Janji dan Permintaan

“Kak El mau nyari buku apa lagi?” tanya Eyzar yang sedari tadi hanya mengikuti El dari belakang. Laki-laki itu menggembungkan pipinya karena sangat merasa bosan.

“Kak El masih lama ga? Kan tadi katanya udah nemu buku buat referensi tugas nya, sekarang mau ngapain lagi ish? Eyzar bosen.”

El terkekeh, lantas membalikkan badannya guna berhadapan dengan Eyzar, “Gue mau nyari novel dulu ya bentar.”

Eyzar mengulum bibirnya, “Yaudah oke...” lirihnya pasrah.

Kalau ditanya apakah Eyzar merasa bosan apa tidak, jawabannya adalah tentu saja iya! Eyzar dan El sudah berada di toko buku ini hampir 2 jam, dan sedari tadi El hanya mendapatkan dua buku yang menurutnya cocok untuk dijadikan bahan referensi. Selain itu, sekarang El malah mencari novel fiksi remaja untuk bahan bacaannya sebagai hiburan. Ah, apa boleh buat, Eyzar hanya bisa mengikutinya dari belakang. Lagipula Eyzar tidak terlalu menyukai buku, baik itu fiksi ataupun non-fiksi.

“Zar,” El melambaikan tangannya, memberi kode agar Eyzar mendekat ke arahnya. “Kata lo mending buku ini apa ini ya?” tanya nya kepada Eyzar sembari menunjukkan dua novel yang cukup tebal.

Eyzar mengernyitkan keningnya, “Kok tanya Eyzar? Eyzar kan gatau itu cerita nya gimana, Eyzar juga belum pernah baca tuh novel itu, jadi ya gausah tanya Eyzar.” Eyzar cemberut. Anak laki-laki itu niatnya hanya ingin menghabiskan waktu bersama El saja. Tapi sedari tadi, El hanya fokus pada buku, buku, dan buku.

El menghela napas, “Hmm, gue udah baca sih sinopsis sama pernah liat juga review nya dari orang-orang.”

Eyzar mulai menyimak El dengan cukup serius.

“Kalau novel yang ini katanya nyeritain tentang cowok sahabatan sama cewek, dan mereka tuh sama sama saling nyimpen perasaan diem diem. Terus ceweknya itu kan cuek banget, nah pokoknya buku ini nyeritain tentang perjuangan si cowok buat dapetin ceweknya, dan perjuangan si cewek buat ngalahin rasa gengsinya yang tinggi gitu.”

El lantas menunjukkan novel satunya lagi, “Kalau yang ini sih ceritanya tentang cewek suka sama cowok, tapi cowoknya ga peka peka, terus cowoknya juga hobi banget mainin cewek. Ya gitudeh intinya.”

Eyzar masih diam menatap El dengan lekat. Jarang-jarang El berbicara panjang lebar seperti ini.

“Jadi menurut lo, mending yang mana?”

“Hhmm, yang pertama aja deh.”

“Kenapa?” tanya El penasaran.

“Soalnya kayaknya ceritanya cocok kayak cerita Eyzar sama Kak El,” gumam Eyzar pelan, yang padahal masih terdengar jelas oleh El yang ada di sampingnya.

“Hah?”

“Ah, e-engga, i-itu, cuman, ya.. gatau sih, Eyzar kan cuman ngasih saran aja, itu kayaknya buku yang pertama juga cover nya bagus gitu menarik.” Eyzar mengalihkan pandangannya agar tak bertatapan dengan El.

El tertawa ragu, “Hahaha, okee... Kalau gitu gue beli yang ini aja deh.”

Lantas, keduanya langsung menuju kasir untuk membayar buku yang telah El pilih. Oh ayolah, mereka berdua sudah menghabiskan waktu sekitar dua setengah jam, namun dengan waktu selama itu, hanya tiga buku yang El pilih dan jadi dibeli.

“Totalnya jadi 368.000, Kak,” ucap kasir wanita yang ada di sana.

“Ah, oke.”

