Bucin


Eyzar dan Reina berjalan berdampingan menelusuri lorong sekolah yang cukup penuh dengan murid-murid yang hendak pulang juga. Tak sedikit pasang mata yang memperhatikan keduanya dengan tatapan heran. Pasalnya, Eyzar hampir tak pernah terlihat berkomunikasi dengan perempuan di sekolahnya. Dan ini nampaknya baru pertama kali Eyzar berjalan dengan perempuan yang berasal dari sekolahnya juga.

Sesekali keduanya berbincang ringan tanpa memperhatikan pandangan orang. Bahkan, mereka terlihat seperti teman yang sudah lama akrab. Mereka tertawa bersama saat ada obrolan yang konyol, dan Eyzar pun sudah sedikit berani untuk merangkul bahu Reina tanpa ragu.

Tanpa Eyzar sadari, Sadam dan Reza sedari tadi memperhatikan dirinya dan Reina. Namun, tidak ada keinginan bagi Sadam untuk menghampiri lelaki itu.

“Dam? Nggaakan nyamperin?” tanya Reza, bermaksud mengajak Sadam untuk menghampiri Eyzar.

Sadam berdecak, “Ck. Ga ah, biarin aja dia yang nyamperin kita duluan,” ujarnya, sbeleum akhirnya berjalan ke arah yang berlawanan dengan Eyzar.

Kembali kepada Eyzar dan Reina. Kini, keduanya sedang berbincang-bincang mengenai masa lalu Reina yang ternyata penuh dengan rasa sakit yang tak terbayangkan. Gadis itu rupanya selalu merasa tertekan karena tuntutan dari sang Papa. Reina yang terlahir tak terlalu pandai, selalu dituntut menjadi sempurna terlebih dalam bidang akademik. Selain itu, setiap dirinya memberontak dan mengeluarkan unek-uneknya pada sang Papa, ia akan mendapatkan amukan yang luar biasa dari pria paruh baya yang selalu ia harapkan kasih sayangnya.

“Sorry, Rein. Gue gak tau kalau selama ini lo punya masalah kayak gitu.”

Reina sedikit tertawa, “Santai kali, Zar. Gue gapapa kok, udah biasa, udah dari kecil banget lagian.”

Keduanya menghela napas bersamaan.

“Makannya, waktu pertama kali mampir ke rumah lo, gue seneng banget ngeliat di foto lo sama keluarga lo keliatan bahagiaa bangeet. Gue juga pengen kayak gitu, Zar.” Reina terkekeh pelan. “Gue pengen punya keluarga harmonis kayak lo. Ya walaupun rasanya gak mungkin banget bagi gue.”

“Gaada yang gak mungkin di dunia ini,” sahut Eyzar cepat, sebelum Reina melanjutkan kalimatnya lagi.

Reina tersenyum, “Engga bisa, Zar. Semuanya udah hancur, semuanya udah rusak, bakal sulit banget buat diperbaikin. Asal lo tau aja, bukan gue doang yang dapet perlakuan kayak gitu dari Papa gue. Bahkan, kakak gue sendiri pun selalu dikasarin sama Papa gue sendiri gara-gara dia selalu bertingkah nakal. Padahal dia nakal juga cuman karena dapet perhatian dari Papa.” Di akhir kalimatnya, Reina tertawa miris.

Tak terasa, mereka berdua pun kini telah sampai di parkiran.

“Dan satu hal yang mungkin lo bakal kaget ngedengernya.”

“Apa?”

“Hubungan gue sama kembaran gue sendiri pun sekarang udah lebih dari kata hancur. Gue udah dipenuhi rasa benci sedalam-dalamnya sama dia, dan dia pun kayaknya udah gak nganggep gue lagi sebagai kembaran, dan itu gara-gara gue yang gak pernah bisa lupa sama masa lalu,” sambung Reina, yang otomatis membuat mata Eyzar terbelalak.

“Lo punya kembaran? Kok gue baru ta—”

“Rein!”

Suara berat yang berasal dari belakang, berhasil membuat keduanya menoleh bersamaan.

“Kakak? Kok lo ke sini?” tanya Reina yang agak terkejut karena keberadaan kakaknya di sekolah ini secara tiba-tiba.

Melan terkekeh, “Gue mau jemput adek gue sendiri, yakali gaboleh.” Dan saat matanya beralih ke lelaki yang berada di sebelah Reina, Melan memiringkan senyumnya. “Lo? Ngapain lo jalan bareng adek gue?”

