gue tau, dia sering mukulin adik-adik gue disaat gue sama nyokap lagi gak ada di rumah.”
“Oh iya, saat itu gue masih SMP, dan adik-adik gue masih SD. Gue punya adik dua, mereka kembar. Satu cowok, satu cewek, dan sialnya, sifat dan karakter mereka berdua bener-bener bertolak belakang.”
“Lama-kelamaan bokap gue makin pilih kasih sama anak-anaknya. Dia cuman perhatian sama adik gue yang cowok. Sedangkan gue sama adik cewek gue ditelantarkan dan sama sekali gak pernah dapet perhatian. Gak salah sih, lagian adik gue yang cowok itu emang beneran pinter banget. Gak aneh kalau bokap gue sayang sama dia. Dan gak aneh juga kalau gue sama adik cewek gue selalu dibanding-bandingin sama dia, dari dulu.”
“Awalnya gue fine-fine aja, karena gue ngerasa gak masalah. Toh gue masih punya nyokap yang selalu baik sama gue. Tapi, gue makin kesel ketika tau adik cewek gue itu mengidap depresi ringan, padahal saat itu dia masih SD. Jadi, sejak saat itu, gue mutusin buat bakal lebih merhatiin adik gue lagi, ketimbang merhatiin diri sendiri.”
Melan menoleh ke arah El sebentar. Rupanya gadis itu menyimak sembari menatap lurus ke arah depan sana. “Lo dengerin gue gak sih?” tanya Melan, yang kemudian dengan cepat dibalas oleh El, “Denger kok. Tapi gue agak pusing ngedengernya, ada adik cewek, ada adik cowok, jadi gue perlu mencerna agak lama.”
Melan terkekeh pelan. “Lo deket banget sama Eyzar kan?” El hanya mengangguk, lantas yang laki-laki kembali bersuara, “Kalau gitu lo kenal sama temen-temennya Eyzar kan?”
Lagi-lagi, El hanya mengangguk, mengiyakan pertanyaan Melan.
Melan menghela napas panjang. “Artha.” El buru-buru menoleh cepat ke arah Melan, menunggu penjelasan selanjutnya. “Artha, adik laki-laki gue.”
El hanya mengerutkan keningnya. Masih sedikit tidak percaya dengan ucapan Melan barusan.
“Artha, adik laki-laki gue. Dan adik perempuan gue pun kayanya sekarang udah temenan sama Eyzar.”
“Siapa?”
“Reina,” Melan tersenyum dengan tatapan yang sulit diartikan.
Lantas, El hanya terdiam kemudian ikut menghela napas. “Yaudah, mau lanjut ceritanya gak?”
“Gak sabaran banget ya lo.” Lelaki itu terkekeh pelan.
“Ck.”
“Ya gitu deh. Semenjak bokap gue yang makin hari makin pilih kasih, hubungan keluarga gue semakin renggang. Belum lagi, bokap sama nyokap juga mulai sering berantem.”
“Gue pun jadi kurang merhatiin Artha. Karena yang waktu itu gue pikirin cuman Reina, Reina, Reina. Gue bener-bener khawatir sama dia. Badan dia lemah, dia punya banyak penyakit dari lahir, ditambah rasa depresi yang harus ia rasain semakin bikin gue gak tega. Akhirnya tanpa gue sadari pun, perlahan gue jadi malah pilih kasih sama Reina dan Artha.”
El terkekeh, “Jadi intinya lo ngerasa bersalah sama Artha gitu?”
“Bukan gitu ceritanya, masih panjang.”
“Yaelahh buruan, bentar lagi gue ada kelas.”
Melan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia baru sadar, kenapa ia bercerita panjang lebar seperti ini bahkan kepada orang yang belum terlalu dekat dengannya. Tapi, apa boleh buat, toh semuanya sudah terlanjur. Lagipula, Melan merasa nyaman saat bercerita seperti ini kepada El.
“Lanjut ya.”
El mengangguk.
“Waktu itu, gue udah beranjak SMA, dan mereka berdua udah SMP. Kita semakin dituntut buat dewasa karena keadaan. Bokap nyokap gue yang selalu sibuk kerja, Artha yang hampir gak pernah ngomong kalau di rumah, dan gue sama Reina yang selalu dapet masalah di sekolah. Saat itu nyokap gue niatnya mau ngajak kami bertiga buat jalan-jalan, dan akhirnya dengan sedikit terpaksa, ya gue ngikut aja.”
