Panik
Gadis berambut panjang itu kini sudah berdiam diri di depan gerbang rumahnya, setia menunggu kedatangan Dhaka yang sedari tadi diharapkan kedatangannya.
Kalau ditanya bagaimana perasaan El saat ini, gadis itu benar-benar merasa resah, panik, terkejut, khawatir, semua perasaan campur aduk. Padahal beberapa menit yang lalu, El baru saja menyelesaikan tugas-tugasnya dan hendak untuk beristirahat. Namun, kabar buruk dari Melan tentang Eyzar sukses membuat rasa kantuk nya hilang begitu saja.
El tak peduli dengan rasa dingin yang menyerangnya. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada keadaan Eyzar. 'Apakah Eyzar akan baik-baik saja?', 'Apakah ia dan Eyzar masih bisa bersama?', atau 'Apakah kemungkinan terburuk yang tidak diinginkan akan terjadi?'
Tidak. El membuang semua pemikiran negatifnya. Ia yakin, Eyzar akan baik-baik saja. Ia masih memegang janji Eyzar beberapa hari lalu. Eyzar bilang, “Eyzar janji gaakan ninggalin Kak El. Eyzar janji bakalan selalu ada buat Kak El kapanpun dalam kondisi apapun. Eyzar janji...” Eyzar berkata seperti itu. Maka artinya, Eyzar akan berusaha bertahan untuk tidak meninggalkan El, benar kan?
Benar, kan...?
Ah, entahlah. El sendiri tidak yakin.
Gadis itu semakin larut dalam lamunannya. El sangat merasa khawatir. Tubuhnya mendadak merosot karena tiba-tiba gadis itu merasa lemas. Ia merasa tidak sanggup apabila harus mendengar kabar buruk kesekian kalinya setelah ini. Ia tidak akan sanggup apabila harus merasakan kehilangan untuk kesekian kalinya. El tidak siap.
Dengan sedikit terisak, gadis itu berjongkok sembari menutup seluruh muka dengan kedua tangannya. Setelah sekian lama, akhirnya El mengeluarkan air matanya. Gadis yang selama ini selalu memendam emosinya sendirian, kini sudah tak tahan lagi dengan keadaan. El menangis.
Selang beberapa lama kemudian, El dapat mendengar kedatangan mobil yang ia yakini itu adalah mobil Dhaka. Namun, untuk berhenti menangis saja rasanya El tidak bisa. Gadis itu rapuh untuk saat ini.
Perlahan, gadis itu merasakan usapan lembut di pundaknya. “Gapapa, El. Eyzar gabakalan kenapa-napa. Percaya sama gue.” Dhaka yang rupanya sudah ikut berjongkok di sebelah El, beralih mengusap rambut gadis di hadapannya dengan lembut, dan tentunya dengan tulus.
Tak membutuhkan waktu lama, El lantas mengusap air matanya. Gadis itu tidak bersuara apa-apa, ia hanya berdiri dan langsung masuk ke dalam mobil Dhaka yang tidak dikunci. Dhaka yang mengerti kondisi El saat ini pun segera masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan kendaraan roda empatnya.
El sudah sampai di depan ruang ICU yang tentu saja ia dapat melihat Eyzar di dalamnya. Melan yang sedari tadi hanya duduk langsung berdiri saat melihat kedatangan El.
“Gimana kejadiannya?” tanya Dhaka, menginterogasi Melan.
Melan yang masih tidak mengetahui siapa laki-laki yang kini bertanya padanya itu hanya mengerutkan keningnya. Namun alih-alih bertanya apa hubungan lelaki itu dengan Eyzar, Melan hanya menjawab pertanyaannya.
“Gue juga gak tahu, yang jelas tadi Eyzar nyusulin Artha, terus tiba-tiba Artha rem nya blong. Eyzar nyuruh gue buat nyusul, tapi gue kaget pas ngeliat tiba-tiba keadaan mereka udah kacau parah. Mereka tubrukan sama truk gede.”
“Truk?!” El terkejut.
Melan mengangguk. “Gue juga gak tau kejadian jelasnya. Gue bener-bener kaget saat itu, dan langsung panggil polisi sama ambulan buat bawa mereka ke sini.”
“Terus tadi keadaan Eyzar gimana? Gak sadar banget atau masih agak sadar?” Lagi-lagi, yang bertanya adalah Dhaka.
Melan menghela napas. Alih-alih langsung menjawab, ia melihat El dengan ragu, takut apabila Melan jelaskan lebih detail lagi, El akan semakin merasa khawatir.
“Kayanya cuman pendarahan biasa sih di tangan sama kaki kanannya. Tapi firasat gue, gaakan sampe patah tulang keliatannya.”