El hendak mengeluarkan uang dari dompetnya, namun tangannya ditahan oleh Eyzar dengan gesit. “Biar Eyzar aja yang bayar.”

“Lah kok gitu? Enggak ah pake uang gue sendiri aja.”

“Ga ga ga, Eyzar aja yang bayar.” Eyzar mengeluarkan kartu ATM nya, lantas menyerahkan pada mbak kasir dengan cepat.

“Ih, Eyzar...”

Yang dipanggil hanya memberikan cengiran lucunya, “Gapapa Kak El, kali-kali Eyzar yang bayarin.”

El hanya menghela napas. Apa boleh buat? Akhirnya ia hanya menurut saja pada laki-laki di sebelahnya itu.

“Ini ya, Kak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini, jangan ragu untuk datang kembali ya, Kak.”

El tersenyum, “Terimakasih juga, mbak.”

Namun sebelum El melangkah pergi, mbak mbak kasir itu membisikkan sesuatu, “Selamat menikmati waktu berduaan sama pacarnya ya, Kak, hehehe.”

Mendengar hal itu, El hanya tertawa canggung, “Hahaa, iya, mbak.”

Eyzar yang sudah ada di depan gedung toko itu hanya mengernyit saat El ternyata terlambat mengikutinya, “Abis ngobrol apa sama mbak kasirnya?” tanya Eyzar penasaran.

“Kepo.”


Di sore hari yang masih terang ini, El dan Eyzar belum kembali ke rumahnya masing-masing. Akhirnya mereka memutuskan untuk sekadar berjalan-jalan di taman kota yang cukup ramai pengunjung. Tidak terlalu ramai, namun tidak terlalu sepi juga.

Sesekali keduanya memperhatikan anak kecil yang gembira karena bermain bersama Mama Papanya. Sesekali mereka juga dapat melihat beberapa anak remaja yang asik bergurau dengan pasangannya. Selain itu, di sana mereka juga dapat melihat kebersamaan keluarga yang begitu hangat. Dan tak dapat dipungkiri, hal itu membuat mereka sedikit merasa iri.

“Kak El.”

“Hm?”

“Eyzar kangen Ayah sama Bundanya Eyzar.”

“Sama, gue juga kangen Mama Papa gue.”

Eyzar menghela napas, “Eyzar juga kangen Kak Elvan sama Kak Ellyna.”

“Sama, gue juga kangen adek gue.”

Dan kini keduanya hanya terdiam dalam lamunannya masing-masing. Mengingat masa-masa indah saat mereka masih memiliki kehangatan di rumah masing-masing. Di saat mereka masih belum mengenal apa itu rasa rindu dan kesepian. Di saat mereka masih asik tertawa bersama anggota keluarganya, sebelum pergi meninggalkan dunia ini.

Eyzar yang baru sadar dan merasa tidak ingin terlarut dalam kesedihan yang mendalam, lantas menggenggam erat tangan El yang berada di sebelahnya. Meyakinkan gadis itu, bahwa semuanya akan baik-baik saja meskipun kini mereka tak memiliki anggota keluarga untuk menghangatkan hatinya.

“Udah deh, niat kita ke sini kan buat seneng-seneng. Jadi, ga boleh sedih sedih ya?”

El tersenyum tipis. Sangat tipis. Gadis itu membalas genggaman tangan erat Eyzar dengan hangat. Gadis itu merasa senang karena memiliki Eyzar yang selalu menemaninya. Begitupun Eyzar, ia sangat senang jika El berjanji tidak akan meninggalkan dirinya seperti orang tua dan kedua kakaknya.

“Kak El gaakan ninggalin Eyzar kan?”

“Engga.”

Eyzar terkekeh pelan, “Eyzar gamau ya, kalau tiba-tiba nanti Kak El malah pamit tanpa izin, kayak Kak Elvan sama Kak Ellyna waktu itu.”

“Gaakan kok. Gue janji.”

“Bener ya janji?”

“Iya, Eyzar.”