“Di jalan, sempet ada kejadian yang bener-bener gak pernah gue sangka. Selama jalan-jalan, Artha sama sekali gak bersuara, kalau di keluarga dia emang pendiem banget, bahkan hampir gak pernah ngomong. Dan saat di jalan raya lagi rame, dia tiba-tiba jalan sendirian pake earphone, ya mungkin volume nya full banget kali ya sampe-sampe dia gak nyadar, pas lagi nyebrang, ada truk gede yang ngarah ke dia dengan kecepatan cukup tinggi.”
“Terus?”
Melan terkekeh. “Nyokap gue tanpa pikir panjang langsung nolongin dia lah. Dia dorong Artha, dan berakhir dia sendiri yang ketabrak truk itu.”
“Saat itu, Artha juga tetep luka-luka, karena ternyata dorongan nyokap gue terlalu keras dan berakhir Artha nyusruk nubruk mobil yang terparkir di depan.”
El tertawa pelan. “Gaada kata kata lain selain nyusruk gitu? Gue ngakak sialaan.” Gadis itu masih tertawa.
Melan terkekeh sembari meletakkan kedua tangannya di dada, “Ya gatau atuh da emang bener nyusruk dia nya.”
“Lanjut-lanjut.”
“Ya gue juga agak ga ngerti sih ya gimana kejadian jatohnya. Tapi yang jelas, lengan kanan Artha patah karena dia pake buat nahan badan pas jatoh.”
“Wih? Bisa gitu ya?”
“Ck. Lo bisa serius gak sih dengerin ceritanya? Gue udahin nih ah.”
“Bercanda bercanda. Sok lanjut.”
“Ya gitu deh, berujung nyokap gue meninggal. Dan kalau lo inget, kejadian itu terjadi depan mata gue dan Reina secara langsung. Gue ya apa ya mungkin saat itu gue emang agak sedikit marah sama Artha karena emang salah dia yang nggak bisa jaga diri. Tapi, Reina...”
“Kenapa dia?”
“Dia bener-bener gak terima kejadian itu. Dia bener-bener ngerasa hancur karena kehilangan seseorang yang selalu ngelindungi dia. Saat itu dia bener-bener hancur, dan sialnya, dia nyalahin semuanya ke Artha. Gara-gara kejadian itu, Reina benci banget sama Artha, seakan-akan kejadian meninggalnya nyokap gue adalah karena ulah Artha.”
“Semenjak itu, Reina sama Artha jadi semakin menyendiri. Kerjaan mereka cuman sekolah-pulang, belajar, tidur, ketemu gue paling pas makan doang. Tapi hampir setiap malem, bokap gue selalu mukulin Reina karena ngecap dia nggak pernah bener belajarnya karena nilai-nilai sekolah dia selalu rendah.”
“Nyokap gue udah nggak ada. Gaada lagi yang bela Reina saat dia dipukulin bokap. Berujung gue lah yang harus jadi pawang buat Reina. Gue rela ikut dipukulin bokap demi ngelindungin Reina.”
“Gara-gara itu, mental Reina makin sakit. Gue sering bawa dia ke psikiater, tapi ya gitu, percuma juga rasanya kalau nggak ada faktor pendukung dari luar. Percuma kalau dia sering ke psikiater, tapi mental dia selalu kembali rusak kalau ketemu bokap sama Artha.”
“Akhirnya, gue mutusin buat tinggal di apartemen, berdua sama Reina. Gue sama Reina mutusin buat tinggal sendiri, misah dari kekangan rumah itu. Saat itu gue bener-bener gak peduli sama Artha, karena gue pikir Artha baik-baik aja tanpa perhatian dari gue. Gue ngerasa Artha udah cukup nerima banyak perhatian dari bokap. Akhirnya, gue cuman peduli dan perhatian sama Reina doang.”
“Tapi, selama itu gue baru sadar. Gue terlalu peduli sama mereka dan sialnya gue gak pernah mikirin perasaan pribadi gue...”
El melirik ke arah Melan, yang ternyata lelaki itu sudah mengeluarkan bulir air mata di pipinya. Lelaki itu tampak menahan rasa sakitnya yang cukup dalam.
“Kalau mau nangis, nangis aja kali. Gak usah sok kuat.”
Dan berakhirlah, lelaki itu betul-betul menangis. Lelaki itu menutup matanya dengan lengan kanannya. Sembari bersandar dan menundukkan kepalanya, Melan mengeluarkan semua rasa sakitnya.
