Retak


Seharian ini Eyzar benar-benar tidak fokus berada di dalam kelas. Lelaki itu bahkan sama sekali tidak memperhatikan guru yang mengajar di depan. Eyzar hanya masih memikirkan tentang Artha. Memang, Artha hari ini tidak masuk. Bangkunya kosong. Tapi, wali kelas dan teman-temannya tidak ada yang tahu tentang alasan Artha tidak masuk sekolah. Mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, karena bolos sekolah saat duduk di kelas 12 adalah hal yang sudah terkesan biasa. Namun, tidak bagi Eyzar.

Eyzar merasa kesal bukan karena Artha tidak masuk tanpa kabar. Bukan, bukan karena hal itu saja, melainkan ada banyak hal yang mengganggu pikiran Eyzar tentang Artha. Eyzar baru sadar kalau beberapa hari terakhir Artha sedang tidak baik-baik saja. Artha menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Dan hal itulah yang jelas membuat Eyzar marah tak karuan. Namun sialnya, Eyzar bukan marah pada Artha. Tidak, Eyzar hanya sedikit kecewa pada sahabatnya. Dan untuk amarah yang ia salurkan saat ini, tentunya untuk dirinya sendiri. Eyzar marah pada dirinya sendiri. Eyzar merasa gagal menjadi sahabat untuk Artha.

Bel pulang berbunyi dengan keras dan berhasil membuyarkan lamunan Eyzar sedari tadi. Pikirannya yang kacau membuat dirinya tak bisa menerima pelajaran yang disampaikan oleh para guru. Maka dari itu, sedari tadi lelaki itu hanya melamun.

Eyzar menghela napas berat. Disaat beberapa murid lain sudah mulai membereskan alat tulisnya agar bisa segera pulang, Eyzar masih menatap bangku kosong milik Artha di depan sana. Eyzar masih overthinking perkara hal yang terjadi pada Artha. Begitulah, Eyzar memang selalu overthinking dalam hal apapun.

Selain itu, ada hal yang membuatnya semakin bingung dan tidak mengerti. Reina, yang jelas-jelas masuk sekolah hari ini, mendadak menghilang saat jam pelajaran terakhir. Gadis itu izin ke toilet dan masih tidak kembali hingga saat ini. Dan sialnya, Eyzar malah berpikir aneh-aneh. Ia malah berpikir, pasti ada hubungan di antara tidak masuknya Artha dengan menghilangnya Reina hari ini. Eyzar yakin itu. Pasalnya, selama ini Eyzar memang merasa kalau Reina menyembunyikan sesuatu tentang Artha dari dirinya. Terlihat dari caranya yang selalu memperhatikan gerak-gerik Artha diam-diam. Dan bahkan Eyzar tahu kalau Reina selalu berusaha memulai pembicaraan dengan Artha di kelas, walau akhirnya Artha menjauh dan menghindar dari Reina.

Hingga akhirnya, Eyzar memutuskan untuk beranjak berdiri dan meraih tas sekolahnya. Laki-laki itu melangkah pelan. “Gue tunggu di taman belakang,” ucapnya berat saat melewati Sadam dan Reza yang masih diam di bangku masing-masing.

“Zar.” Sadam menarik tas Eyzar dengan sekuat tenaga. “Ada masalah, bukan diselesain dengan cara kayak gini, kan? Jelasin dulu masalahnya. Ada masalah apa di antara lo sama Artha?” Sadam bertanya dengan lugas, sedangkan Reza hanya ikut menyimak sembari mengulum bibirnya. Merasakan suasana kini mulai serius.

Bukannya menjawab, Eyzar malah membuang muka dari Sadam.

“Zar, lo overthinking cuman gara-gara Artha gak masuk hari ini?! Please, otak lo tuh dipake, Zar! Positif thinking aja mungkin emang Artha lagi ada urusan dan sibuk sampe gak bisa ngabarin semua orang.” Nada Sadam berbicara mulai meninggi.

Eyzar berdecak.

Sedangkan Sadam hendak melanjutkan kalimatnya. “Lo juga pernah, kan? Dulu juga lo sempet gak masuk tanpa kabar dan itu bikin gue, Reza, sama Artha khawatir sama lo. Tapi apa? Nyatanya lo gak masuk cuman karena sibuk ngurusin kantor dan saking sibuknya sampe gak bisa ngabarin siapa-siapa. Sekarang juga bisa jadi Artha kayak gitu, Zar.”

“Beda, Dam.” Eyzar mulai menatap Sadam dan Reza bersamaan. “Artha beda. Gue tau itu. Artha bukan lagi sibuk atau apa. Dia lagi ada masalah.”

“Tapi bi—”

“Lo sama Reza cuman nggak sadar. Enggak, bukan kalian doang yang nggak sadar, sama gue juga nggak sadar. Gue baru sadar kemarin. Kemarin gue sadar dan nginget nginget kalau beberapa minggu terakhir Artha jarang join kita, kan? Artha sering ngilang kalau kita lagi nongkrong. Artha sering gak join percakapan kita di chat. Kalian tau kenapa?” Pertanyaan Eyzar barusan sontak membuat Sadam dan Reza mengerutkan keningnya.