Eyzar tertawa pelan, “Oke deh kalau gitu, bagus.”

“Hm.”

“Eh Kak El, ikut Eyzar yuk.” Tanpa aba-aba, Eyzar menarik pergelangan tangan El agar gadis itu mengikuti langkahnya.

Rupanya Eyzar membawa El ke sebuah lapangan basket yang berada di taman kota itu. Kebetulan, tidak ada siapa-siapa di sini. Mungkin banyak yang memilih menghabiskan waktu di tempat rerumputan penuh bunga dibandingkan lapangan basket ini.

“Ngapain ngajak ke sini? Ngajakin main basket?” tanya El sembari mengerutkan kedua alisnya.

Eyzar menyengir lucu, lantas melepaskan jaketnya dan meletakkannya di bangku taman yang berada di bawah pohon rindang. “Iya lah! Yuk ah main basket aja, satu lawan satu. Eyzar sebagai kapten basket sekolah pasti bakal menang dong.”

El tertawa renyah, “Wah bocil satu ini berani nantangin juga ya ternyata.”

Tidak mau kalah cepat, akhirnya El malah mengambil bola yang berada di lapangan dengan cepat, sebelum Eyzar meraihnya.

El langsung mendribble bola tersebut dan menggiringnya ke arah ring lawan.

“KAK EL IH KAN BELUM MULAI?!?!” Eyzar tidak terima.

“Gaada wasit yang ngasih aba-aba buat mulai, jadi ya harusnya inisiatif dong kalau mau mulai,” kata El sembari menaikturunkan alisnya.

“Ishhh!!!”

Eyzar berlari menyusul El dan ternyata dengan kecepatan yang tinggi, Eyzar berhasil merebut bola basket dari El. Eyzar berlari mendribble basket itu dengan cepat ke arah yang berlawanan, disusul dengan El yang berusaha merebut bola itu kembali.

Namun,

“YEAY! MASUK! HAHAHAHA EYZAR DAPET POIN!” Eyzar teriak sembari loncat-loncat kegirangan.

El menghela napas, “Dih, baru dapet satu poin aja bangga. Permainan masih panjang kali ah. Lanjut!”

“Bentar bentar.” Eyzar menghela El yang hendak merebut bola dari genggamannya.

“Apa lagi?”

“Gimana kalau kita bikin challenge?”

“Challenge apa?”

“Hmm bukan challenge sih, tapi intinya gini, nanti yang kalah harus nurutin permintaan yang menang. Gimana?”

El memberikan smirk terbaiknya, “Wah, boleh juga tuh.” Lantas gadis itu segera mengikat rambut panjangnya dengan ikat rambut hitam yang berada di pergelangan tangannya. “Oke, mulai!”

Keduanya mulai fokus dengan usaha nya masing-masing. Sesekali El yang berhasil merebut basket dari kuasa Eyzar, begitupun sebaliknya.

Saat salah satu dari mereka berhasil mencetak point, pasti salah satu nya merasa kecewa dan menghela napas berat. Namun, keduanya tetap merasa bahagia dan semangat memainkan permainan ini. Just enjoy the game.

“Yes! Masuk lagi! 23-20 hahaha point gue lebih gede!” El bersorak kegirangan.

“Ishhh!!! EYZAR BELUM KALAH AH LANJUT LAGI!”

“Hahaha oke ya, 5 menit lagi,” kata El, sembari melanjutkan permainannya.

Dengan usaha yang keras, Eyzar terus-terusan berusaha merebut bola dari kuasa El. Namun rupanya El yang gesit dan multitalent itu tidak mudah untuk dilawan. Eyzar yang sudah sangat pro bermain basket saja nampak kewalahan saat bertanding dengan El saat ini. Ah, kesalahan terbesar jika Eyzar berani menantang El seperti ini.

“Kak El ini jangan-jangan dulunya atlete basket ya?!” teriak Eyzar sambil berusaha menghadang langkah El.

El tertawa, “Lo sih pake lupa segala kalau gue jago di bidang olahraga.”