“Gue selalu sakit kalau ngeliat bokap gue marahin Reina. Tapi hati gue juga sakit kalau harus ikut nerima pukulan dari bokap gue. Gue emang sering berantem atau tawuran, tapi pukulan dari bokap rasanya lebih menyakitkan, gue juga gak tau kenapa. Gue gak pernah dapet perhatian dari dia. Gue juga—”
Suara Melan tersendat karena isakan tangisnya.
“Gue juga selalu bersikap sok kuat depan Artha sama Reina cuman biar mereka gak khawatir sama gue. Tapi apa? Buktinya mereka gak pernah peduliin gue. Mereka gak pernah khawatirin gue. Selalu, selalu gue yang harus ngalah, selalu gue yang harus bersikap dewasa. Semakin hari Artha sama Reina selalu berantem. Artha yang egois dan Reina yang gak mau kalah, mereka selalu perang dingin. Gue pun terpaksa nge-iyain kemauan Reina, karena kalau engga, gue takut dia berpikir gue udah gak peduli lagi sama dia. Gue selalu bantuin dia buat bikin masalah sama Artha. Bahkan gue tau ini salah, gue selalu bantuin Reina buat hancurin hidup Artha. Gue tau ini salah, tapi gue gak bisa nolak permintaan Reina. Gak tau kenapa...”
Melan menghela napas panjang. Lelaki itu mulai menenangkan dirinya dan menghentikan Isak tangisnya. Melan kini sudah kembali seperti biasa.
“Beberapa bulan yang lalu, gue sama Reina dipaksa pulang ke rumah, dan Reina juga yang dipaksa pindah ke sekolahnya Artha. Kata bokap, biar Reina sekolahnya bener, berpendidikan jelas, dan gampang dikontrol sama bokap.”
“Sampe dua hari yang lalu, Reina sama Artha berantem hebat. Gue juga gak tau gara-gara apa, yang jelas mereka berdua sama-sama saling main kekerasan, dan itu mereka lakuin di rumah, depan bokap gue.”
“Bokap gue marah besar gara-gara itu. Tapi keselnya, bokap gue cuman marahin Reina. Gue kesel banget saat bokap gue malah habis-habisan nyalahin Reina. Padahal, disitu Artha juga sama-sama salah.”
“Tapi yang bisa gue lakuin cuman diem merhatiin kejadian itu. Karena tubuh gue bener-bener gak bisa gerak. Gue gak sanggup lagi nahan penderitaan itu. Gue tau gue jahat, tapi gue juga udah terlalu capek selama ini. Begitupun Artha, dia cuman diem, dengan tatapan datarnya dia cuman ngeliatin Reina dipukulin bokap. Dia diem aja anjrt dia sama sekali gaada niatan buat nolongin kembarannya sendiri!”
Lagi-lagi, Melan menghela napas.
“Dan akhirnya, kemarin malem, gue sempet nerobos masuk ke kamar Artha. Gue kaget bener-bener kaget karena gue nemuin obat penenang di mejanya. Gue juga kaget saat ngeliat dia punya banyak buku yang ngebahas tentang kesehatan mental. Bahkan, dia pun nyembunyiin berkas yang dia dapetin dari psikiater.” Melan menjambak rambutnya frustasi. “Di situ gue sadar. Bukan Reina doang yang sakit gara-gara tingkah kurang ajar dari bokap. Ternyata Artha juga sakit! Dia sakit! Tapi dia nggak pernah bilang ke siapa-siapa. Dengan sikap dinginnya dia kalau di rumah, gue kira dia baik-baik aja. Nyatanya enggak, El, engga!!!”
El diam, memperhatikan Melan dari samping. Ingin sekali gadis itu menenangkan Melan, namun rasa gengsi yang masih menyelimuti berhasil menghalangi El untuk melakukannya.
Melan meremas bajunya keras, sembari menatap langit dengan tatapan kesal. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya. “Gue ngerasa gagal jadi kakak, El.”
“Engga, lo gak gagal, yang penting lo udah berusaha semaksimal mungkin, kan?”
