Salah Paham
El sudah sampai di depan gerbang rumah Eyzar. Gadis itu menenteng keresek yang cukup besar berisi makanan dan minuman kesukaan Eyzar. El tahu, Eyzar sangat suka ngemil. Terlebih lagi saat kondisi Eyzar sedang dalam kondisi mood yang buruk, anak laki-laki itu pasti akan membutuhkan cemilan yang banyak untuk mengembalikan mood nya.
Baru saja El menyapa Pak Satpam saat dirinya dipersilakan masuk, tiba-tiba ada suara klakson mobil yang begitu kencang menusuk ke dalam pendengaran El. Gadis itu kesal, namun mau tidak mau, El tetap harus minggir.
“Bang Dhaka? Ngapain dia ke sini?” gumam El pelan saat melihat mobil tersebut adalah mobil Dhaka.
El menghampiri mobil itu, dan tak lama kemudian Dhaka pun turun dari mobil sembari menenteng keresek yang cukup besar pula. Sama, nampaknya berisi makanan dan minuman yang biasa Eyzar jadikan cemilan.
“Lo ngapain ke sini?!” tanya El sarkas. Jelas-jelas gadis itu tak suka atas kedatangan Dhaka. Bukan karena apa-apa, tapi ia hanya tidak ingin waktu berduaan dengan Eyzar hari ini terganggu oleh laki-laki di depannya itu.
Dhaka mengerutkan kening, “Gue? Ya gue mau datengin Eyzar aja, sekalian gue mau minta maaf sama dia. Kayaknya tadi gue terlalu keras dan marahin dia, padahal dia daritadi keliatan lagi ada masalah,” jelasnya.
El berdecak. “Ck. Gak usah lah, udah sama gue aja, lo pulang aja gih!”
“Idihhhhhh?! Kok ngusir???”
“Eyzar biar tenangin sama gue aja. Lo pulang sana! Ganggu.” Tanpa basa-basi, El langsung berjalan ke arah pintu dengan cepat.
Dhaka terkekeh, namun ia tetap keukeuhh ingin menemui Eyzar, tak peduli seberapa keras El melarangnya.
“Gue juga ikut atuh.”
“Ih ngapain sih ah ganggu aja. Sana lo, bang!”
Dhaka tergelak, “Yaelahh, segitunya lo pengen berduaan sama Eyzar sampe sampe ngusir gue, El?”
“Ih nggak gitu. Udah ah sana, gue mau masuk.”
El membuka pintu rumah Eyzar dengan mudah. Pasalnya, gadis itu memang memegang kunci cadangannya, jadi akan mudah apabila ia ingin datang ke rumah Eyzar kapanpun ia mau.
El membuka pintu, namun ia menahan agar Dhaka tidak ikutan masuk.
“Ih. Bang Dhaka pulang aja!”
“Ogah ya! Gue capek capek ke sini yakali langsung diusir gini??”
El masih berusaha agar Dhaka tidak berhasil masuk. Dan kini ia menggunakan mata nya untuk menakuti Dhaka. Tatapannya begitu tajam mengarah ke arah Dhaka kesal. “Pulang? Atau gue tendang?”
Dhaka terkekeh, “Ah elah gue mah udah biasa kali ngeliat tatapan tajem lo kayak gitu. Gak takut, wle wle wle!” Dhaka malah menye menye di hadapan El.
“Nyebelin lo anj!”
“Awwww!!!!! Sakit beg—”
“Kak El? Bang Dhaka? Kok malah pada berantem?” Suara Eyzar yang khas itu berhasil membuat El dan Dhaka sama sama terdiam.
“Eyzar! Untung lo ke sini. Sumpah ya masa El gak ngizinin gue masuk sih? Ini rumah lo, kenapa dia yang larang coba? Aneh, ish,” keluh Dhaka pada Eyzar. Dhaka sekarang sudah masuk ke dalam rumah Eyzar karena El sudah tidak menahannya lagi.
El berdecak kesal. Ia tidak menggubris pernyataan Dhaka barusan. Gadis itu langsung menerobos masuk ke ruang tengah dengan kesal, melewati Eyzar yang masih diam kebingungan.
“Kak El kenapa, Bang? Kok kayak yang kesel tadi jalannya?” tanya Eyzar pelan saat El sudah tidak ada di ruang tamu lagi.
Dhaka menaikturunkan bahunya. “Mana gue tauu? Dia kesel kali gara-gara waktu berduaan sama lo nya keganggu.” Di akhir kalimat, Dhaka tertawa.
