Melandri Gregorio

“Nih.”

Tiba-tiba, ada sebuah botol dingin yang sampai di genggaman tangan El. Gadis itu mengernyit, rasanya aneh jika Eyzar sudah kembali, padahal Eyzar baru saja pergi untuk membeli minum.

“Ini, buat lo. Abis main basket pasti capek kan?” Laki-laki itu, mendudukkan dirinya di sebelah El.

“Melan...?”

Laki-laki itu terkekeh sembari mengambil posisi duduk di sebelah El. Tepat di sebelah El, dengan jarak yang sangat dekat. “Gue kating lo elah. Panggilnya pake embel embel 'Kak' dong, yang sopan,” katanya.

“Ngapain lo di sini?”

“Gue? Ngapain?” Dia tertawa di sela-sela kalimatnya, “Ya nggak ngapa ngapain sih gabut doang. Daritadi gue lagi jogging di daerah sini eh taunya ketemu lo, yaudah gue pantengin aja dari awal sampe sekarang.” Laki-laki itu tertawa sembari menatap El dengan lekat.

Sedangkan, El menatap Melan dengan tatapan tidak suka. Tatapan yang begitu tajam seolah-olah mampu menusuk laki-laki itu kapanpun ia mau.

“Eh masih belum dibuka juga minumnya? Apa mau gue bantu bukain?” godanya.

El mendorong botol minum itu kepada sang empunya. “Ga usah sok akrab.”

“Hahahaha!” Melandri Gregorio, laki-laki itu tertawa. “Kita kan emang belum akrab, makannya gue di sini biar gue bisa lebih deket sama lo. Alias ya—PDKT mungkin?” Cengiran pun muncul di bibir Melan tanpa rasa malu sedikitpun.

El memutar bola matanya, jengah, dan kembali menatap Melan dengan tajam. “Lo daritadi di sini, kan?”

Melan mengangguk sembari menaikturunkan alisnya. Nampaknya, laki-laki itu begitu percaya diri.

“Berarti lo liat kan daritadi gue sama siapa?” tanya El ketus.

“Aaahhh!!!!” Melan menjentikkan jarinya, “Gue liat! Iya gue liat. Daritadi lo sama adek laki-laki lo, kan? Kenapa emangnya? Maksudnya kode nih kalau gue mau deketin lo berarti gue harus deketin adek lo dulu? Apa gimana?”

El menaikkan salah satu alisnya, “Adek...?”

“Iya...? Itu yang tadi, cowok yang main basket bareng lo itu adek lo, kan?”

El menatap tidak percaya pada Melan. Bahkan mulutnya sedikit menghembuskan napas kesal pada laki-laki itu. “Dia bukan adek gue, sorry.”

“Terus siapa dong?” Melan masih mengajukan pertanyaan yang betul-betul El tidak ingin ladeni.

“Cowok gue.” Dengan nada ketus, El asal ucap. Gadis itu hanya tidak ingin diganggu lagi oleh Melan, si kakak tingkat yang banyak menjadi omongan para mahasiswi di kampusnya.

El berdiri dengan kasar. Wajahnya sudah menandakan bahwa ia tak ingin lagi melanjutkan perbincangan dengan Melan. El benar-benar tidak suka apabila diganggu oleh orang yang bahkan tidak akrab dengan dirinya.

Sebelum El berhasil melangkahkan kakinya, Melan berhasil mencekal pergelangan tangan El. “Gue ga percaya. Masa bocah kayak dia jadi cowok lo? Aneh,” kata Melan.

El menghempaskan tangan Melan dengan kasar. “Lo yang aneh.”

Lantas gadis itu melangkah pergi dengan kesal.

“El—ah, sial.” Melan berdecak. Karena percuma saja dirinya memanggil El yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya.

Sedangkan El, gadis itu bahkan sudah berjalan cukup jauh, namun teringat dengan jaket milik Eyzar yang tadi masih tersampir di bangku taman. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk kembali sebentar.

Namun sialnya, Melan masih ada di sana.

Laki-laki itu terkekeh, “Kenapa balik lagi? Lo nyesel ya ninggalin gue? Hehehe,” Melan memberikan cengiran nya.

El berdecak kesal. Gadis itu tidak menggubris perkataan Melan sama sekali. El langsung meraih jaket milik Eyzar dengan keras, lantas kembali melangkahkan kakinya, menjauh dari tempat Melan berada.

Di tempatnya, Melan hanya tersenyum miris, dan tertawa lemah, “Ternyata gue punya saingan ya,” batinnya.