Eyzar diam. Ia masih mencerna situasi saat ini. Tunggu? Apakah yang dimaksud kakak oleh Reina adalah Melan? Jadi, Melan adalah kakak kandung Reina?

“Hei, kok malah bengong, Zar?” Reina berhasil membuyarkan pikiran Eyzar.

“Hah? Oh, engga, gapapa,” sahut Eyzar sembari membuang muka nya yang terlihat kebingungan. “Bentar, jadi Melan ini kakak lo?” tanya Eyzar bisik-bisik di telinga Reina. Dan gadis itupun mengangguk cepat yang membuat Eyzar menghela napas berat.

Melan terkekeh pelan, “Kenapa, Zar? Kok lo kaget gitu sih? Kaget ya karena ketauan sama cewek lain?” Senyuman sinis pun kini muncul di bibir Melan.

Eyzar mengerutkan keningnya, “Maksud lo?”

“Gimana ya kalau El tau lo jalan bareng cewek lain, bahkan cewek itu adalah adik gue sendiri?” Melan mengangkat salah satu alisnya.

Eyzar berdecak. Masih menahan emosi nya agar tidak lepas seperti hari yang lalu.

“Oh iya juga ya!” Melan menepuk dahinya sendiri, “Gue baru inget. Lagian kan lo sama El emang gaada hubungan spesial sama sekali. Jadi yaa gak masalah lo jalan sama cewek lain, iya kan?”

Eyzar masih diam.

Lantas, Melan menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Eyzar, “Berarti kalau gitu, El juga bebas dong jalan sama cowok lain? Hehehe, gue mau ngajak jalan dia aahh.”

Eyzar terkekeh sini, “Emangnya dia mau jalan bareng lo?”

Melan pura-pura sedih, “Hmmm iya sih, kemungkinan besar nya dia gaakan mau jalan bareng gue. Itusih sekarang, gatau kalau nanti.” Melan menaikturunkan alisnya, lantas dengan cepat menarik Reina. “Yuk ah, pulang.”

Eyzar masih diam di tempat dan memperhatikan Melan dan Reina yang perlahan berjalan menjauhinya. Tidak diragukan lagi, mereka memang adik kakak kandung. Dapat dilihat dari cara mereka mengobrol, dan saling menjahili seperti adik kakak pada umumnya.

Namun, ada satu hal yang tiba-tiba muncul dalam benak Eyzar. Lelaki itu teringat akan apa yang diucapkan El tadi siang. “Tadi Melan tiba-tiba nembak gue di kantin fisip depan banyak org.”

Lelaki itu berdecak. Lantas buru-buru menyusul Melan yang belum jauh dari dirinya.

“Lo—” Eyzar mencengkram kasar kerah baju Melan yang baru saja ia tarik dari belakang, “Jangan deketin Kak El,” bisik Eyzar kasar, sangat dekat dengan wajah Melan itu.

Masih terlihat santai, Melan justru terkekeh pelan, seakan-akan meremehkan lelaki yang ada di hadapannya. “Kenapa? Kenapa gue gak boleh deketin El? Apa hak lo ngelarang gue, hm?”

Eyzar berdecak dan semakin mengeratkan cengkeramannya. “Lo ngedeketin Kak El pasti ada niat buruk, kan? Gue gak mau lo macem-macem sama Kak El.”

Melan melepaskan cengkraman Eyzar dengan sekuat tenaga. Dan kini, keduanya malah saling melayangkan tatapan tajam satu sama lain. Reina yang berada di sana pun bahkan tak ada niatan untuk menengahi, justru dirinya hanya diam dan memperhatikan dengan seksama sembari memperlihatkan senyum simpul di bibirnya.

“Gak usah berpikiran aneh kali. Gue ngedeketin El ya karena gue suka sama dia lah.”

“Ck. Tapi gue gak suka cara lo ngedeketin dia.”

Melan tertawa sarkas. “Setiap orang punya caranya masing-masing kali. Lo gak perlu khawatir. Gue suka sama El, dan gue harap kita bisa bersaing sehat.” Melan menaikturunkan alisnya sembari tersenyum. “Gue yakin sih suatu hari nanti dia pasti mau sama gue, orang tadi aja gue udah jalan bareng dia.” Senyuman Melan, kini berubah menjadi senyuman meremehkan.