“Hadeuhh, masa Kak El gitu, gamungkin.” Eyzar geleng geleng kepala. “Tapi ngomong-ngomong, Bang Dhaka ngapain ke sini tiba-tiba?”
Dhaka tersenyum penuh makna, dan perlahan dia memegang pundak Eyzar yang sedikit lebih tinggi darinya. “Ngobrol di dalem aja yuk?”
Kini, di ruangan tengah rumah Eyzar, sudah berkumpul tiga insan saling berkawan.
El masih kesal dengan kedatangan Dhaka yang tiba-tiba. Gadis itu asik menonton televisi dan sama sekali tidak menggubris dua laki-laki yang sedari tadi berada di sebelahnya.
Namun, bukan El saja yang kesal. Jelas-jelas Eyzar juga merasa sedikit kecewa dengan El. Ia pikir, saat El datang, gadis itu akan langsung merangkul Eyzar dan membiarkan Eyzar untuk menceritakan keluh kesahnya. Namun apa yang terjadi? El malah seakan-akan menyuruh Eyzar untuk bermain tebak-tebakan atas apa yang sedang dirasakan El saat ini sehingga gadis itu nampak sangat kesal.
Sedangkan Dhaka, laki-laki itu hanya menghela napas gusar. Ia ingin sekali mematahkan suasana tidak jelas ini. Namun, sedari tadi Dhaka bingung bagaimana memulai perbincangan yang baik dan benar.
“Kalau gak ada urusan lagi selain ngasih Eyzar makanan, mending Kak El sama Bang Dhaka langsung pulang aja,” ucap Eyzar dingin.
“Kok gitu? Gue ke sini kan mau ngobrol ngobrol dulu sama kalian berdua. Sebenernya awalnya mau sama Eyzar doang sih, tapi karena El ada di sini, jadi ya sekalian aja, ada yang mau gue omongin juga sama El.”
Berbeda dengan Dhaka. Saat mendengar Eyzar yang menyuruhnya pulang, El langsung berdiri dan meraih tas kecilnya. Gadis itu berjalan ke arah pintu tanpa melirik Eyzar sedikitpun.
“El lo mau ke mana?” tanya Bang Dhaka.
El menoleh, “Pulang lah.”
Dhaka berdecak kesal. “Kok malah lo yang pulang sih? Cuman gara-gara gue di sini jadi lo mau langsung pulang gitu?!”
El tertawa sarkas, “Bang Dhaka gak denger? Tadi Eyzar sendiri yang nyuruh gue sama lo pulang. Ya seharusnya nurut gak sih? Ini rumah dia. Jelas-jelas dia ngusir gue, jadi ya mending gue langsung pulang.”
“Eyzar bukan ngusir Kak El!!!” Eyzar berdiri sembari bersuara dengan kencang.
“Eyzar cuman enggak suka sama suasana canggung kayak tadi. Eyzar cuman bingung kenapa daritadi Kak El cuman diem doang dan malah nampakkin wajah kesel depan Eyzar. Eyzar capek, Kak El, Eyzar lagi capek hari ini, tapi kenapa malah Eyzar yang disuruh peka sama kondisi Kak El? Harusnya Kak El yang ngertiin Eyzar hari ini.” Eyzar menghela napas, “Asal Kak El tahu, seharian ini Eyzar lagi banyak masalah. Tapi kenapa Kak El dateng dateng malah nambah nambahin pikiran Eyzar? Eyzar pusing.”
El tak habis pikir, “Oh gitu? Jadi gue dateng cuman nambah nambahin masalah buat lo? Oke. Kalau gitu gue gak akan pernah datengin lo lagi.”
“Bukan gitu Kak El yaampun!!! Kak El tuh kenapa sih? Eyzar sering banget gak paham sama kelakuan Kak El. Jarang ngomong, jarang cerita, tapi tiba-tiba bersikap dingin atau kesel kayak gini? Eyzar tuh gak paham, Eyzar bukan cenayang. Eyzar males kalau harus terus-terusan berusaha mahamin Kak El tapi Kak El sendiri gak pernah berusaha mahamin kondisi Eyzar.”
“Zar, El, udah.” Dhaka berusaha menengahi.
“Bang Dhaka diem! Eyzar pusing. Eyzar capek banget hari ini. Eyzar minta Kak El dateng ke sini cuman karena Eyzar pikir dengan adanya Kak El, Eyzar bakal bisa kembali tenang. Tapi apa? Kak El malah tiba-tiba kayak gini? Eyzar gak ngerti.”
“Gue juga pusing. Udah, gue mau pulang.”