“Hhh,” Dhaka menghela napas, memotong ucapan Melan.
“Tapi, kepalanya juga kayanya kena benturan keras. Gue juga agak ngeri ngeliatnya, helm nya juga sampe remuk.”
Baru saja berkata begitu, El langsung memalingkan mukanya. Gadis itu lagi-lagi hanya memperhatikan dokter dan perawat yang sedang menangani Eyzar. El menggigit bibir bawahnya sembari berharap kalau Eyzar akan baik-baik saja. Bagaimanapun keadaannya, El hanya ingin selalu bersama dengan laki-laki kesayangannya.
Hari sudah menjelang siang, dan El masih juga belum beranjak dari tempat duduknya sejak malam tadi. Dhaka sudah izin pergi ke kantor sementara gadis itu tidak berminat untuk berkuliah hari ini.
Saat itu Melan menatap El dari jarak yang tak jauh, hanya antara beberapa kursi kosong di antara mereka. Lantas, lelaki itu segera menghampiri El.
“Lo gak tidur semaleman, tidur gih sebentar aja.”
“Gue gaakan tidur sebelum Eyzar sadar.”
Melan menghela napas, “Tapi tubuh lo butuh istirahat.”
“Gue gamau istirahat disaat Eyzar di sana lagi berjuang ngadepin rasa sakitnya, Lan.”
Lagi-lagi, Melan dibuat bungkam dengan jawaban El. Lelaki itu bingung harus bersuara apa lagi agar gadis di hadapannya mau beristirahat.
“Yaudah, makan dulu ya? Gue beliin makanan di depan. Mau apa?”
“Gue gak nafsu makan, Melan...”
Melan diam. Lantas menatap lamat ke arah El.
“Lo sesayang itu sama Eyzar?”
Hening beberapa saat, sebelum akhirnya El menjawab pertanyaan Melan barusan. “Gue gak pernah sesayang ini sama cowok. Gue gak tau, tapi selama ini Eyzar yang selalu ada buat gue. Selama ini Eyzar yang selalu berhasil bikin gue bahagia. Dan karena dia, gue gak pernah ngerasa sendirian. Gue nggak sanggup kalau harus kehilangan dia, Lan, gue gamau, gue gabisa...”
“Sshh, gaboleh bilang gitu. Lo gabakal kehilangan Eyzar kok.”
“Yang namanya takdir gaada yang tau, Lan. Sebelumnya gue udah pernah ngerasain kehilangan, dan gue nggak mau ngerasain hal itu lagi. Sakit, Lan, sakit...”
Melihat El yang tiba-tiba meneteskan air mata, Melan tidak ingin lagi bertanya-tanya. Nampaknya pertanyaan yang dilontarkan olehnya malah membuat El semakin merasa sedih dengan pikiran-pikiran buruknya. Ingin sekali Melan menenangkan gadis di hadapannya. Namun, Melan masih tidak berani melakukannya.
Tiba-tiba, keduanya menoleh bersamaan tepat saat seorang dokter yang menangani Eyzar keluar dari ruangan.
“Gimana keadaan temen saya, Dok?” Alih-alih El, malah Melan yang bertanya.
“Pasien atas nama Eyzar baik-baik saja. Anak itu hanya mengalami pendarahan yang begitu banyak, hingga tak sadarkan diri sampai berjam-jam. Namun, semua pendarahan berhasil kami hentikan. Jadi tidak perlu ada lagi yang dikhawatirkan. Oh iya, mengenai benturan di kepalanya, kami telah melakukan CT scan, dan syukurlah tidak ada kerusakan pada otaknya, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk Eyzar mengalami amnesia atau hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Bahkan, bisa saja hal itu tidak akan terjadi.”
Mendengar penjelasan itu, rasa khawatir yang sedari tadi menyelimuti El hilang begitu saja. Gadis itu kini menghapus air matanya tanpa ragu. Ia sedikit tersenyum dan yakin kalau ternyata lelaki kesayangannya akan segera kembali kepadanya.
“Kalau gitu, kemungkinan Eyzar sadar berapa lama lagi, Dok?”
Dokter itu menghela napas, “Untuk itu, belum dapat dipastikan, karena tentunya setiap orang akan berbeda-beda. Normalnya, sekitar 2-3 jam lagi, dia akan sadar. Namun, bisa saja waktunya akan lebih dari perkiraan saya.”
“Kalian tidak perlu khawatir. Saya yakin, Eyzar akan segera sadar dan akan segera mengalami masa pemulihannya,” sambung dokter itu begitu hangat menatap El.
El tersenyum tipis. “Terima kasih, Dokter.”