“Karena dia berusaha ngejauh dari kita. Dia berusaha biar kita nggak tau kalau dia lagi ada masalah. Beberapa hari terakhir dia pasti lagi ngalamin masa-masa sulit. Tapi bukannya cerita ke kita, dia malah mendem masalahnya sendirian.”

Sadam menghela napas, “Bisa jadi ini cuman prasangka lo doang, Zar...” Kali ini, suaranya lirih.

Eyzar mengacak rambutnya frustasi. “Kalau kalian gak mau join yaudah. Gue nyebat sendirian aja!” ucap Eyzar tegas sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Sadam dan Reza.

“Zar—ah elah.” Sadam mengeluh karena tak berhasil menghentikan Eyzar. Lelaki itu lantas beralih menatap Reza, kesal. “Lo kenapa daritadi gak ikut ngomong sih? Kok malah diem doang?” Tatapan Sadam nampak sinis.

Reza meneguk salivanya dengan susah payah. Laki-laki itu mengerjapkan matanya berkali-kali. “S-soalnya lo sama Eyzar kalau lagi ngomong serius bahasannya suka berat. Gue gak bisa berkata-kata.”

“Ck.” Sadam beranjak berdiri dari duduknya.

“Lo mau susulin Eyzar, Dam?”

Sadam menoleh cepat. Lantas berdecak pelan, “Males. Gue mau pulang aja.”

“Loh kok gitu, Dam?”

“Gak tau ah. Males gue.” Sadam melangkah dengan cepat, meninggalkan Reza yang masih duduk di tempat dengan ekspresi kebingungan.

“Ini mereka kenapa sih pada sensian amat kayak cewek yang lagi pms, heran,” gumam Reza, sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Ah udah lah gue juga pulang aja.”


Eyzar berjalan menyusuri lorong sendirian. Sekolah kini sudah sepi, mungkin hanya tersisa satu atau dua orang yang terlihat masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Eyzar berjalan lemah dengan airpods yang tersumpal di telinganya. Tidak, Eyzar tidak sedang mendengarkan musik atau mendengarkan apapun. Ia hanya ingin menyumpal telinganya saja.

Hingga akhirnya laki-laki itu sudah tiba di taman belakang sekolah yang sudah sangat sepi. Eyzar memperhatikan sekitar dan memastikan bahwa tidak ada siapapun di sana selain dirinya. Dan rupanya tempat itu benar-benar sepi, tak ada sesiapa di sana, pikirnya.

Eyzar berdecak, masih kesal apabila teringat dengan Artha. Lantas laki-laki itu mulai mengeluarkan sebatang rokok yang ia simpan di sakunya sejak beberapa saat yang lalu. Ia hampir menyalakan rokok miliknya dengan alat pemantik yang sudah ia siapkan. Namun, suara teriakan seorang gadis berhasil mengalihkan perhatiannya. Dan otomatis, Eyzar buru-buru menghampiri sumber suara.

Eyzar membelalakkan matanya, tepat saat dirinya melihat dua orang saling bertengkar di sana.

“Anj*r lo! Udah gue bilang jangan pernah lo ganggu kehidupan gue lagi!!!” teriak sang lelaki sembari mendorong perempuan dengan keras.

“SIALAN LO, ARTHA!!!” Si perempuan itu, membalas dorongan laki-laki di hadapannya dengan sekuat tenaga. Namun apalah daya, tenaga Artha lebih besar darinya.

“Reina. Asal lo tau ya, gak semua hal yang lo inginkan itu harus lo dapetin. Ada masanya di saat lo harus nerima semuanya. LO EGOIS TAU GAK, REIN, LO EGOIS!” Artha mendorong-dorong tubuh Reina dengan telunjuknya.

Eyzar sungguh terkejut saat melihat peristiwa itu. Rasanya ia ingin segera menghampiri mereka berdua. Namun, badannya seakan-akan melarangnya untuk mendatangi Artha. Dan kini, Eyzar masih memperhatikan kejadian itu sembari bersembunyi di balik pohon yang cukup besar.

Plak!

Reina menampar Artha keras. “Lo bilang gue egois?!” Gadis itu menarik salah satu sudut bibirnya, sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. “Bahkan dunia pun tau, kalau lo yang egois. Lo yang mau menang sendiri. Dari dulu, lo selalu bikin gue menderita, Ar. Gara-gara lo gue menderita!!!”

Artha menggertakan giginya. Ia masih menahan emosinya. Tangannya mengepal dengan kuat. Jelas-jelas, sedari tadi Artha ingin sekali menghantam gadis yang ada di depannya.

“Gara-gara lo, Ar. Gara-gara lo, Mama gue meninggal. Gara-gara lo, sekarang gue sama Kak Melan harus hidup sendirian tanpa sosok ibu. Gara-gara lo, gue sama Kak Melan menderita, Ar, semuanya gara-gara lo!!!”

