Luka
Malam itu, disaat teman-teman Melan asik mengobrol di atas motor balap nya masing-masing, Eyzar dan Melan memilih berjongkok di tempat yang jauh dari kerumunan. Mereka telah banyak berbincang tentang hal-hal yang dipertanyakan Eyzar. Melan menjawabnya dengan rinci, dan semuanya ia jelaskan saat itu juga.
“Jadi, selama ini Artha nyembunyiin itu semua dari lo?” tanya Melan setelah ia mengakhiri ceritanya.
Eyzar mengangguk. “Dia selalu bertingkah seolah-olah semuanya baik-baik aja. Gue gak tau kalau dia punya luka sedalem ini, gue gak pernah tau.” Lelaki itu menunduk lemah sembari mencoret-coret tanah dengan setangkai ranting yang ia pegang.
Melan menghela napas, “Gue juga baru tau akhir-akhir ini. Artha itu orangnya emang tertutup. Entah karena kepribadian dia yang dominan introvert, atau karena dia yang selalu ngerasa sendirian di hidupnya.” Lelaki itu menatap langit malam yang kala itu cukup banyak bertaburan bintang. “Padahal jelas-jelas dia punya sahabat yang baik banget kayak lo. Iya, kan?”
Eyzar berdecak kesal, “Sejujurnya gue masih kecewa sama Artha,” jujur Eyzar yang otomatis membuat Melan menoleh ke arahnya. “Gue masih kesel kenapa dia selalu nyalahin dirinya sendiri. Kenapa dia selalu ngerasa sok kuat depan gue. Kenapa juga dia harus nyembunyiin masalahnya dari gue yang jelas-jelas dia sendiri aja hampir tau semua masalah gue. Gue agak kecewa...”
Melan menghela napas. “Wajar sih.”
“Tapi mungkin bener kata Kak El, Artha cuman butuh waktu aja buat nenangin pikirannya. Gue paham apa yang dirasain Artha, tapi gue pun bingung ngasih solusi nya gimana, karena Artha sendiri yang masih belum mau terbuka sama gue,” sambung Eyzar.
“Tapi lo masih tetep mau temenan sama Artha, kan?” tanya Melan lirih. “Mau gimanapun, dia tetep adik gue. Dia tetep orang yang berharga buat gue. Gue gak mau dia kehilangan temen berharga nya cuman karena keegoisannya sendiri.”
Eyzar terkekeh pelan, “Berantem bukan berarti akhir dari pertemanan dong? Masa gitu aja gak tau.”
“Iya sih.” Melan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Aaah...” Eyzar berdiri dan sedikit merenggangkan badannya. “Udah lah, mending kita start aja balapannya sekarang, gimana?” tanya Eyzar sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Melan berdiri.
Melan terkekeh, lantas ia menerima uluran tangan Eyzar, dan ikut berdiri. “Yang menang hadiahnya apa?” Melan menaikkan salah satu alisnya sembari tersenyum miring.
“Gaada hadiah hadiah-an ah. Yang jelas, siapapun yang menang atau kalah, semuanya yang hadir di balapan ini gue traktir makan-makan.” Eyzar tertawa sembari menaikturunkan alisnya pula.
“Widihh bos besar mah beda ya.”
Eyzar tertawa, “Kan sekalian, karena dua hari yang lalu gue udah jadian sama Kak El.” Lelaki itu melipat tangan di dadanya.
Melan terkekeh, meremehkan perkataan Eyzar. “Jadian doang bangga.”
Eyzar cepat-cepat menoleh ke arah Melan. “Lo gaada niatan nikung gue, kan?!”
“Mmm gimana ya,” Melan tampak berpikir dan hal itu membuat Eyzar sudah ancang-ancang untuk membogem Melan. Namun, Melan malah terkekeh dan menonjok pelan lengan Eyzar. “Becanda kali ah. Gak, gue gaakan nikung lo. Sejujurnya sih gue masih suka sama El, tapi ya selagi El bahagia sama lo, gue fine fine aja kayaknya,” tutur Melan.
Eyzar berdecak, “Baru aja gue mau nonjok lo nih.”
Lantas, keduanya tertawa bersamaan.
Kini, para lelaki yang ada di sana sudah berdiri di samping motornya masing-masing. Bahkan, sudah ada yang menaiki motor nya dengan kepala yang sudah terpasang helm. Berbeda dengan Eyzar dan Melan, mereka berdua masih baru sampai ke tempat motor mereka yang bersebelahan.
“Lo emang sering balapan, Zar?” tanya Melan, masih menepuk-nepuk jok motor yang sedikit kotor.
“Sebenernya gue emang sering banget balapan motor dari dulu. Tapi semenjak—” ucapan Eyzar terpotong karena tiba-tiba Melan terlihat terkejut.
“Kenapa?” tanya Eyzar penasaran.
Melan yang masih terkejut itu menunjuk ke arah belakang Eyzar dengan dagunya. Lantas, Eyzar pun ikut menoleh ke belakang.
“A-artha?” batin Eyzar.
