Artha dan Rasa Sakitnya


Setelah membaca pesan terakhir dari Artha, Eyzar sama sekali tidak berniat untuk membalasnya lagi. Lelaki itu sudah sampai di titik puncak kecewanya. Amarah yang sedari tadi ia tahan kini telah meledak. Dirinya tak kuasa lagi menahan air mata yang sedari tadi berusaha keluar dari matanya.

“ARRGHHHH!!!!”

Eyzar berteriak sekencang-kencangnya. Tak peduli apabila teriakannya terdengar oleh tetangga. Bahkan kini lelaki itu mengacak rambutnya frustasi. Eyzar merasa sangat sakit hati dengan ucapan Artha sedari tadi.

“Gue gak nyangka, Ar!!! Gue gak nyangka temenan sama orang seba*gsat lo, sialan!!!!”

Hati nya tercabik-cabik. Terlebih saat membaca pesan Artha yang sepertinya memberitahu bahwa Artha tidak tulus berteman dengan dirinya. Tapi apa tadi? Rupanya Artha hanya merasa kasihan pada Eyzar.

Brakk!!!!

Eyzar menjatuhkan kasar empat figura kaca yang berisi foto dirinya dan Artha.

“Gue kecewa banget, Ar! Ternyata selama ini gue emang gak pernah dianggap sama lo, sialan!!!” Lagi-lagi, Eyzar menjambak rambutnya sendiri dengan kasar. Lelaki itu bahkan tak peduli jika pecahan figura kaca yang berada di lantai telah melukai pergelangan kakinya walau sedikit.


Sementara di tempat lain, di kamar yang cukup besar berwarna putih polos itu, Artha menangis tanpa suara. Lelaki itu berjongkok sembari meninju-ninju tembok yang ada di hadapannya. Tangannya telah terluka. Sedari tadi lelaki itu telah menyakiti dirinya sendiri.

“Kenapa gue harus marah? Kenapa?!?!?!” suara Artha tertahan.

“Kenapa gue harus jadi orang yang emosian di saat situasi lagi kayak gini, kenapa?!?!?!” Kini, Artha mulai meremas kepalanya dengan sangat keras.

“Kenapa gue malah marah sama Eyzar, padahal jelas jelas emang gue yang salah!!! Kenapa, Artha, gob*** banget lo, anjr!!! AAARRGGHHH!!!!”

Lalu perlahan lelaki itu berdiri, berjalan menuju nakas dan meraih ponselnya yang masih menyala, menunjukkan roomchat dirinya bersama Eyzar beberapa saat yang lalu.

“Gue gilaaaaaa!!!!!!”

Tanpa ragu, lelaki itu melempar asal ponsel nya ke arah kasur. Untungnya, tidak menimbulkan kerusakan apapun.

Artha berusaha menenangkan dirinya. Lantas ia menghembuskan nafas berkali kali, guna meredamkan emosinya.

“Gapapa, Ar. Besok lo masih bisa perbaiki semuanya. Besok lo masih bisa minta maaf dan jelasin semuanya sama Eyzar. Oke, sekarang tenangin dulu diri lo, jangan sampai dikuasain sama emosi lagi.” Artha bermonolog pada dirinya sendiri.

Sudah merasa cukup baikan, lelaki itu memutuskan untuk keluar kamar dan mengambil air putih untuk minum dan meredakan sakit tenggorokannya. Namun, baru saja hendak membuka kenop pintu, Artha mendengar suara jeritan seorang gadis di luar sana. Suara jeritan dan tangisan seorang gadis, suara pukulan yang berasal dari pria paruh baya, serta suara berat lelaki muda yang kedengarannya sedang berusaha memisahkan keduanya.

Lagi-lagi, tubuh Artha melemas. Badan lelaki itu merosot dan memejamkan mata dengan pasrah. Kini, kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi telinga nya agar tak mendengar kebisingan di luar. Lelaki itu menangis, dadanya terasa sesak untuk kesekian kalinya. “Gue mau cerita semuanya ke lo, Zar. Tapi gue bingung, gue bingung harus mulai dari mana. Gue udah terlalu banyak nyembunyiin rahasia dari lo, Zar. Dan juga gue udah kalah sama rasa gengsi gue ke lo. Gue selalu maksain diri buat keliatan kuat di depan lo, tapi nyatanya gue gak bisa...”

Kini, Artha hanya bisa diam. Mendengarkan kebisingan di luar. Ini bukan kali pertamanya Artha mengalami hal seperti ini. Namun, Artha masih saja belum terbiasa.

Bugh!!!

“Pa!! Papa udah kelewatan!

“Saya gak peduli! Biar dia tahu rasa akibat tidak mau mendengarkan ucapan saya!”

“Tapi dia masih anak Papa, Pa!”

“Diam!! Kamu dan dia itu hanya beban! Gak tahu rasa terima kasih dan selalu membantah perintah saya.”

Pria paruh baya itu melayangkan pukulannya lagi, ke arah gadis di hadapannya. Gadis itu meringis kesakitan, “Pa... Maaf...”

“Diam kamu!”

Bugh!!!

Seorang lelaki muda telah melayangkan tinju kepada orang yang disebut Papa-nya itu. “Papa kurang ajar!!!”

“Udah, Kak! Udah!!”

Menghela napas, Artha masih diam di posisi tadi. Lelaki itu sama sekali tak ada keberanian untuk melerai kejadian di luar sana. Keberanian Artha menciut apabila dihadapkan dengan sang Papa. Bahkan kini, lagi-lagi Artha hanya bisa diam di saat Papa-nya melakukan kekerasan pada kakak kandung laki-lakinya, dan kembarannya.


Author Note : Psssttt, Eyzar aja belum tau loh kalau ternyata Artha punya kakak sama kembaran 😞 Eyzar pikir Artha anak tunggal di keluarganya. Emang bener bener Artha, ishh :(