“Gue benci lo! Gue benci keluarga lo! Gue benci semua orang yang ada di sekitar lo!!!” Kini, suara Reina semakin kencang. Dadanya begitu sesak, matanya memerah menatap Artha di sana. Bahkan, ada sebutir air yang terjatuh dari mata Reina.

“Udah gue bilang, gue gak tau apa apa!” Artha mendorong Reina keras. Reina yang sudah melemah sejak tadi berhasil terjatuh karena tak kuasa menahan bobot badannya lagi. Gadis itu merintih.

Reina tersenyum miris, gadis itu mulai menitikkan air mata. “Gue... Gue capek, Ar, gue capek!!! Gue cuma pengen ngeliat lo ngerasain apa yang gue rasain. Gue cuman pengen lo kehilangan orang yang paling lo sayang. Makannya gue ngincer—”

“Apa? Lo mau apa?! Lo mau ngincer apa, hah?! Mau bikin orang yang gue sayang menderita lagi, iya?!” Artha menarik paksa tubuh Reina hingga gadis itu berdiri. Artha mencengkram kedua bahu Reina dengan erat. Artha marah, sungguh. Sedangkan gadis di hadapannya, malah menangis semakin deras.

“Gue benci lo... Gue benci... Gue benci...”

“Ck. Asal lo tau. Gue. Lebih. Benci. Sama lo. Camkan itu.” Artha melayangkan tatapan tajam pada gadis di hadapannya. Lantas, Artha membalikkan badannya dan hendak pergi meninggalkan Reina.

“Liat aja nanti!”

Ucapan Reina, sontak membuat Artha berhenti dan kembali menoleh dengan menatap sinis ke arah Reina.

“Liat aja nanti. Gue, gue bakal bikin orang itu hancur. Gue bakal bikin lo kehilangan dia. Dan gue bakal bikin orang itu—”

“GUE BILANG JANGAN PERNAH MACEM-MACEM SAMA ORANG YANG ADA DI SEKITAR GUE, ANJ*R!!!”

Artha mencengkram kerah baju Reina dengan keras. Sedangkan, Reina malah memberikan senyuman sinisnya. “Kenapa? Lo gak mau kehilangan dia? Iya? Tapi dulu kenapa lo mudah banget ngehancurin hidup gue dengan bikin hancur orang tua gue sendiri, Ar? Kenapa?!”

“Lo—” Artha mengacak rambutnya frustasi. “Lo nggak ngerti apa apa anj. Lo gak tau apa-apa! Jangan asal ngejudge kalau semua ini salah gue!!!” Artha berteriak.

Artha menggertakan giginya kesal, melihat Reina yang malah menatap nyalang pada dirinya. Emosinya kini memuncak. Tangannya mengepal dengan kuat. Dan lelaki itu, mulai melayangkan tangannya untuk menampar Reina. Namun, tidak jadi.

Reina diam. Gadis itu terkekeh. “Kenapa gak jadi nampar? Kenapa gak sekalian pukul gue aja, Ar?! Pukul gue, Ar! Pukul gue kayak yang waktu itu lo pernah lakuin ke gue!”

“Ck, sialaaan!!!” Artha hendak melayangkan tinjunya ke arah Reina.

Namun,

Bugh!

Artha tersungkur.

Artha tersungkur. Karena barusan, adalah bunyi keras tinjuan dari Eyzar untuk Artha. Iya benar, Eyzar menghantam rahang Artha hingga ia tersungkur di tanah.

Artha terkejut. Benar-benar terkejut saat melihat kemunculan Eyzar saat ini. “Lo—?”

“Kenapa?” tanya Eyzar lemah. “Kenapa lo mau ngelakuin hal kayak tadi ke perempuan? Kenapa? Dia cewek, Ar, lo nggak boleh nyakitin cewek apalagi sampai mau mukulin dia kayak tadi. Gak boleh, Ar...” Eyzar berkata lemah sembari menatap kecewa.

Artha berdiri sembari memegang rahangnya yang masih terasa sakit. “Dari kapan lo di sini?”

Eyzar terkekeh pelan. Lelaki itu tidak habis pikir. “Itu gak penting.”

“Dari kapan lo di sini?!” tanya Artha lagi dengan nada yang meninggi.

“Ck. Gue banyak kecewa sama lo.” Lantas Eyzar membalikkan badannya dan meraih tangan Reina dengan erat. Eyzar membawa pergi Reina dari sana. Meninggalkan Artha yang masih diam di tempat dengan semua keterkejutannya.

Napas Artha tidak karuan. Lelaki itu semakin emosi. Tangannya mengepal dengan sangat erat. “AARRGGHH!!!” Lelaki itu, mengacak rambutnya frustasi. “Lo salah paham Eyzar!!!”

Namun tentunya, kalimatnya barusan tak sampai di pendengaran Eyzar karena Eyzar sudah menghilang dari jangkauan pandangan Artha.