Iya, benar. Dari arah belakang Eyzar, Artha berjalan sembari sedikit menunduk. Namun langkah lelaki itu begitu cepat. Hingga saat lelaki itu telah mendekati Eyzar, Artha langsung mencengkram kerah baju Eyzar dan—
Bughhh!!
Satu pukulan berhasil melayang ke rahang Eyzar dengan sangat keras. Hal itu tentu saja membuat Melan sangat terkejut. Sedangkan Eyzar, lelaki itu kini sudah tersungkur karena pukulan Artha.
“Udah gue bilang berapa kali ke lo buat jangan balapan, hah?! Lo ga inget waktu itu lo patah tulang gara-gara balapan?! Lo mau kayak gitu lagi, iya?! Lo mau cari mati, iya?! Lo tuh—” Artha menjambak rambutnya frustasi. “Gue kecewa sama lo, Zar. Kenapa lo ga pernah dengerin gue sih?!”
Di tempatnya, kedua sudut bibir Melan terangkat. “Ternyata Artha ngebogem Eyzar karena dia peduli sama Eyzar,” batinnya tenang.
Sedangkan Eyzar yang masih tersungkur, ia hanya terkekeh pelan. Perlahan ia berdiri. Lantas menatap Artha dengan tatapan lekat sembari tersenyum tulus.
Namun, beberapa detik kemudian, senyuman tulus itu berubah menjadi gertakan gigi yang cukup keras dan—
Bughhh!!
Eyzar malah balik melayangkan pukulan ke arah Artha. Namun, pukulan itu tidak sampai membuat Artha tersungkur.
“Gue juga udah bilang kalau ada masalah itu jangan dipendem sendirian! Lo tuh jangan selalu nyalahin diri sendiri atas kesalahan orang lain! Gue bilang lo jangan pernah ngerasa sendirian! Tapi apa? Nyatanya lo tetep gapernah dengerin omongan gue.”
“Gue kayak gitu karena gue punya alesan, bego!” balas Artha.
“Gue tau!” Eyzar berteriak. “Gue tau lo punya alesan. Gue juga udah tau semuanya dari Melan. Gue udah tau semua, Ar, gue tau!!!” Artha menatap kaget ke arah Eyzar, namun Eyzar tetap melanjutkan kalimatnya. “Gue kecewa karena gue tau semua tentang lo malah dari orang lain, bukan dari cerita lo sendiri, gue kecewa, Ar!”
Artha berdecak. Lelaki itu sudah kehabisan kata-katanya.
Dan beberapa saat kemudian, Artha malah balik badan dan melangkah pergi menjauh dari Eyzar.
“Jangan selalu lari dari masalah, Ar,” ucap Melan tegas, namun terdengar begitu tenang. “Sekarang justru kesempatan lo buat perbaiki hubungan lo sama Eyzar. Seharusnya lo minta maaf sama dia dan—'
“Ck. Gausah sok bijak,” potong Artha, sebelum akhirnya ia benar-benar melenggang pergi.
“Lo mau ke mana?” tanya Melan saat melihat Eyzar bersiap dengan motornya.
“Gue mau ngikutin Artha.”
Tengah malam tiba. Suhu yang begitu rendah pun kian menusuk tubuh Eyzar. Namun, ia tetap bersikukuh mengikuti arah mobil Artha melaju. Lelaki itu hanya ingin tahu kemana Artha hendak pergi.
Sembari menggigit bibir bawahnya, Eyzar semakin meningkatkan kecepatan motornya. Ia merasa heran, karena lama-kelamaan kecepatan mobil Artha semakin meningkat. Ia pikir, mungkin Artha sudah sadar kalau dirinya diikuti oleh Eyzar, sehingga ia semakin menancapkan gas kendaraannya.
Drrrttttt drrrttttt drrrttttt
Eyzar dapat merasakan ponselnya bergetar, pertanda ada panggilan masuk untuknya. Namun saat itu, Eyzar masih tidak peduli.
Drrrttttt drrrttttt drrrttttt
Lagi, ponsel miliknya bergetar lagi. Tapi Eyzar masih tidak memperdulikan panggilan masuk itu. Biarlah, pikirnya. Kali ini ia tidak boleh sampai kehilangan Artha lagi.
Nampaknya ponsel itu tidak berhenti bergetar. Panggilan itu terus mengganggu ketenangannya. Lagi, dan lagi. Bahkan ponsel itu sudah bergetar hingga belasan kali.
Karena merasa kesal, akhirnya Eyzar memutuskan untuk menepi. Kemudian ia meraih benda pipih itu dari saku jaketnya.
Eyzar mengerutkan keningnya saat melihat kontak yang sedang memanggilnya. “Artha?” gumamnya.
Lantas tanpa pikir panjang, lelaki itu segera menekan tombol hijau di ponselnya. Kini, suara mereka telah tersambung satu sama lain.
“Eyzar, tolongin gue...”
Suara lelaki di seberang sana terdengar seperti sedang ketakutan.
“K-kenapa?” Eyzar sedikit panik.
“Rem nya blong, Zar... Gue mau berhenti tapi rem nya blong... Gue udah terlanjur ngebut daritadi ini gimana...?”
