She Said Yes!

Baru saja El mengeluarkan langkah kaki nya dari ruangan yang biasa ia gunakan sebagai tempat untuk pemotretan, ia dapat melihat Eyzar sedang berbincang santai dengan beberapa staff di sana. Kedua sudut bibir El pun perlahan terangkat, melihat penampilan Eyzar yang begitu sederhana namun tetap memikat. Dengan celana hitam panjang bersabuk, yang disertai kemeja putih lengan panjang yang ia gulung selengan, serta rambut hitam yang tidak menutupi bagian jidatnya. Alias, saat ini Eyzar jidatan!

Beberapa menit kemudian El dapat merasakan kalau Eyzar balik menatap dirinya. Lantas, senyuman pun kini dapat terlihat di bibir ranum milik Eyzar. Lelaki itu kemudian melambaikan tangan, guna memanggil El untuk mendekat padanya.

“Langsung aja?” tanya Eyzar saat El sudah berada di hadapannya.

El mengangguk, mengiyakan. Lantas hal itupun membuat Eyzar harus berpamitan dan menghentikan bincang santainya dengan beberapa staff di depannya. “Saya pamit dulu, ada urusan penting.”

“Baik, Pak, silakan. Semoga urusannya dilancarkan,” balas salah satu staff laki-laki yang ada di sana.

“Yaudah yuk.” Eyzar menggenggam lembut pergelangan tangan El, dan akhirnya keduanya berjalan bersamaan ke luar gedung.

Tak jarang keduanya mendapatkan senyuman dari staff yang mereka lewati. Bahkan hampir semua penghuni perusahaan ini sudah tau tentang hubungan mereka berdua. Ini sudah 5 tahun sejak mereka memulai hubungan bersama-sama. Dan itu bukanlah waktu yang sebentar. Tentu saja banyak sekali rintangan yang harus mereka lalui sebelum-sebelumnya. Mulai dari salah satu pihak yang merasa cemburu, atau merasa tidak dihargai. Namun keduanya tetap bertahan dan berusaha memperbaiki kembali hubungan apabila ada rintangan yang menyerang.

“Udah sampe,” ucap Eyzar saat memarkirkan mobilnya di parkiran umum yang tidak terlalu besar. “Sekarang ke makam ayah bunda aku dulu ya, nanti kalau udah langsung ke makam mama papa kamu,” sambung Eyzar yang kemudian hanya dibalas anggukan oleh El.

Sesampainya di depan makam sang Ayah dan Bunda, lagi-lagi Eyzar harus menahan rasa rindunya. Rindu yang begitu dalam dan kian tak pernah bisa memadam. Lelaki itu meletakkan bucket bunga yang telah ia siapkan sebelumnya, lantas mulai bersuara.

“Bunda, Eyzar lupa ya belum sempet ngenalin perempuan yang sekarang ada di samping Eyzar.” Eyzar menoleh sebentar, menatap El yang sedang mengulum bibirnya. “Kalau bunda mau tau, namanya Elvaara. Perempuan ketiga yang bener-bener Eyzar sayangi setelah bunda dan Kak Ellyna. Perempuan yang selama ini nemenin Eyzar disaat kalian udah nggak ada. Dia, Elvaara, perempuan yang dari dulu, sekarang, dan sampai nanti, selalu nemenin Eyzar.”

Di sampingnya El tersenyum. Gadis itu sedikit merasa salah tingkah dengan ucapan yang dilontarkan Eyzar. Begitu hangat, begitu tulus, bahkan El merasakan sama sekali tidak ada unsur kebohongan dalam perkataannya. Eyzar benar-benar berkata sesuai isi hatinya.

“Bunda, Ayah, tentang kabar Eyzar, Eyzar baik-baik aja. Akhir-akhir ini urusan Eyzar selalu lancar, meskipun kadang Eyzar ngerasa kecapean.”

Saat itu, Eyzar terus-terusan berbicara sendirian, bercerita tentang kehidupan yang telah ia lalui sendirian. Bahkan lelaki itu sesekali terisak karena tak sanggup menahan rindunya.

Eyzar menghela napas panjang saat dirinya selesai bercerita di depan makam Elvan dan Ellyna. “Udah.”

“Udah?” tanya El meyakinkan.

“Iya, udah, sekarang kita ke tempat makam keluarga kamu. Tempatnya masih lumayan jauh dari sini kan?”

El mengangguk. Dan kemudian, keduanya pun kembali melanjutkan perjalanan.


Benar saja. Yang namanya wanita, pasti akan langsung luluh apabila langsung dihadapkan dengan makam salah satu keluarganya. Apalagi, ini adalah makam Mama dan Papanya El. Gadis itu benar-benar tidak tahan untuk tidak mengeluarkan air matanya.

Eyzar yang dengan sabar mengelus-elus bahu El dengan lembut, berusaha menenangkan gadisnya itu. Berkata kalau El adalah gadis yang kuat, gadis yang selama ini masih mau bertahan walaupun terkadang keadaan tak memihak pada dirinya.

Sama seperti Eyzar, El pun banyak bercerita di depan makam Mama, Papa, dan adiknya. Berharap kalau mereka dapat mendengarkan cerita ceritanya dan ikut merasakan kebahagiaan yang dialami El selama ini.

El sudah berhenti bercerita. Namun, gadis itu masih belum bisa menghentikan tangisannya. Eyzar yang merasa tak tega akhirnya langsung menyambar tubuh El dan memeluknya dengan hangat.

“Udah, gausah nangis lagi, sayang. Nanti kalau mereka liat kamu nanti, mereka bakalan ikut sedih loh.” Eyzar berusaha menenangkan.