“Oke! Kalau gitu mau Kak El, Eyzar juga gak mau ketemu Kak El lagi!”
El merotasikan bola matanya, jengah. Lantas niatnya untuk segera pulang semakin tinggi. Alhasil, gadis itu melangkah kembali untuk segera keluar dari rumah Eyzar.
Eyzar menghela napas pasrah saat melihat El semakin melangkah keluar, bukannya menghampiri Eyzar dan mengaku kalau dirinya salah. Ah, lagipula Eyzar sudah tidak ingin berharap lagi.
Sekarang malah Dhaka yang kebingungan. Laki-laki itu tidak habis pikir dengan tingkah El yang tiba-tiba. Tidak mungkin kan kalau El bersikap seperti tadi hanya gara-gara kedatangan Dhaka yang menganggu waktu El dan Eyzar. Tidak mungkin. Pasti ada hal lain yang menganggu pikiran El hari ini.
“El, harusnya lo gak bersikap kayak gini.” Dhaka berhasil mencekal pergelangan tangan El tepat saat gadis itu hendak membuka pintu utama.
“Bang, lepasin.”
“Gak. Gue gak suka kalau lo bersikap kayak tadi ke Eyzar. Lo malah nambah pikiran dia tau gak?”
“Yaudah oke. Gue cuman beban dia berarti, kan? Kalau gitu mendingan gue pulang.”
“Bukan gitu, El. Dengan lo bersikap aneh kayak gini, jelas bakal bikin Eyzar overthinking. Tapi kalau lo kembali ke dia dan jelasin apa yang bikin lo kesel, dia juga bakalan paham sama keadaan lo, El.”
Dhaka menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya. “Gue tau. Gue tau dari Karin, dia sepupu gue. Gue tau semuanya El, hari ini juga hari yang berat buat lo kan? Di kampus lo banyak dimarahin sama dosen, presentasi lo kacau cuman garagara salah satu anggota lo yang gak bertanggung jawab. Dan lo lagi banyak dighibahin sama mahasiswa lain gara-gara kejadian di lapangan yang ngelibatin Eyzar sama Melan. Abis itu lo malah dipanggil buat photoshoot dadakan. Gak beres sampe situ. Lo lagi capek, tubuh lo istirahat, tapi lo maksain buat datengin Eyzar cuman karena Eyzar bilang dia lagi badmood dan butuh temen cerita. Lo maksain ke sini tapi—”
“Tapi Eyzar malah ngusir gue,” potong El. “Udahlah, Bang. Jelas-jelas dia gak menghargai usaha gue, kan? Makannya mending gue pulang aja.”
“Gak gitu, El, astaghfirullah!!” Dhaka mengacak rambutnya frustasi. “Eyzar bukannya gak menghargai kedatangan lo.”
“Terus apa?”
Dhaka menghela napas, “Pusing gue ngomong sama cewek cuek kayak lo.”
El berdecak kesal. Gadis itu berusaha melepas tangannya dari cekalan tangan Dhaka. Namun, sedari tadi usahanya tidak berhasil.
“Dia bukan gak menghargai lo, El. Eyzar cuman nggak ngerti, dia nggak tau kondisi lo. Bukan, bukan karena dia gak peka, tapi karena lo sendiri yang gak mau ngejelasin tentang keadaan lo ke dia. Coba lo jelasin baik-baik, kalau hari ini kondisi lo juga lagi gak baik-baik aja. Kalau gitu, pasti gak akan ada kesalahpahaman kayak tadi, El. Lo sama Eyzar tuh cuman misskom aja.”
“Ck. Aneh lo, bang. Jelas jelas hari ini Eyzar banyak masalah, yakali gue ceritain masalah gue ke dia juga. Yang ada dia nambah badmood.”
“Gue yakin gak bakal kayak gitu. Justru dengan lo mau berbagi cerita ke dia, dia bakalan seneng. Dia bakalan seneng karena dia ngerasa spesial bisa jadi tempat cerita lo. Dia bakalan seneng El.”
El terdiam. Gadis itu sedikit sadar. “Jadi semua ini gue yang salah, Bang?”
“Enggak, gue yang salah.” Kata Dhaka, yang otomatis membuat El mengerutkan keningnya. “BECANDA! Ya iyalah lo yang salah, ya kali gue diem daritadi tapi gue yang salah. Gimanasih.” Dhaka kesal.
El memutar bola matanya lagi, kesal. “Yaudah.”
Lantas, gadis itu kembali masuk ke dalam guna menghampiri Eyzar yang mungkin saat ini kondisi mood nya semakin memburuk.