Sontak Eyzar membelalakkan matanya. “Oke oke. Sekarang lo tenang, yang penting lo nyetir mobil nya baik-baik ya. Beberapa kilometer lagi ada tanjakan di sana.”
“Tapi itu masih jauh, Zar... Tangan gue gemeteran... Engga, bukan tangan doang, seluruh badan gue gemeteran, Zar...”
“Lo harus tenang, Artha! Lo nya jangan gemeteran gitu! Gue ada di belakang lo, oke? Gue yakin lo gabakal kenapa-napa. Sekarang gue nyusul lo.”
Tut
Panggilan diputuskan sebelah pihak oleh Eyzar. Lantas sebelum mulai melajukan motornya lagi, Eyzar cepat-cepat menghubungi Melan.
“Halo? Kenapa, Zar?”
“Rem mobil nya Artha blong.”
“Anjr seriusan?! Terus gimana?!?! Dia ga kenapa napa kan? Lo di mana sekarang?!?!”
“Gue share live location ke lo ya. Sekarang gue mau nyusul Artha, mobil nya masih belum berhenti.”*
Tut
Lagi, Eyzar langsung memutuskan panggilan sepihak.
Lelaki itu tak ingin berlama-lama diam. Ia harus segera menyusul Artha dan memastikannya baik-baik saja.
Eyzar semakin meningkatkan kecepatannya. Lelaki itu sudah cukup tertinggal oleh Artha. Namun karena Eyzar yang nyatanya sudah sering balapan dengan kecepatan yang sangat tinggi, akhirnya ia bisa mendekati mobil Artha.
Sialnya, saat itu jalanan malah menurun. Alias, pudunan yang cukup panjang.
Hal itu tentu saja membuat Artha semakin khawatir di mobilnya. Namun ia dapat melihat Eyzar dari kaca spion. Artha sedikit merasa tenang. Walaupun nyatanya tubuh lelaki itu masih gemetar.
Eyzar masih berusaha menyamakan kecepatannya dengan kecepatan mobil Artha. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya, “Gue bakal pastiin lo gaakan kenapa-napa, Ar. Lo gaboleh kenapa-napa!” batinnya berteriak.
Keringat kini sudah bercucuran membasahi seluruh bagian wajah Eyzar. Ia merasa khawatir karena lagi-lagi bertemu dengan jalan yang menurun. Selain itu, lika-liku jalan raya ini nampak sedikit tidak normal. Untungnya, jalanan malam ini sangat sepi, jadi hanya sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan yang tak diinginkan.
Eyzar berusaha sekuat tenaga untuk menyamakan posisi motor nya dengan posisi mobil Artha.
Hingga akhirnya, kini Eyzar berhasil berada di sebelah kanan dari mobil Artha.
Lelaki itu berteriak sekencang-kencangnya. “Bentar lagi ada tanjakan! Lo harus bertahan, Artha! Gue yakin lo bisa!” Suaranya sedikit teredam oleh angin. Namun, Artha tetap bisa mendengarnya.
Hingga sampailah di perempatan jalan, Artha membelalakkan matanya saat melihat truk melaju kencang dari arah kanan.
Artha berusaha memberi tahu Eyzar. Namun sialnya, kaca mobil Artha macet. Ia kesulitan membuka kacanya.
“Zar!!! Eyzar, anjir!!!”
Di motor, Eyzar fokus menatap ke depan. Lelaki itu tak peduli dengan kanan ataupun kirinya. Yang jelas, Eyzar hanya menargetkan dirinya dan Artha akan segera sampai di tanjakan sana.
“EYZAR ANJIR ADA TRUK DARI KANAN SANA!!!! EYZAR!!!!!”
Artha masih berusaha membuka kaca mobilnya. Namun sia-sia.
Dan akhirnya,
“EYZ—”
BRAKKKKKKKKKKKKKKK!!!!!!!!!
Suara dentuman truk, motor, dan mobil yang saling beradu. Suara pecahan kaca yang begitu menusuk ke telinga. Serta suara teriakan seseorang yang belum selesai.
Malam itu, malam yang sama sekali tak pernah siapapun harapkan. Malam itu, akan menjadi malam yang begitu buruk bagi seseorang. Dan malam itu pula, akan menjadi malam yang taakan pernah bisa terlupakan.
Eyzar yang tadi terpelanting keras dari motornya, kini telah bercucuran darah di kepalanya. Hal itu karena helm yang ia gunakan pun hancur. Seluruh bagian kanan dari tubuhnya sedikit rusak dan berlumuran darah, karena telah bergesekan dengan aspal. Kini, lelaki itu telah tak sadarkan diri.
Sedangkan Artha. Kondisi lelaki itu tidak jauh berbeda dengan kondisi Eyzar. Ada banyak pecahan kaca di beberapa bagian tubuhnya. Bagian kanan mobil itu rusak parah. Dan tampaknya, kaki Artha tersangkut di bawah sana. Lelaki itu masih sadar, namun rasa sakit yang begitu sangat tak kuasa lagi ia tahan. Selain itu, rasa trauma yang ia miliki semakin meningkatkan rasa sakitnya.
“E-eyzar... Maaf...”