Eyzar mengerutkan keningnya, ia tidak percaya apa yang baru saja diucapkan Melan. Namun, ia masih menunggu Melan membuka ponselnya yang tak lama kemudian menampilkan—foto El sedang makan?

Melan tertawa miring, “See? Gue ngajak dia makan bareng tadi di cafe, dan gaada penolakan tuh dari dia.”

Eyzar kini sudah memanas. Rasa cemburunya tak tertahankan lagi. Pasalnya, sejak awal lelaki itu memang sangat tak suka pada Melan. Maka dari itu, saat mengetahui El bersama dengan Melan, Eyzar cukup kesal.

Bugh!

Satu pukulan sukses sampai di rahang Melan. Reina terkejut. Gadis itu niat hati ingin membantu Melan, namun Melan melarangnya. “Biarin, urusan gue sama Eyzar kok.”

Melan masih memegang rahangnya yang terasa sakit. “Padahal gue cuman minta kita bersaing sehat loh, kok lo malah marah?”

“Ck. Kak El punya gue.”

Melan diam sesaat. Lantas beberapa detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha! Apa kata lo? El punya lo? Hahahaa yaampun bentar gue ketawa dulu.” Eyzar masih diam, menampilkan tatapan tak suka nya. “Heh! Lo aja bukan pacarnya El, ngapain ngaku-ngaku El punya lo segala? Sok bangeet. Lagian emangnya El masih mau sama lo kalau dia tau lo deket sama Reina? Setau gue El cemburuan loh.” Melan tertawa sinis.

Eyzar memejamkan mata sesaat sembari menghela napas kasar. Lelaki itu sangat kesal sekarang. Kedua tangannya sudah mengepal dan siap melayangkan pukulan untuk kedua kalinya.

“Sialan lo!”

Namun, sebelum berhasil melayangkan pukulan keduanya, Eyzar merasakan tas nya ditarik dari belakang sehingga dirinya mundur beberapa langkah.

Duk!

El yang entah muncul darimana, memukul kepala Eyzar dengan botol minum yang ada di genggamannya. “Anj eh astaghfirullah sakit!” keluh Eyzar.

“Gue bilang kalau mau berantem jangan di depan umun, cil!” bisik El, sembari menggenggam kasar pergelangan tangan Eyzar dengan sangat keras.

“I-iya iya, aduh ini lepasin dulu atuh ih sakit.”

“Gak. Gue lepasin tangan lo yang ada lo malah mukul Melan lagi.”

“Sshh.” Eyzar merasakan kesakitan karena kini El malah mencubit lengannya. “Kak El muncul darimana sih? Aneh banget tiba-tiba ada di sekolah?” Eyzar menggembungkan pipinya, pura-pura kesal.

“Diem dulu,” ucap El.

Lantas, kini pandangan El beralih kepada dua insan yang berada di depan sana. Tidak lain dan tidak bukan adalah Melan dan adiknya, Reina.

“Hei, ketemu lagi kita.” Reina tersenyum, berniat menyapa El, namun sapaan itu sama sekali tidak El gubris.

“Lo ngomong apaan ke Eyzar sampe sampe dia kesel?” tanya El menginterogasi.

Melan mengarahkan matanya ke arah lain seakan-akan sedang berpikir. “Hmmm, gue gak ngomong aneh-aneh kok.

El mengangkat salah satu alisnya.

“Asli deh.” Melan mengangkat dua jarinya. “Gue cuman ngomong kalau gue suka sama lo, dan gue minta buat bersaing sehat aja. Gak salah, kan?” jujur Melan.

Mendengar pernyataan dari Melan, El segera menoleh ke arah Eyzar dan mendapati lelaki itu sedang menampilkan wajah tak berdosa nya. Gadis itu menghela napas, “Yaudah.”

“Ikut gue.” El meninggalkan mereka, dan otomatis langkahnya segera diikuti oleh Eyzar, “Iya Kak El tunggu!”

Seperginya mereka, Reina menatap Melan dengan tatapan heran, “Kak? Kok lo malah senyum sih ngeliat mereka barengan kek gitu?!”

Melan menoleh, “Gak, gue seneng aja ngeliat El. Kek adeem gitu bawaannya.” Melan menaikturunkan alisnya.

“Ish, bucin mulai.”

Lantas, Melan hanya memberikan cengiran andalannya.