“Engga, El. Dari awal gue udah salah. Gue salah karena naro perhatian lebih ke Reina, tanpa mikirin keadaan Artha. Gue juga baru tau kemarin kalau selama ini Artha juga sering dibentak sama bokap. Walaupun gak main fisik, tapi bokap gue langsung nyerang mental Artha. Gue yakin selama ini Artha tertekan juga karena tuntutan dari bokap yang harus ini itu segala macem. Gue juga yakin Artha bingung harus berbagi keluh kesahnya sama siapa karena dia ngerasa kalau Reina sama gue udah terlanjur benci sama dia.”
“Gue bingung harus apa, El, gue bingungg.”
El menghela napas, tampak sedikit berpikir.
“Dan kemarin pun, kebetulan Reina mulai ngeluarin isi hatinya ke bokap, yang berujung malah dia makin dipukulin. Padahal Reina cuman jujur perkara dia sakit hati sama bokap, tapi yaa gitu, bokap gue kasar, jadi malah Reina yang kena imbas nya, gue juga sih, kena pukulannya sedikit. Tapi setelah malem semakin larut, gue mau mampir ke kamarnya Artha, niatnya buat ngobrol baik-baik sama dia. Tapi pas gue buka dikit pintu kamarnya yang gak dikunci, gue bisa liat Artha. Gue bisa liat Artha lagi mojok sendirian sambil nangis deres. Kamarnya gelap banget, banyak buku-buku yang berserakan. Dan ngeliat kondisi Artha yang kayak gitu, hati gue makin sakit, El. Gue makin marah sama diri sendiri, gue ngerasa gagal jadi kakak, tapi sekarang gue gak bisa apa-apa, gue aja gak tau apa yang harus gue lakuin buat perbaikin semuanya.”
Mendengar penjelasan Melan barusan, El sudah bisa menangkap hubungan cerita Melan dengan cerita Eyzar. Yang katanya Eyzar sedang ada masalah dengan Artha, karena Artha tidak mau menceritakan semua masalahnya. Begitupun cerita Melan tentang keluarganya, yang merupakan keluarga Artha juga, dan keadaannya benar-benar berantakan.
“Kak El? Kak El? Hei? Kok malah ngelamun, sih?”
El mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu nampak sedikit kebingungan, “Hah? Apa?” Ia baru sadar, rupanya sedari tadi ia tenggelam dalam lamunannya.
“Kak El kok malah ngelamun terus daritadi?” tanya Eyzar penasaran.
El mengulum bibirnya, “Gapapa, gue cuman lagi kepikiran sesuatu aja.”
“Hhmm gitu ya,” Eyzar menggigit bibir bawahnya, “Tapi ngomong-ngomong, Kak El kok tiba-tiba dateng ke sekolah sih? Ada urusan kah?”
El menggeleng cepat. “Engga. Gue ke sini karena gue mau ngajak lo jalan-jalan aja. Dan ya kebetulan tadi gue abis dari cafe deket sini, jadi ya sekalian gue mampir ke lo. Eh pas dateng malah ngeliat lo lagi berantem sama Melan.”
Eyzar malah memberikan cengiran nya sembari sedikit membenarkan beberapa helai rambut yang hampir menutupi matanya. “Hhmm, jadi kita mau jalan-jalan ke mana?”
“Ter—”
“Jangan jawab terserah!” sela Eyzar cepat.
Lantas El terkekeh pelan, “Yaudah, gimana enaknya aja. Intinya jalan-jalan aja, sekalian buat ngelepas penat, kan?”
“Hehehe, oke! Kalau gitu kita ke rumah Eyzar dulu ya? Eyzar pengen ganti baju, sekalian ganti motor jadi mobil.”
El mengangguk.
“Eh sebelumnya, Zar, mau nanya boleh?”
“Boleeh bangeet dong Kak El. Kenapa kenapa?”
“Lo masih belum baikan sama Artha?”
Eyzar menggeleng lemah, lelaki itu mulai mengerucutkan bibirnya. “Ketemu lagi aja belom, gimana mau baikan.”
El mengangguk-angguk. “Yaudah deh, gue cuman mau ngasih saran, jangan terlalu keras sama dia ya?”
Eyzar mengulum bibirnya, “Eyzar enggak keras kok sama Artha, Eyzar mah biasa ajaa, kemarin cuman sedikiit emosi aja.”
“Hm, yaudah, ntar juga akan ada waktunya Artha ceritain semuanya ke lo, Zar. Lo yang sabar aja, mungkin Artha masih mau nyembuhin lukanya dulu sendirian.”
Eyzar tampak sedikit kebingungan, namun ia tetap mengangguk-angguk seolah-olah paham apa yang diutarakan oleh El.