“Ya kan Eyzar pikir Eyzar yang bakal menang soalnya Eyzar kan udah diangkat jadi kapten basket nih!” guraunya.

“Dih songong beut, bocah!!!” kekeh El pelan.

Dan akhirnya,

“HAHAHAHAHA UDAH GUE MENANG!!! SKOR NYA 25-24!!”

“AARRGGGHH DIKIT LAGI PADAHAL!!!” Eyzar yang tidak terima atas kekalahannya hanya tertawa sembari menyibakkan rambutnya kasar. Lantas anak laki-laki itu merebahkan dirinya di lapangan.

El mengikuti Eyzar. Gadis itu hanya duduk dan menyelonjorkan kakinya yang terasa pegal dan lelah. Keduanya kini dibasahi oleh keringat yang begitu banyak.

“Gue menang, Zar, hahaha.” El puas.

“Iya iya.”

“Gue menang.”

“Iya, ish, bawel.”

“Hahaha gue menang, Zar!”

Eyzar bangun dari rebahan ya, “Iya, ih! Udah ah Kak El bikin Eyzar malu aja. Padahal Eyzar yang nantangin, tapi malah Eyzar yang kalah. Ahh! Lagian itu poinnya cuman beda satu, ish, gereget banget!” keluhnya.

El tertawa puas. Gadis itu melepaskan tawanya seperti tidak ada beban lagi yang menghantui pikirannya. Dan saat melihat itu, Eyzar hanya ikut merasa senang. Melihat gadis yang belakangan ini mulai ia sayangi tertawa lepas seperti itu, Eyzar pun seolah-olah merasakan sebuah kebahagiaan.

“Jadi..?”

“Jadi apa?”

“Apa permintaan Kak El buat Eyzar? Kan tadi kesepakatannya, yang kalah harus nurutin permintaan yang menang. Nah, Kak El minta apa sama Eyzar, ntar bakal Eyzar turutin.”

El menghela napas, gadis itu nampak berpikir. “Hm, permintaan gue ya?”

Eyzar mengangguk.

“Permintaan gue cuman satu sih,” El menatap Eyzar dengan lekat, “Gue minta, lo harus selalu bahagia ya? Sekalipun gue gaada di samping lo, atau gabisa nemenin lo lagi suatu hari nanti, lo harus selalu bahagia. Oke?”

Eyzar mengernyitkan keningnya, “Kok gitu sih?! Emang Kak El mau ke mana? Kayak yang mau pergi jauh aja ih aneh.”

“Ya... Siapa tau gitu kan, ntar gue pergi jauh ke luar negeri ninggalin lo.”

“Ish. Kalau gitumah gampang, ntar Eyzar susulin aja Kak El ke luar negeri itu biar Eyzar ga ngerasa kesepian.”

El tertawa, “Kalau misalkan perginya lebih jauh dari itu?”

“Maksudnya?”

El menghela napas, gadis itu hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Eyzar barusan.

Merasa mengerti arah pembicaraan ini akan menuju ke mana, Eyzar tidak ingin melanjutkannya lagi. Lantas laki-laki itu berdiri dan sedikit merenggangkan badannya.

“Kak El, biar Eyzar beliin minum ya? Kak El pasti haus kan?”

El mengangguk.

“Yaudah, tunggu di sini ya, Eyzar beli minum dulu di warung yang ada di sana.”

Lantas saat Eyzar pergi meninggalkan El, gadis itu melangkah menuju bangku yang berada di bawah pohon rindang. El menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. Dan gadis itu kembali menikmati pemandangan indah yang ada di sana.

“Nih.”

Tiba-tiba, ada sebuah botol dingin yang sampai di genggaman tangan El. Gadis itu mengernyit, rasanya aneh jika Eyzar sudah lagi membeli minumnya, padahal Eyzar baru saja pergi untuk membeli.

“Ini, buat lo. Abis main basket pasti capek kan?” Laki-laki itu, mendudukkan dirinya di sebelah El.

El menoleh secara perlahan, “Melan...?”