Dan dirasa sudah cukup tenang, akhirnya El pun melepaskan diri dari pelukan Eyzar. Ia mengusap muka nya yang telah basah karena tangisan. Untung saja, gadis itu sudah ancang ancang untuk membawa tissue dari rumahnya.

“Yaudah yuk, kita pulang.” El sudah berdiri dari duduknya.

Eyzar mengulum bibirnya, “Sebentar.” Lantas ia mengeluarkan sebuah amplop kecil dari saku nya. Lelaki itu tersenyum sesaat sebelum akhirnya ikut berdiri dan mengiyakan ajakan El untuk segera pulang dari sana.

“Apaan itu?”

“Surat,” jawab Eyzar singkat.

“Surat apaan? Ngapain kamu kasih surat buat Papa aku?”

Eyzar terkekeh pelan, “Nanti juga kamu tau.”

“Ini beneran mau langsung pulang aja?” tanya Eyzar saat hendak menyalakan kendaraan roda empatnya. “Gaakan jalan-jalan dulu gitu?”

“Asli ya, kenapa sih gaada bosen bosennya ngajakin jalan mulu?”

Lagi-lagi, Eyzar hanya terkekeh. “Ya tadinya aku mau ngajakin kamu ke mall. Siapa tau kamu mau beli keperluan keperluan kamu yang udah habis. Atau apa deh beli apa aja, biar aku yang nemenin.”

“Emang kamu lagi gaada schedule?”

Eyzar menggeleng sembari tersenyum menatap lekat ke arah El, “Jadi, mau ga?”

“Yaudah iya, mau.”


Sesampainya di depan rumah El, langit sudah gelap dengan bintang-bintang yang bertaburan di atas sana. Selain ke mall, mereka juga banyak menghabiskan waktu bersama-sama ke tempat lain. Dan itulah alasan keduanya baru pulang sekarang.

Eyzar sudah menyimpan barang barang belanjaan El di depan terasnya. Begitupun El, gadis itu sudah keluar dari mobil Eyzar sedari tadi dan menunggu Eyzar untuk berpamitan.

“El, sebentar.” Eyzar berdiri di hadapan El, dengan jarak yang cukup dekat.

“Apa?”

“Kamu tau kan, kalau aku sayaang banget sama kamu.”

“Iya, tau.”

“Dan kamu tau ga, kalau aku bener bener pengen selalu ada buat kamu, dan aku juga pengen kamu selalu ada di samping aku.”

“Iya, terus?”

“Kita udah lewatin ini bareng-bareng. Hampir 5 tahun lebih, sayang, dan itu bukan waktu yang sebentar,” sambung Eyzar lagi.

“Iya iya. Terus? Ini apaan deh, langsung ke intinya aja, aku ngantuk,” El tidak sabar.

“Setiap aku ngerasa kesepian, kamu selalu ada buat nemenin aku. Setiap aku lagi ngerasa capek, kamu bakal berusaha buat ngilangin lelahnya aku. Setiap aku lagi sedih, kamu selalu ada buat nenangin aku. Terus kamu mau, kan, jadi perempuan yang selalu ngedampingin aku sampai nanti?”

El terlihat bingung, ia masih tidak mengerti kemana arah pembicaraan Eyzar kali ini. Namun tetap saja, gadis itu mengangguk dengan yakin. “Iya, mau mau aja.”

“Then,” ucapan Eyzar menggantung karena tiba-tiba tangannya mengambil sesuatu dari saku celananya. “Will you marry me, El?” ucapnya lancar sembari membukakan kotak kecil berisi benda mungil berbentuk lingkaran. Cincin.

Terkejut. Gadis itu benar-benar terkejut. Bahkan saking terkejutnya, El tidak sanggup berkata-kata lagi.

“Aku tau ini tiba-tiba banget. Tapi aku memutuskan ini juga enggak sembarangan. Aku udah menimbang-nimbang banyak hal. Dan aku pikir, aku udah yakin dengan keputusan aku ini. Tapi kalau misalkan kamu masih belum siap ngasih jawaban, aku bakal kasih kamu waktu buat mempertimbangkan keputusan kamu.”

El masih diam. Gadis itu sama sekali tidak berkutik.

“Jadi, gimana...?” tanya Eyzar sekali lagi, memastikan.

Eyzar menghela napas untuk kesekian kalinya. “Tadi surat yang aku simpen di atas makam Papa kamu, isinya tentang aku yang minta izin buat ngelamar anaknya. Dan aku harap, Papa sama Mama kamu di sana juga udah merestui. Tapi kalau misalkan kamu butuh waktu yang lebih lama, aku siap kok nunggu—”

“Yes,” potong El cepat.

Eyzar mengerjapkan matanya, “Hah?”

“Yes, I will. I will marry you, Zar. Aku terima lamaran kamu.”

Dengan cepat, Eyzar mundur beberapa langkah. “Bentar bentar, aku kaget.” Lelaki itu membulatkan bola matanya.

El terkekeh pelan. “Gimana sih, kamu yang ngelamar kok malah kamu sendiri yang kaget.”

Eyzar sedikit berdeham, lantas lelaki itu berusaha meneguk salivanya perlahan. “Y-ya aku ga expect aja jawaban kamu secepet ini.”

El tertawa pelan. Namun, masih tetap dapat dilihat kalau gadis itu masih menahan rasa malu nya.

“Oke, kalau gitu... May I...” Eyzar memberikan kode kepada El. Lelaki itu menatap cincin yang dipegangnya dan menatap tangan El secara bergantian.

El tersenyum. “Boleh.”

Asal kalian tau, saat itu keduanya sama sama saling menahan rasa saltingnya. Dari luar, Eyzar dan El benar-benar terlihat begitu damai, tenang, dan santai. Padahal, di dalam hati mereka, mereka benar-benar ingin sekali berteriak karena merasa sangat bahagia.